MUTIARA WEDA : Wiku Sempurna
Itulah yang dinamakan wiku sempurna, karena sudah mampu melenyapkan keraguan pikiran, pikiran yang lekat dengan nafsu, itu sudah lenyap oleh sang pandita.
Yeka ngaran purna wiku, mapan sampun nir sinangsaya cita mapansampun ilang, nis kapua ngaraning nora, cita ngaraning karep, ika ta sampun ilang, de sang pandita
(Tutur Kadiatmikan 12a)
TUTUR Kadiatmikan menggambarkan bagaimana seorang wiku yang sempurna itu. Satu hal yang dijadikan barometer atau ukuran bahwa seorang wiku itu telah sempurna adalah kondisi pikirannya. Saat pikiran seorang wiku telah betul-betul murni, telah bebas dari keraguan, yang tidak lagi dilekati hawa nafsu, maka dia disebut wiku yang sempurna. Sebaliknya, selama kriteria tersebut belum dipenuhi, maka dia dipastikan belum sempurna atau mereka yang sedang di dalam perjalanan. Bagaimana kita tahu apakah wiku tersebut betul-betul sempurna atau tampaknya sempurna?
Kita tidak pernah bisa tahu secara pasti apakah seorang wiku/guru itu belum sempurna atau sudah sempurna, sebab sangat sering perilaku mereka tidak bisa dinilai. Dalam perjalanan sejarah panjang sistem perguruan yang ada, sering pada zamannya orang yang telah mencapai kesempurnaan dianggap tercela, berbahaya, dan bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Sokrates, Kabir, dan sederetan guru lainnya, pada zamannya dianggap berbahaya dan akhirnya dihakimi atas dasar perilaku yang bertentangan dengan hukum dan norma yang berkembang waktu itu. Hanya belakangan, ketika badannya tidak ada lagi, banyak yang menemukan bahwa beliaulah yang tercerahkan. Demikian juga tidak sedikit dari tampilan seorang guru yang sangat elegan, tampak sempurna, dijunjung tinggi, tetapi jika dilihat kepribadiannya tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan yang tidak menampakkan sedikit pun kesempurnaan. Dilemanya ada di sini.
Jika standar yang dipakai menilai adalah sebuah tatanan yang ada di masyarakat, maka siapa pun mereka yang senantiasa sesuai dengan kriteria itu, bisa disebut sempurna, meskipun di dalamnya banyak yang menipu, penuh kebohongan, dan hanya pencitraan. Di dunia ini, orang yang mengambil peran sebagai wiku oleh karena tidak ada pilihan atau muncul dari kebingungannya dan orang yang menjadi wiku oleh karena pencerahan yang dialaminya senantiasa hidup berdampingan dan akan ada setiap saat. Wiku sejati dan wiku politis senantiasa ada, dan bahkan wiku yang politis bisa lebih mentereng dan dianggap lebih hebat oleh masyarakat oleh karena performa-nya. Masyarakat memandang wiku itu dari perilakunya, tidak dari eksistensinya. Masyarakat hanya mampu melihat dari permukaannya, tidak bisa dari kedalaman jiwanya. Makanya disinilah seseorang sering menghakimi.
Seperti misalnya, jika ada seseorang yang sudah didwijati secara formal, yang disaksikan oleh masyarakat dan lembaga yang berwenang, maka orang itu dianggap sebagai orang suci, wiku yang layak diteladani. Berbagai label perilaku ideal disematkan padanya. Sedikit pun tidak diberikan ruang untuk lepas dari label tersebut, seperti wiku adalah orang yang berpengetahuan, sumber kebenaran, orang yang baik, jujur, dan sebagainya. Tidak ada sedikit pun celah yang tersisa bagi mereka yang didwijati untuk mengekspresikan dirinya apa adanya. Mereka sudah dianggap sempurna seperti halnya label tersebut. Ketika seorang wiku, kemudian berperilaku tidak sesuai dengan label tersebut, maka wiku itu dianggap melanggar norma kesucian dan berperilau tidak pantas. Orang kemudian dengan gampang menghujat bahwa dia bukanlah wiku sejati dengan melontarkan kata-kata kasar.
Tapi, jika kita lihat fenomena di lapangan, dwijati bukanlah masalah prosesi upacara atau ritus pentahbisan saja, melainkan adalah sesuatu yang bersifat eksistensi. Ketika orang itu menyadari dirinya yang sejati, walaupun dirinya tidak disaksikan oleh masyarakat atau lembaga, maka orang itu tetaplah seorang dwijati secara eksistensi. Dwijati dengan sebuah ritus itu lebih sering hanyalah sebuah proses untuk menduduki jabatan profesi baru yang disebut dengan sulinggih. Ritus itu tidak serta merta mengantarkan seseorang mencapai kesempurnaan, walaupun itu memungkinkan. Walaupun dirinya telah didwijati secara sah dan meyakinkan di dalam sebuah ritus, bisa saja secara eksistensi dirinya masih seperti semula, sehingga perilakunya biasanya akan terdorong untuk ke awal. Kalaupun dia kelihatan berubah, perilaku itu bukanlah muncul dari eksistensinya secara otentik. Tampilannya sebenarnya hanya menyesuaikan dengan topeng yang dibebankan padanya. Inilah yang harus diperhatikan ketika memikirkan dan membicarakan tentang wiku. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Tutur Kadiatmikan 12a)
TUTUR Kadiatmikan menggambarkan bagaimana seorang wiku yang sempurna itu. Satu hal yang dijadikan barometer atau ukuran bahwa seorang wiku itu telah sempurna adalah kondisi pikirannya. Saat pikiran seorang wiku telah betul-betul murni, telah bebas dari keraguan, yang tidak lagi dilekati hawa nafsu, maka dia disebut wiku yang sempurna. Sebaliknya, selama kriteria tersebut belum dipenuhi, maka dia dipastikan belum sempurna atau mereka yang sedang di dalam perjalanan. Bagaimana kita tahu apakah wiku tersebut betul-betul sempurna atau tampaknya sempurna?
