KPU dan Bawaslu Diminta Perjelas Aturan Tagar
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memandang gerakan #2019GantiPresiden pada dasarnya tak bisa dilepaskan dari kepentingan kontestasi politik.
JAKARTA, NusaBali
Menurut dia, mereka yang menggaungkan tagar ini bermain di ruang kosong yang tak terjangkau oleh Undang-undang tentang Pemilu. "Sebab, pengaturan soal aktivitas kampanye, misalnya, sebatas ketika sudah ditetapkan adanya pasangan calon. Kalau belum ada pasangan calon dianggap celah yang bisa diakali untuk mendorong bakal paslon tertentu sebelum periode kampanye dimulai," kata Titi di Jakarta, Senin (27/8).
Titi berharap, agar KPU dan Bawaslu membangun pengaturan yang jelas guna menghindari benturan di antara masyarakat akibat penggunaan tagar seperti ini. "Ini bukan bentuk pelarangan kebebasan berpendapat, namun diperlukan pengaturan yang lebih jelas dari KPU dan Bawaslu agar bisa menghindari terjadinya benturan dan ekspresi kebencian di antara kedua belah pihak yang berbeda pendapat," ujarnya.
Celah kosong tersebut, kata dia, semakin dimanfaatkan ketika calon pasangan presiden dan wakil presiden hanya dua saja. Ia menilai, mereka berlindung di balik tagar yang tak menyebutkan nama calon.
Alhasil, pendekatan narasi yang dibangun juga cenderung memainkan isu-isu negatif daripada visi, misi, dan program kerja. Di sisi lain, Titi melihat konflik yang terjadi akibat tagar tersebut disebabkan lemahnya kemampuan elite politik dalam membangun narasi yang positif.
"Elite politik kita kan juga mewarnai narasi ruang publik dengan provokasi-provokasi yang pada akhirnya ikut membelah massa di akar ruput," kata Titi dilansir kompas.com. Ia menilai, situasi itu juga tak membangun pendidikan politik di kalangan masyarakat akar rumput. Sehingga masyarakat juga kesulitan membangun kedewasaan dalam berpolitik ketika menghadapi pilihan yang berbeda. Titi juga menyoroti sikap elite politik yang tak bicara adu gagasan dan program yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. *
Menurut dia, mereka yang menggaungkan tagar ini bermain di ruang kosong yang tak terjangkau oleh Undang-undang tentang Pemilu. "Sebab, pengaturan soal aktivitas kampanye, misalnya, sebatas ketika sudah ditetapkan adanya pasangan calon. Kalau belum ada pasangan calon dianggap celah yang bisa diakali untuk mendorong bakal paslon tertentu sebelum periode kampanye dimulai," kata Titi di Jakarta, Senin (27/8).
Titi berharap, agar KPU dan Bawaslu membangun pengaturan yang jelas guna menghindari benturan di antara masyarakat akibat penggunaan tagar seperti ini. "Ini bukan bentuk pelarangan kebebasan berpendapat, namun diperlukan pengaturan yang lebih jelas dari KPU dan Bawaslu agar bisa menghindari terjadinya benturan dan ekspresi kebencian di antara kedua belah pihak yang berbeda pendapat," ujarnya.
Celah kosong tersebut, kata dia, semakin dimanfaatkan ketika calon pasangan presiden dan wakil presiden hanya dua saja. Ia menilai, mereka berlindung di balik tagar yang tak menyebutkan nama calon.
Alhasil, pendekatan narasi yang dibangun juga cenderung memainkan isu-isu negatif daripada visi, misi, dan program kerja. Di sisi lain, Titi melihat konflik yang terjadi akibat tagar tersebut disebabkan lemahnya kemampuan elite politik dalam membangun narasi yang positif.
"Elite politik kita kan juga mewarnai narasi ruang publik dengan provokasi-provokasi yang pada akhirnya ikut membelah massa di akar ruput," kata Titi dilansir kompas.com. Ia menilai, situasi itu juga tak membangun pendidikan politik di kalangan masyarakat akar rumput. Sehingga masyarakat juga kesulitan membangun kedewasaan dalam berpolitik ketika menghadapi pilihan yang berbeda. Titi juga menyoroti sikap elite politik yang tak bicara adu gagasan dan program yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. *
Komentar