JPRUTT, Teror Mental dari Putu Wijaya
Menonton pertunjukan teater Putu Wijaya layaknya bermain roller coster. Naik turun perasaan penonton dibuat oleh sastrawan maestro ini.
DENPASAR, NusaBali
Dramawan kenamaan asal Bali, Putu Wijaya, menghinoptis para penikmat teater di Pulau Dewata dengan satu pertunjukan penuh makna berjudul ‘JPRUTT’. Suguhan cerita ini dibawakan oleh Teater Mandiri Jakarta di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya, Denpasar, Minggu (19/8) malam. Antusias para penonton terbayar dengan pertunjukan berkualitas dari buah pemikiran dramawan asal Tabanan itu.
Teater tak hanya sekadar menghibur, melainkan teater selalu memberi teror mental. Itulah prinsip yang dipegang kukuh oleh sastrawan Putu Wijaya dalam menciptakan karya-karyanya. Salah satu teror mental yang disuguhkan Putu Wijaya untuk para penikmat teater yang telah hadir dalam pentujukkan ‘JPRUTT’ malam itu.
“Saya ingin ‘mengganggu’ orang. Bukan hanya membuat orang senang tapi menyiksa orang dengan bermacam-macam pikiran. Saya ingin membuat penonton berpikir, sampai rumah mereka semua berpikir bahwa inilah hidup, inilah yang dialami negeri ini,” ungkapnya usai pentas.
Teror mental mencuat akibat kesalah pahaman antara Pak Amat, Ami (anak Pak Amat), dan Prof Co. Ketidakmampuan Pak Amat dalam berbahasa Inggris mengharuskan dirinya hanya mendengar penuturan sang anak Ami dari Prof Co seorang profesor dari luar negeri. Surat yang berisi kritik terhadap bangsa ini, seperti rakyatnya yang malas dan kritik lainnya adalah buatan Ami secara seutuhnya yang akan dikirim ke sebuah harian lokal.
Namun, surat itu dikira Pak Amat sebagai terjemahan dari Prof Co terhadap Indonesia, khususnya Bali. Pak Amat yang kesal, memarahi Prof Co dan Prof Co yang telah mempelajari bahasa Indonesia pun mengelak bahwa bukan dirinya yang menulis surat itu. Kemunculan Ami pun menjelaskan segalanya, bahwa surat yang berisi terjemahan Prof Co masih dalam genggaman Ami. Kesalahpahaman ini pun berakhir dengan penjelasan Ami yang dibarengi dengan kedatangan istri Prof Co yang menjemput Prof Co untuk kembali ke negara asalnya.
Menonton pertunjukan teater Putu Wijaya layaknya bermain roller coster. Naik turun perasaan penonton dibuat oleh sastrawan maestro ini. Tertawa, tegang, dongkol semua lengkap dirasakan. JPRUTT sendiri pertama kali dipentaskan pada Bentara Budaya Jakarta. Naskah yang apik nan otokritik dari Putu Wijaya ini tentunya didukung oleh sederet pemain kenamaan diantaranya Niniek L Karim, Jose Rizal Manua, Bambang Ismantoro, Ulil el Nama, Ari Sumitro, Rukoyah dan segenap kru yakni Artistik oleh Ari Sumitro dan Tim Teater Mandiri, Tata Musik oleh Ramdhani, Tata Lampu oleh Ari Sumitro dan Tim Teater Mandiri, Tata Rias oleh Penny Muhaji, Pimpinan Produksi oleh Dewi Pramunawati, dan Asisten Produksi oleh Cahya Kariza, Elvis.
Pertunjukkan ‘JPRUTT’ ini mengilhami sebuah realita, bahwa kesetaraan adalah kunci utama dalam kehidupan. Menurut Putu Wijaya, kesalahan yang dilakukan individu maupun suatu bangsa tak patut apabila hanya menjadi tanggungan bangsa itu saja. “Orang Barat mengatakan orang Timur selalu mencerca orang Barat, itu salah! Barat sendiri yang telah berbuat hitam, dan itulah yang menghitamkan dia, bukan kita! Jadi kita harus berpikiran bening, mereka juga. Jangan hanya melihat kesalahan kita, tapi juga kesulitan kita. Jangan mencela, jangan juga menyembah. Kita bersaudara saja,” tegasnya.