Kita tidak pernah bisa tahu secara pasti apakah seorang wiku/guru itu belum sempurna atau sudah sempurna, sebab sangat sering perilaku mereka tidak bisa dinilai. Dalam perjalanan sejarah panjang sistem perguruan yang ada, sering pada zamannya orang yang telah mencapai kesempurnaan dianggap tercela, berbahaya, dan bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Sokrates, Kabir, dan sederetan guru lainnya, pada zamannya dianggap berbahaya dan akhirnya dihakimi atas dasar perilaku yang bertentangan dengan hukum dan norma yang berkembang waktu itu. Hanya belakangan, ketika badannya tidak ada lagi, banyak yang menemukan bahwa beliaulah yang tercerahkan. Demikian juga tidak sedikit dari tampilan seorang guru yang sangat elegan, tampak sempurna, dijunjung tinggi, tetapi jika dilihat kepribadiannya tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan yang tidak menampakkan sedikit pun kesempurnaan. Dilemanya ada di sini.
Jika standar yang dipakai menilai adalah sebuah tatanan yang ada di masyarakat, maka siapa pun mereka yang senantiasa sesuai dengan kriteria itu, bisa disebut sempurna, meskipun di dalamnya banyak yang menipu, penuh kebohongan, dan hanya pencitraan. Di dunia ini, orang yang mengambil peran sebagai wiku oleh karena tidak ada pilihan atau muncul dari kebingungannya dan orang yang menjadi wiku oleh karena pencerahan yang dialaminya senantiasa hidup berdampingan dan akan ada setiap saat. Wiku sejati dan wiku politis senantiasa ada, dan bahkan wiku yang politis bisa lebih mentereng dan dianggap lebih hebat oleh masyarakat oleh karena performa-nya. Masyarakat memandang wiku itu dari perilakunya, tidak dari eksistensinya. Masyarakat hanya mampu melihat dari permukaannya, tidak bisa dari kedalaman jiwanya. Makanya disinilah seseorang sering menghakimi.
Seperti misalnya, jika ada seseorang yang sudah didwijati secara formal, yang disaksikan oleh masyarakat dan lembaga yang berwenang, maka orang itu dianggap sebagai orang suci, wiku yang layak diteladani. Berbagai label perilaku ideal disematkan padanya. Sedikit pun tidak diberikan ruang untuk lepas dari label tersebut, seperti wiku adalah orang yang berpengetahuan, sumber kebenaran, orang yang baik, jujur, dan sebagainya. Tidak ada sedikit pun celah yang tersisa bagi mereka yang didwijati untuk mengekspresikan dirinya apa adanya. Mereka sudah dianggap sempurna seperti halnya label tersebut. Ketika seorang wiku, kemudian berperilaku tidak sesuai dengan label tersebut, maka wiku itu dianggap melanggar norma kesucian dan berperilau tidak pantas. Orang kemudian dengan gampang menghujat bahwa dia bukanlah wiku sejati dengan melontarkan kata-kata kasar.
Tapi, jika kita lihat fenomena di lapangan, dwijati bukanlah masalah prosesi upacara atau ritus pentahbisan saja, melainkan adalah sesuatu yang bersifat eksistensi. Ketika orang itu menyadari dirinya yang sejati, walaupun dirinya tidak disaksikan oleh masyarakat atau lembaga, maka orang itu tetaplah seorang dwijati secara eksistensi. Dwijati dengan sebuah ritus itu lebih sering hanyalah sebuah proses untuk menduduki jabatan profesi baru yang disebut dengan sulinggih. Ritus itu tidak serta merta mengantarkan seseorang mencapai kesempurnaan, walaupun itu memungkinkan. Walaupun dirinya telah didwijati secara sah dan meyakinkan di dalam sebuah ritus, bisa saja secara eksistensi dirinya masih seperti semula, sehingga perilakunya biasanya akan terdorong untuk ke awal. Kalaupun dia kelihatan berubah, perilaku itu bukanlah muncul dari eksistensinya secara otentik. Tampilannya sebenarnya hanya menyesuaikan dengan topeng yang dibebankan padanya. Inilah yang harus diperhatikan ketika memikirkan dan membicarakan tentang wiku. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar