Orang Bali Pulang
Alangkah banyak kisah tentang pulang. Hampir setiap orang punya cerita pulang, tak peduli mereka pernah berkelana atau cuma sekadar ke luar rumah.
Siapa saja yang pernah pergi sendiri, dalam waktu pendek, apalagi lama, tentu merasakan benar makna pulang. Orang-orang memaknai pulang bukan sebagai olah fisik semata, tapi juga olah pikiran, pengelanaan rasa dan hasrat.
Karena begitu banyak cerita pulang, banyak film, drama, cerita pendek, puisi, novel, roman, berkisah tentang pulang. Dan menjadi aneh, mengapa kisah-kisah pulang sangat digemari, dikemas beraneka ragam, dan selalu menarik minat. Tidak cuma satu-dua kali orang menikmatinya, tapi membaca dan menontonnya berulang-ulang, tak pernah jenuh, tidak pernah bosan.
Bagi seseorang, pulang bisa jadi sesuatu yang biasa, rutinitas. Bangun pagi, setelah sarapan berangkat ke kantor, sore balik pulang. Dalam perjalanan pulang terbayang sebuah tempat untuk istirahat, bertemu orang-orang yang menunggu dan sangat mengasihi. Orang-orang kemudian berujar, rumah adalah tempat yang membuat kita rindu pulang. Kalau tak ada rumah, tak ada pulang. Rumah menjadi sebuah wilayah yang menguasai pulang.
Penguasaan itu tidak cuma fisik, juga nonfisik; tidak semata duniawi, juga niskala. Orang Bali zaman dulu sangat menghayati pulang sebagai alam nyata dan alam sana. Pulang dimanifestasikan sebagai tempat yang tampak nyata, juga tempat akan datang. Pulang dimaknai sebagai awal langkah menuju alam sana, yang hanya bisa ditempuh setelah kematian. Ketika seseorang mati, ia berangkat pulang. Ketika seseorang lahir juga dianggap pulang, datang, dianggap kembali setelah dulu pernah berangkat. Bagi orang Bali, pulang itu berada dalam satu lingkaran reinkarnasi.
Ada seorang kakek berusia 85 tahun, taat benar memaknai filosofi pulang. Setiap ia punya anak, dia datang ke orang pintar (sedahan), menanyakan, siapakah gerangan yang pulang? Maksudnya, roh, atman, siapakah yang menitis ke anaknya?
Si dukun, orang pintar itu, mencoba kesurupan, bertanya pada roh-roh leluhur si kakek. Si orang pintar kemudian memberi bayangan dan ciri-ciri anggota keluarga yang sudah meninggal. Dan si kakek akan manggut-manggut, “Oooooo ini Pan Comel yang pulang.” Maksudnya, Comel itu pamannya yang meninggal enam tahun lalu, sudah diaben, sekarang menitis ke badan fisik anaknya.
Tatkala si kakek punya cucu, ia juga menanyakan ke orang pintar, siapa gerangan yang pulang, yang menitis? Orang pintar akan menyebut ciri-ciri, dan si kakek akan berseru, “Oooo kalau yang ini Meme Tamped yang pulang.” Tamped adalah bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual buah di pasar. Jika seseorang lahir, itu adalah kepulangan roh dari alam sana ke bumi. Pulang berarti menitis.
Seorang anak muda menikah tiga tahun setelah ayahnya meninggal. Ketika istrinya melahirkan anak lelaki, dia sangat girang. Ia perhatikan terus anaknya. Tatkala si anak berusia tiga bulan, ia semakin senang memperhatikannya. Kepada ibu, istri, saudara, dan kerabatnya dia bilang, “Lihatlah, coba perhatikan, anakku ini persis papa.” Ia sangat yakin, yang menitis, menumadi, berreinkarnasi ke anaknya adalah ayahnya. Kerinduan pada fisik ayahnya pun terobati. Dia sangat rajin dan patuh merawat anaknya. “Setiap aku menyentuh anakku, selalu kurasakan aku mendekap papa,” ujarnya kepada siapa saja.