Putu Wijaya merupakan putra Tabanan dari Puri Anom Tabanan. Memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, dramawan berusia 74 tahun itu masih sangat produktif berkarya. Dari tangannya melahirkan ribuan karya sastra. Setidaknya, Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Bahkan, meski hanya bisa duduk di kursi roda akibat sakit stroke yang dialaminya, Putu Wijaya masih aktif menelurkan karya lewat jemarinya.
“Saya menulis pakai handphone BlackBerry, dan mengetik dengan jempol kanan saja. Dulu sebelum sakit, sehari duduk dan mengetik dengan mesin tik, sehari bisa menulis hingga 40 halaman. Sekarang 1 sampai 2 cerpen atau dua bab untuk novel, dan juga bisa satu naskah drama,” ceritanya.
Menurtnya, kerja adalah istirahat. “Kerja itu adalah istirahat kata Plato. Kerja itu bukan beban, kerja itu istirahat. Kalau kamu pekerja, setiap kamu mendapat pekerjaan dan menjadi berarti, itu membuat kamu istirahat. Kalau itu merupakan tugas, maka pekerjaan itu akan jadi beban. Belum bekerja saja sudah lelah pikiran kita karena memikirkannya,” paparnya.
Putu Wijaya menghabiskan masa kecil dan remajanya di Bali. Setelah usia 18 tahun, ia menetap di luar Bali sambil menulis dan memimpin Teater Mandiri. Tinggal lama di luar membuatnya ‘baru’ merasa jadi orang Bali. “Tinggal di Bali rasanya terlalu jauh dengan Bali. Baru keluar saya merasa jadi orang Bali, merasa di rumah ketika pergi, merasa dekat ketika jauh, dan merasa orang Indonesia saat di luar negeri,” tuturnya.
Putu Wijaya juga mengatakan bahwa Bali bukan museum. Menurutnya perubahan adalah hal biasa. Bali harus berubah menyesuaikan diri, namun bukan berarti karakter Bali itu hilang, karena masih memiliki falsafah Tri Hita Karana. “Bali itu tradisional tapi modern, modern tapi tradisional. Karena itu memiliki desa kala patra,” tandasnya. *nd
Teater tak hanya sekadar menghibur, melainkan teater selalu memberi teror mental. Itulah prinsip yang dipegang kukuh oleh sastrawan Putu Wijaya dalam menciptakan karya-karyanya. Salah satu teror mental yang disuguhkan Putu Wijaya untuk para penikmat teater yang telah hadir dalam pentujukkan ‘JPRUTT’ malam itu.
“Saya ingin ‘mengganggu’ orang. Bukan hanya membuat orang senang tapi menyiksa orang dengan bermacam-macam pikiran. Saya ingin membuat penonton berpikir, sampai rumah mereka semua berpikir bahwa inilah hidup, inilah yang dialami negeri ini,” ungkapnya usai pentas.
Teror mental mencuat akibat kesalah pahaman antara Pak Amat, Ami (anak Pak Amat), dan Prof Co. Ketidakmampuan Pak Amat dalam berbahasa Inggris mengharuskan dirinya hanya mendengar penuturan sang anak Ami dari Prof Co seorang profesor dari luar negeri. Surat yang berisi kritik terhadap bangsa ini, seperti rakyatnya yang malas dan kritik lainnya adalah buatan Ami secara seutuhnya yang akan dikirim ke sebuah harian lokal.
Namun, surat itu dikira Pak Amat sebagai terjemahan dari Prof Co terhadap Indonesia, khususnya Bali. Pak Amat yang kesal, memarahi Prof Co dan Prof Co yang telah mempelajari bahasa Indonesia pun mengelak bahwa bukan dirinya yang menulis surat itu. Kemunculan Ami pun menjelaskan segalanya, bahwa surat yang berisi terjemahan Prof Co masih dalam genggaman Ami. Kesalahpahaman ini pun berakhir dengan penjelasan Ami yang dibarengi dengan kedatangan istri Prof Co yang menjemput Prof Co untuk kembali ke negara asalnya.
