Janger Klasik Perlu Dipertahankan
“Sesungguhnya ini janger yang lebih klasik daripada janger-janger yang lain. Karena janger Singapadu ini kombinasi antara janger Peliatan, Singapadu, dan Kedaton yang menjadi puncak-puncaknya janger di tahun 40-an, 48, 47” (Pengamat seni dan kurator, Prof Dr I Made Bandem)
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Lango Murti dari Desa Singapadu, Gianyar menampilkan janger klasik yang sudah ada sejak tahun 1950-an. Janger klasik adalah salah satu kesenian yang patut dipertahankan. Butuh usaha serius untuk mendorong anak-anak muda mencintai seni ini. Hal tersebutlah yang mendorong kelian banjar dari Desa Singapadu ini, I Made Wijana untuk terus meregenerasi penari janger klasik itu.
“Tahun 1950-an sudah ada janger ini dan turun-temurun, sekarang sudah generasi yang ke 21. Sanggar ini di bawah naungan STT (Sekaa Teruna-Teruni-red) di desa kami, jadi sudah barang tentu semua teruna-teruni tergabung dalam sanggar ini,” jelas Wijana di sela pementasan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Denpasar, Selasa (21/8) malam.
Sebagai kelian, Wijana pun berusaha intens mengawasi anak muda yang menari dan menabuh pada gelar Bali Mandara Mahalango V. Setiap latihan Wijana mengawasi dan memberikan masukan-masukan yang dirasa penting. Sudah tampil untuk kedua kalinya, Wijana merasa performa janger kali ini kuranglah maksimal. “Pertama kali kami tampil itu tahun 2016 dan saat itu lebih siap sehingga kami buatkan lakon di dalam janger. Sedangkan karena banyaknya kesibukan dari para penampil, maka kami hanya menampilkan janger yang sudah kami tarikan turun-temurun,” ungkap Wijana.
Meski dirasa biasa saja, namun bagi salah satu penabuh Sanggar Lango Murti, I Made Dhima Fransima menuturkan dengan garapan janger tanpa lakon, suasana kekentalan klasik sebuah kesenian janger sangatlah terasa. “Memang dulu pakai lakon, sekarang tidak. Tapi dengan yang seperti ini lebih terasa natural dan klasiknya,” jelas Dhima. Berlangsung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar kesenian janger khas Singapadu, Gianyar ini pun terasa klasik dan apik.
Pengamat seni yang juga kurator Bali Mandara Mahalango V, Prof Dr I Made Bandem juga menangkap kesan klasik dari penampilan Sanggar Lango Murti. Justru Prof Bandem menangkap itu kelebihan dan kekuatan dari janger yang ditampilkan Sanggar Lango Murti. “Sesungguhnya ini janger yang lebih klasik daripada janger-janger yang lain. Karena janger Singapadu ini kombinasi antara janger Peliatan, Singapadu, dan Kedaton yang menjadi puncak-puncaknya janger di tahun 40-an, 48, 47. Janger ini sedang menjadi model di Bali sesungguhnya karena kombinasi itu,” jelas Prof Bandem.
Menurutnya, janger yang ditampilkan ini memang telah menjadi seni klasik saat ini. Bahkan lebih klasik dibandingkan dengan janger Menyali atau janger-janger yang lain. Itu karena janger ini jauh lebih awal dibandingkan janger-janger yang pernah ada. Dari segi penataan tarinya sudah ditata dengan bagus. Begitu juga penataan kecaknya. Selain itu penampilannya terasa komplit.”Ini sesunggunya model janger yang perlu kita pertahankan. Walaupun saya tahu ada beberapa gending-gending yang sudah tidak dilagukan lagi,” tegasnya. Sementara itu, menurut Prof Bandem, apa yang ditampilkan ini tidak kuno asal dikemas seperti sekarang. Misalkan koreografinya barangkali dapat improvisasi. *ind
“Tahun 1950-an sudah ada janger ini dan turun-temurun, sekarang sudah generasi yang ke 21. Sanggar ini di bawah naungan STT (Sekaa Teruna-Teruni-red) di desa kami, jadi sudah barang tentu semua teruna-teruni tergabung dalam sanggar ini,” jelas Wijana di sela pementasan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Denpasar, Selasa (21/8) malam.
Sebagai kelian, Wijana pun berusaha intens mengawasi anak muda yang menari dan menabuh pada gelar Bali Mandara Mahalango V. Setiap latihan Wijana mengawasi dan memberikan masukan-masukan yang dirasa penting. Sudah tampil untuk kedua kalinya, Wijana merasa performa janger kali ini kuranglah maksimal. “Pertama kali kami tampil itu tahun 2016 dan saat itu lebih siap sehingga kami buatkan lakon di dalam janger. Sedangkan karena banyaknya kesibukan dari para penampil, maka kami hanya menampilkan janger yang sudah kami tarikan turun-temurun,” ungkap Wijana.
Meski dirasa biasa saja, namun bagi salah satu penabuh Sanggar Lango Murti, I Made Dhima Fransima menuturkan dengan garapan janger tanpa lakon, suasana kekentalan klasik sebuah kesenian janger sangatlah terasa. “Memang dulu pakai lakon, sekarang tidak. Tapi dengan yang seperti ini lebih terasa natural dan klasiknya,” jelas Dhima. Berlangsung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar kesenian janger khas Singapadu, Gianyar ini pun terasa klasik dan apik.
Pengamat seni yang juga kurator Bali Mandara Mahalango V, Prof Dr I Made Bandem juga menangkap kesan klasik dari penampilan Sanggar Lango Murti. Justru Prof Bandem menangkap itu kelebihan dan kekuatan dari janger yang ditampilkan Sanggar Lango Murti. “Sesungguhnya ini janger yang lebih klasik daripada janger-janger yang lain. Karena janger Singapadu ini kombinasi antara janger Peliatan, Singapadu, dan Kedaton yang menjadi puncak-puncaknya janger di tahun 40-an, 48, 47. Janger ini sedang menjadi model di Bali sesungguhnya karena kombinasi itu,” jelas Prof Bandem.
Menurutnya, janger yang ditampilkan ini memang telah menjadi seni klasik saat ini. Bahkan lebih klasik dibandingkan dengan janger Menyali atau janger-janger yang lain. Itu karena janger ini jauh lebih awal dibandingkan janger-janger yang pernah ada. Dari segi penataan tarinya sudah ditata dengan bagus. Begitu juga penataan kecaknya. Selain itu penampilannya terasa komplit.”Ini sesunggunya model janger yang perlu kita pertahankan. Walaupun saya tahu ada beberapa gending-gending yang sudah tidak dilagukan lagi,” tegasnya. Sementara itu, menurut Prof Bandem, apa yang ditampilkan ini tidak kuno asal dikemas seperti sekarang. Misalkan koreografinya barangkali dapat improvisasi. *ind
Komentar