Pulang juga berarti kembali ke asal. Orang Bali sangat yakin, siapa saja yang mati itu adalah pulang ke tanah asal. Alam sana itu rumah, di sini juga rumah. Kedua tempat itu membuat orang Bali rindu pulang. Alam sana sering disebut sebagai rumah wayah (tua). Dunia ini rumah modern. Maka tak perlu sedih menghadapi kenyataan kematian, karena itu tak lebih dari perjalanan pulang. Namun toh hampir semua orang kecut nyalinya menghadapi kematian. Mati itu ibarat sebuah lorong gelap yang sangat sulit dipahami. Padahal itu tak lebih dari pulang. Toh setelah sampai di sana, kelak akan balik lagi pulang ke sini. Kehidupan dan kematian manusia, menurut orang Bali, adalah perjalanan bolak-balik pulang.
Tapi banyak juga tak sepenuhnya sependapat menghubungkan makna pulang sebagai manifestasi dari reinkarnasi. Semua itu, kelahiran dan kematian, dinilai tak lebih dari proses biologis semata. Semua itu ada dasar-dasar logikanya. Bagi siapa saja yang menekuni ilmu genetika, akan berpendapat itu semua adalah hal ihwal ilmu keturunan semata. Seseorang lahir akan membawa bentuk fisik dan sifat-sifat dari generasi pendahulunya. Wajar dan pasti kalau si anak lahir menyerupai kakeknya. Ada kromosom, DNA (deoxyribonucleic acid), yang berperan menentukan fisik dan perilaku seseorang yang diturunkan dari pendahulunya.
Jika si kakek yang 85 tahun itu selalu rajin bertanya ke orang-orang pintar siapa anggota keluarga yang sudah meninggal menitis ke bumi, sesungguhnya ia sedang mempelajari kromosom dan DNA keluarga besarnya. Dari sosok yang pulang itulah orang-orang jadi tahu seperti ada fisik dan perilaku leluhur dan keturunan mereka. Ah, sesungguhnya alangkah indah dan agung kisah-kisah tentang pulang itu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Karena begitu banyak cerita pulang, banyak film, drama, cerita pendek, puisi, novel, roman, berkisah tentang pulang. Dan menjadi aneh, mengapa kisah-kisah pulang sangat digemari, dikemas beraneka ragam, dan selalu menarik minat. Tidak cuma satu-dua kali orang menikmatinya, tapi membaca dan menontonnya berulang-ulang, tak pernah jenuh, tidak pernah bosan.
Bagi seseorang, pulang bisa jadi sesuatu yang biasa, rutinitas. Bangun pagi, setelah sarapan berangkat ke kantor, sore balik pulang. Dalam perjalanan pulang terbayang sebuah tempat untuk istirahat, bertemu orang-orang yang menunggu dan sangat mengasihi. Orang-orang kemudian berujar, rumah adalah tempat yang membuat kita rindu pulang. Kalau tak ada rumah, tak ada pulang. Rumah menjadi sebuah wilayah yang menguasai pulang.
Penguasaan itu tidak cuma fisik, juga nonfisik; tidak semata duniawi, juga niskala. Orang Bali zaman dulu sangat menghayati pulang sebagai alam nyata dan alam sana. Pulang dimanifestasikan sebagai tempat yang tampak nyata, juga tempat akan datang. Pulang dimaknai sebagai awal langkah menuju alam sana, yang hanya bisa ditempuh setelah kematian. Ketika seseorang mati, ia berangkat pulang. Ketika seseorang lahir juga dianggap pulang, datang, dianggap kembali setelah dulu pernah berangkat. Bagi orang Bali, pulang itu berada dalam satu lingkaran reinkarnasi.
