Baby Smokers dan Perokok Dini Harus Diselamatkan
Fenomena baby smokers dan perokok dini nampaknya harus menjadi perhatian serius dari kaum dewasa.
DENPASAR, NusaBali
Pasalnya, tidak hanya perokok dini berusia 10-14 tahun yang aktif, melainkan anak usia 5-9 tahun juga mulai mengenal yang namanya rokok. Presentasenya bahkan mencapai 1,5 persen. Kampanye memerangi rokok inilah yang terus digencarkan para pegiat anti rokok di Bali yang tergabung dalam Center of Excellence for Tobacco Control & Lung Health (CTCLH) Universitas Udayana.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dalam buku Fakta Tembakau 2014 yang dihimpun CTCLH, menunjukkan bahwa tren perilaku merokok terjadi sejak usia muda. Pada 2013, sebagian besar perilaku merokok dimulai saat umur 15-19 tahun sebanyak 56,9 persen. Sementara, 17,3 persen mulai merokok sejak umur 10-14 tahun. Bahkan sebanyak 1,5 persen bahkan memulai merokok sejak umur 5-9 tahun.
Ketua CTCLH, Made Kerta Duana mengatakan, ini menjadi cerminan bahwa belum adanya kesadaran seluruh elemen masyarakat dalam meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa nantinya. Menurut dia, lingkungan keluarga dan sosial sangat berperan. “Tantangan terbesar terletak pada kesadaran individu di luar lingkungan. Mereka tidak mungkin memulai merokok di rumah, di sekolah, di depan keluarga lain, tapi di luar itu. Siapa lagi yang bertanggung jawab selain lingkungan sosial dan kita sebagai orang tua,” ujarnya di Denpasar, Jumat (24/8).
Menurutnya, semakin dini umur perokok, maka semakin tinggi pula gangguan produktifitas dan kualitas sumber daya manusianya. Ini juga berpengaruh tingkat kerentanan resiko kasus penyakit yang semakin tinggi pula. Jika diakumulasi dari data yang telah dipaparkan, berarti ada sekitar 75,7 persen perokok Indonesia yang berasal dari usia kurang dari 20 tahun. Bagi Kerta Duana, dalam memutus rantai merokok tidak hanya bisa dari dalam saja, tapi juga dari luar. Meski begitu, kebijakan anti rokok di Bali, diakuinya, sudah berjalan optimal sehingga angka prevalensi merokok di Bali tidak mengalami peningkatan signifikan. “Presentase ini masih tergolong besar,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali, Titik Suharyati mengatakan, selain melalui kebijakan-kebijakan strategis seperti pelarangan iklan rokok, upaya-upaya preventif seperti itu dirasa dia sangat penting kedepannya, seperti kebijakan strategis dalam perlindungan anak dan tingkat enforcement yang penerapannya mesti diperketat. “Ada beberapa solusi. Satu diantaranya adalah dengan membentuk Satgas Anti-Rokok yang bergerak tidak hanya di dalam lingkup internal, namun juga melebar hingga ke lingkungan seperti ruang-ruang publik hingga ke banjar desa,” katanya. *ind
Pasalnya, tidak hanya perokok dini berusia 10-14 tahun yang aktif, melainkan anak usia 5-9 tahun juga mulai mengenal yang namanya rokok. Presentasenya bahkan mencapai 1,5 persen. Kampanye memerangi rokok inilah yang terus digencarkan para pegiat anti rokok di Bali yang tergabung dalam Center of Excellence for Tobacco Control & Lung Health (CTCLH) Universitas Udayana.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dalam buku Fakta Tembakau 2014 yang dihimpun CTCLH, menunjukkan bahwa tren perilaku merokok terjadi sejak usia muda. Pada 2013, sebagian besar perilaku merokok dimulai saat umur 15-19 tahun sebanyak 56,9 persen. Sementara, 17,3 persen mulai merokok sejak umur 10-14 tahun. Bahkan sebanyak 1,5 persen bahkan memulai merokok sejak umur 5-9 tahun.
Ketua CTCLH, Made Kerta Duana mengatakan, ini menjadi cerminan bahwa belum adanya kesadaran seluruh elemen masyarakat dalam meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa nantinya. Menurut dia, lingkungan keluarga dan sosial sangat berperan. “Tantangan terbesar terletak pada kesadaran individu di luar lingkungan. Mereka tidak mungkin memulai merokok di rumah, di sekolah, di depan keluarga lain, tapi di luar itu. Siapa lagi yang bertanggung jawab selain lingkungan sosial dan kita sebagai orang tua,” ujarnya di Denpasar, Jumat (24/8).
Menurutnya, semakin dini umur perokok, maka semakin tinggi pula gangguan produktifitas dan kualitas sumber daya manusianya. Ini juga berpengaruh tingkat kerentanan resiko kasus penyakit yang semakin tinggi pula. Jika diakumulasi dari data yang telah dipaparkan, berarti ada sekitar 75,7 persen perokok Indonesia yang berasal dari usia kurang dari 20 tahun. Bagi Kerta Duana, dalam memutus rantai merokok tidak hanya bisa dari dalam saja, tapi juga dari luar. Meski begitu, kebijakan anti rokok di Bali, diakuinya, sudah berjalan optimal sehingga angka prevalensi merokok di Bali tidak mengalami peningkatan signifikan. “Presentase ini masih tergolong besar,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali, Titik Suharyati mengatakan, selain melalui kebijakan-kebijakan strategis seperti pelarangan iklan rokok, upaya-upaya preventif seperti itu dirasa dia sangat penting kedepannya, seperti kebijakan strategis dalam perlindungan anak dan tingkat enforcement yang penerapannya mesti diperketat. “Ada beberapa solusi. Satu diantaranya adalah dengan membentuk Satgas Anti-Rokok yang bergerak tidak hanya di dalam lingkup internal, namun juga melebar hingga ke lingkungan seperti ruang-ruang publik hingga ke banjar desa,” katanya. *ind
Komentar