Menonton pertunjukan teater Putu Wijaya layaknya bermain roller coster. Naik turun perasaan penonton dibuat oleh sastrawan maestro ini. Tertawa, tegang, dongkol semua lengkap dirasakan. JPRUTT sendiri pertama kali dipentaskan pada Bentara Budaya Jakarta. Naskah yang apik nan otokritik dari Putu Wijaya ini tentunya didukung oleh sederet pemain kenamaan diantaranya Niniek L Karim, Jose Rizal Manua, Bambang Ismantoro, Ulil el Nama, Ari Sumitro, Rukoyah dan segenap kru yakni Artistik oleh Ari Sumitro dan Tim Teater Mandiri, Tata Musik oleh Ramdhani, Tata Lampu oleh Ari Sumitro dan Tim Teater Mandiri, Tata Rias oleh Penny Muhaji, Pimpinan Produksi oleh Dewi Pramunawati, dan Asisten Produksi oleh Cahya Kariza, Elvis.
Pertunjukkan ‘JPRUTT’ ini mengilhami sebuah realita, bahwa kesetaraan adalah kunci utama dalam kehidupan. Menurut Putu Wijaya, kesalahan yang dilakukan individu maupun suatu bangsa tak patut apabila hanya menjadi tanggungan bangsa itu saja. “Orang Barat mengatakan orang Timur selalu mencerca orang Barat, itu salah! Barat sendiri yang telah berbuat hitam, dan itulah yang menghitamkan dia, bukan kita! Jadi kita harus berpikiran bening, mereka juga. Jangan hanya melihat kesalahan kita, tapi juga kesulitan kita. Jangan mencela, jangan juga menyembah. Kita bersaudara saja,” tegasnya.
Putu Wijaya merupakan putra Tabanan dari Puri Anom Tabanan. Memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, dramawan berusia 74 tahun itu masih sangat produktif berkarya. Dari tangannya melahirkan ribuan karya sastra. Setidaknya, Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Bahkan, meski hanya bisa duduk di kursi roda akibat sakit stroke yang dialaminya, Putu Wijaya masih aktif menelurkan karya lewat jemarinya.
“Saya menulis pakai handphone BlackBerry, dan mengetik dengan jempol kanan saja. Dulu sebelum sakit, sehari duduk dan mengetik dengan mesin tik, sehari bisa menulis hingga 40 halaman. Sekarang 1 sampai 2 cerpen atau dua bab untuk novel, dan juga bisa satu naskah drama,” ceritanya.
Menurtnya, kerja adalah istirahat. “Kerja itu adalah istirahat kata Plato. Kerja itu bukan beban, kerja itu istirahat. Kalau kamu pekerja, setiap kamu mendapat pekerjaan dan menjadi berarti, itu membuat kamu istirahat. Kalau itu merupakan tugas, maka pekerjaan itu akan jadi beban. Belum bekerja saja sudah lelah pikiran kita karena memikirkannya,” paparnya.
Putu Wijaya menghabiskan masa kecil dan remajanya di Bali. Setelah usia 18 tahun, ia menetap di luar Bali sambil menulis dan memimpin Teater Mandiri. Tinggal lama di luar membuatnya ‘baru’ merasa jadi orang Bali. “Tinggal di Bali rasanya terlalu jauh dengan Bali. Baru keluar saya merasa jadi orang Bali, merasa di rumah ketika pergi, merasa dekat ketika jauh, dan merasa orang Indonesia saat di luar negeri,” tuturnya.
Putu Wijaya juga mengatakan bahwa Bali bukan museum. Menurutnya perubahan adalah hal biasa. Bali harus berubah menyesuaikan diri, namun bukan berarti karakter Bali itu hilang, karena masih memiliki falsafah Tri Hita Karana. “Bali itu tradisional tapi modern, modern tapi tradisional. Karena itu memiliki desa kala patra,” tandasnya. *nd
1
Komentar