Ada seorang kakek berusia 85 tahun, taat benar memaknai filosofi pulang. Setiap ia punya anak, dia datang ke orang pintar (sedahan), menanyakan, siapakah gerangan yang pulang? Maksudnya, roh, atman, siapakah yang menitis ke anaknya?
Si dukun, orang pintar itu, mencoba kesurupan, bertanya pada roh-roh leluhur si kakek. Si orang pintar kemudian memberi bayangan dan ciri-ciri anggota keluarga yang sudah meninggal. Dan si kakek akan manggut-manggut, “Oooooo ini Pan Comel yang pulang.” Maksudnya, Comel itu pamannya yang meninggal enam tahun lalu, sudah diaben, sekarang menitis ke badan fisik anaknya.
Tatkala si kakek punya cucu, ia juga menanyakan ke orang pintar, siapa gerangan yang pulang, yang menitis? Orang pintar akan menyebut ciri-ciri, dan si kakek akan berseru, “Oooo kalau yang ini Meme Tamped yang pulang.” Tamped adalah bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual buah di pasar. Jika seseorang lahir, itu adalah kepulangan roh dari alam sana ke bumi. Pulang berarti menitis.
Seorang anak muda menikah tiga tahun setelah ayahnya meninggal. Ketika istrinya melahirkan anak lelaki, dia sangat girang. Ia perhatikan terus anaknya. Tatkala si anak berusia tiga bulan, ia semakin senang memperhatikannya. Kepada ibu, istri, saudara, dan kerabatnya dia bilang, “Lihatlah, coba perhatikan, anakku ini persis papa.” Ia sangat yakin, yang menitis, menumadi, berreinkarnasi ke anaknya adalah ayahnya. Kerinduan pada fisik ayahnya pun terobati. Dia sangat rajin dan patuh merawat anaknya. “Setiap aku menyentuh anakku, selalu kurasakan aku mendekap papa,” ujarnya kepada siapa saja.
Pulang juga berarti kembali ke asal. Orang Bali sangat yakin, siapa saja yang mati itu adalah pulang ke tanah asal. Alam sana itu rumah, di sini juga rumah. Kedua tempat itu membuat orang Bali rindu pulang. Alam sana sering disebut sebagai rumah wayah (tua). Dunia ini rumah modern. Maka tak perlu sedih menghadapi kenyataan kematian, karena itu tak lebih dari perjalanan pulang. Namun toh hampir semua orang kecut nyalinya menghadapi kematian. Mati itu ibarat sebuah lorong gelap yang sangat sulit dipahami. Padahal itu tak lebih dari pulang. Toh setelah sampai di sana, kelak akan balik lagi pulang ke sini. Kehidupan dan kematian manusia, menurut orang Bali, adalah perjalanan bolak-balik pulang.
Tapi banyak juga tak sepenuhnya sependapat menghubungkan makna pulang sebagai manifestasi dari reinkarnasi. Semua itu, kelahiran dan kematian, dinilai tak lebih dari proses biologis semata. Semua itu ada dasar-dasar logikanya. Bagi siapa saja yang menekuni ilmu genetika, akan berpendapat itu semua adalah hal ihwal ilmu keturunan semata. Seseorang lahir akan membawa bentuk fisik dan sifat-sifat dari generasi pendahulunya. Wajar dan pasti kalau si anak lahir menyerupai kakeknya. Ada kromosom, DNA (deoxyribonucleic acid), yang berperan menentukan fisik dan perilaku seseorang yang diturunkan dari pendahulunya.
Jika si kakek yang 85 tahun itu selalu rajin bertanya ke orang-orang pintar siapa anggota keluarga yang sudah meninggal menitis ke bumi, sesungguhnya ia sedang mempelajari kromosom dan DNA keluarga besarnya. Dari sosok yang pulang itulah orang-orang jadi tahu seperti ada fisik dan perilaku leluhur dan keturunan mereka. Ah, sesungguhnya alangkah indah dan agung kisah-kisah tentang pulang itu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar