Trash Artifacts, Seni Mendokumentasikan Sampah dan Peradaban
Dulu, nenek moyang meninggalkan sarkofagus, kini kita meninggalkan sampah.
DENPASAR, NusaBali
Berangkat dari sebuah pameran foto bertajuk ‘Air dan Peradaban,' yang diikutinya di Rumah Sanur Creative Hub, Denpasar, Syafiudin Vifick tergerak untuk memikirkan hubungan air yang dikaitkan dengan peradaban, baik dahulu, kini, mau pun nanti. Kita sering diajarkan tentang sejarah sejak duduk di bangku sekolah dasar, maka sudah barang tentu peradaban datangnya dari hal atau sesuatu yang diwariskan oleh para pendahulu atau nenek moyang kita. Sedangkan air merupakan sumber kehidupan yang hakiki, tanpa air sehari pun manusia akan kesulitan untuk bertahan dalam kondisi baik-baik saja.
Singkat cerita, lalu, ia pun memecah dua hal tersebut menjadi beberapa bagian. Ia berpikir bahwa peradaban terdiri dari produk, budaya, dan situs. Sedangkan untuk air, ia terpikir akan sungai, danau, laut, hingga sampah. Ya, sampah. Kita semua tahu, bahwa sampah, terutama sampah plastik adalah momok yang belum dapat ditangani secara menyeluruh di Indonesia terlebih Bali, belum lagi masa peleburannya bisa mencapai ratusan tahun. Bahkan, yang lebih membuat miris adalah, sampah plastik sering dibuang di saluran air, seperti, sungai, danau, hingga sampai ke laut. Maka, yang menjadi pertanyaan adalah, peradaban apakah yang akan diwariskan pada anak cucu kita nanti? Vifick meyakini, sebagian besar peradaban itu adalah sampah plastik.
Mainan ikan plastik yang ditemukan Vifick di sebuah pantai dan masih awet - Dok. IST
Meminjam metode arkeologi, Vifick pun mencoba untuk mengumpulkan sampah plastik yang sengaja diburunya di beberapa sumber air (sungai, danau, loloan, pantai, laut, dll) dan memotretnya. Ia menyebut proyek ini sebagai ‘Trash Artifacts’, yaitu benda-benda hasil kecerdasan manusia yang dijadikan peninggalan/warisan untuk generasinya, yang dalam hal ini adalah sampah. Tidak hanya memotret, Vifick juga membaca prilaku masyarakat yang bermukim di sekitar sumber air tersebut yang dihubungkan dengan sampah yang mereka tinggalkan. Ada 8 sumber air yang ia telusuri, antara lain:
1. Sumber air di Jati Luwih, Tabanan
2. Danau di Bedugul, Tabanan
3. Air Terjun Tegenungan, Gianyar
4. Sungai di Desa Guwang, Gianyar
5. Sungai di Kota Denpasar
6. Loloan dan Mangrove Kampung Kepiting, Badung
7. Pantai Kedonganan, Badung
8. Pantai Padang Galak ,Denpasar
“Sampahnya ditata dan dibaca, misalnya sampah yang ada di sungai pedesaan itu seperti apa. Ada bungkus sabun, shampoo, yang artinya, masyarakat di sana memanfaatkan sungai untuk mandi dan mencuci. Kalau di air terjun, sampahnya kebanyakan botol minuman yang ditinggalkan wisatawan. Yang paling parah itu sungai yang di kota, sampahnya kompleks, tidak hanya plastik, tetapi ada neon yang memiliki zat berbahaya,” papar Vifick saat diwawancarai NusaBali, Selasa (21/08) di Art Veranda Café, Denpasar.
Awal mula perjalanan Trash Artifacts dari tahun 2015. Butuh sekiranya beberapa bulan untuk melakukan riset, baik membaca sumber-sumber yang berkaitan dengan arkeologi dan sampah, berdiskusi dengan teman, hingga survei ke lokasi-lokasi sasaran. Lalu, butuh satu setengah bulan untuk menemukan lokasi dan memotretnya. Proyek itu dilakukannya sendiri, namun ada juga bantuan dari teman-teman mengenai informasi-informasi yang dibutuhkan. Tak sedikit pun kendala yang ia peroleh dalam penelitiannya, malahan sejumlah dukungan hadir dan merangkulnya dari berbagai penggiat sosial yang juga menaruh prihatin pada sampah plastik.
Tujuan yang ingin disampaikan oleh Trash Artifacts selain sebagai kampanye untuk mengingatkan pada diri sendiri dan orang lain perihal betapa bahayanya sampah plastik bagi kehidupan, juga untuk menyampaikan sudut pandang berbeda dari seni fotografi. Vifick adalah seorang fotografer dan pencerita, dan ia ingin agar orang lain mengerti bahwa fotografi mempunyai peran yang lebih penting dari sekedar menyampaikan keindahan, yaitu menyampaikan pesan dan cerita yang terekam di setiap jepretannya, dan dalam hal ini, sebuah foto bisa dijadikan media untuk merekam peradaban. Ini pula yang akan disaksikan oleh generasi kita selanjutnya. Foto-foto tersebut akan bercerita pada masa depan.
Hingga kini, proyek Trash Artifacts masih giat dilakukan oleh Vifick. Ia tidak akan berhenti sebelum sampah plastik bisa diatasi. Untuk lebih menggaungkan kampanye ini, sejumlah pameran fotografi pun pernah diikutinya bersama Trash Artifacts di Denpasar dan Jakarta, beberapa di antaranya yaitu di:
1. Pameran foto ‘Air dalam Simbol’ di Denpasar Film Festival (2015)
2. Pameran foto Micro Galleries Street Art Exhibition di Pasar Badung (2015)
3. Trashstock Festival di Taman Baca Kesiman (2016)
4. Pameran foto Micro Galleries Street Art Exhibition di Jakarta (2017)
5. Pameran foto 'Trash Artifacts' di Plaza Renon, Denpasar (2018)
6. Trashstock Festival di Kulidan Kitchen & Space, Desa Guwang, Sukawati (2018)
Hasil fotografinya dikemas ke dalam bentuk kartu pos yang bertemakan sampah plastik yang ditemuinya selama penelitian.
Kartu Pos Trash Artifacts yang memuat foto tentang sampah plastik - Dok. NusaBali
Berangkat dari proyeknya ini, Vifick pun berharap agar masyarakat sama-sama sadar akan sampah plastik yang susah untuk dihindari. Namun, sampai kapan pun kampanye ini tidak akan berhasil bila kesadaran untuk mengurangi sampah tidak timbul dari dalam diri. Maka, Vifick pun mengawalinya dari dirinya sendiri untuk ‘menampar’ diri dengan karya yang ia buat, agar ia selalu diingatkan bahwa sampah plastik masih merajalela dan bagaimana seharusnya menyikapinya. Perlu diingat, ia hanya menjalankan swadarmanya sebagai seorang fotografer, bukan pahlawan sampah.*ph
"Sampah plastik menjadi masalah di mana-mana, termasuk di Bali. Data Badan Lingkungan Hidup Bali, tiap hari, sampah rata-rata 4.695 meter kubik. Data lain menyebut hingga 6.000 meter kubik. Dari jumlah itu, sampah plastik sekitar 516,45 meter kubik per hari atau 11%."
Sumber kutipan: www.rumahkelima.com
1
Komentar