Bali Bisa Manfaatkan Perang Dagang AS vs China
Kreativitas Perajin Perlu Ditingkatkan
DENPASAR, NusaBali
Bali bisa memanfaatkan celah di balik perang dagang antara Amerika Serikat versus China. Asumsinya perang dagang kedua negara tersebut, berakibat harga produk kedua negara meningkat mengikuti peningkatan bea masuk. Di pihak lain, produk-produk Indonesia, khususnya Bali masih bebas dari pengenaan bea masuk, sehingga otomatis lebih pasar peluangnya ditingkatkan volume ekspornya. Demikian urai Ketua Asosiasi Pelaku Usaha Handicraft Indonesia (Aspehi) Bali I Ketut Dharma Siadja, Senin (27/8).
Dikatakan Dharma Siadja, AS merupakan salah satu pasar terbesar industri kerajinan/handicraft Bali selama ini. Baik itu kerajinan kayu, perak dan yang lainnya. Karena itulah, menurutnya pasar tersebut harus dipelihara. Caranya, perajin maupun pelaku industri kerajinan Bali, tetap menjaga kreativitas dalam menciptakan produk-produk atau desain baru. “Tidak monoton,” jelasnya.
Jika sebaliknya, desain hanya itu-itu saja, kata Dharma Siadja akan sulit mempertahankan pasar, meskipun ada peluang lebih terbuka, imbas dari perang dagang Amerika-China. “Saya kira jika kita kreatif, pasar handicraft masih ada prospek,” ujarnya. Sekalipun sampai dengan lewat tengah semester 2018, pertumbuhan ekspor termasuk ke AS cenderung negatif. “Barangkali karena masih pengaruh ekonomi global yang melesu,” ucap Dharma Siadja.
Dia berharap dampak momen peningkatan ekspor produk ekspor, khususnya produk kerajinan Bali segera datang, setelah cukup lama lesu. “Lepas tahun 2017 masih lesu sampai saat ini,” ungkapnya.
Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) menunjukkan AS memang merupakan pasar terbesar ekspor Bali. Hal itu ditandai dengan nilai ekspor Bali ke Amerika Serikat pada Juni dan Juli 2018. Pada bulan Juni, ekspor Bali ke AS sebesar 22,8 juta dollar. Kemudian pada Juli lalu, nilainya 17,7 juta dollar, mengalami penurunan –22,32 persen. Meski demikian nilai ekspor Bali ke AS tetap merupakan yang terbesar ke negara-negara tujuan ekspor Bali, baik di kawasan Asia Pasifik, Uni Eropa dan lainnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Putu Astawa, menyatakan untuk penjajagan dan memelihara ekspor Bali, khususnya handicraft pihaknya bersama dengan Pusat sudah melakukan upaya diversifikasi pasar. “Agar tak selalu bergantung pasar ‘tradisional’ saja,” ujarnya. Menurut Astawa, peluang-peluang pasar di sejumlah negara lain seperti di kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah, masih terbuka. “Prosedurnya kami kira lebih terbuka, ketimbang di di negara-nagara maju yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor seperti Amerika,” jelasnya.
Astawa sepakat, selain diversifikasi pasar, kreativitas dan inovasi dan produk yang ‘ngepop’ juga kunci mengenjot pasar luar negeri dari produk kerajinan Bali. “Dan sentuhan teknologi imformasi, baik dari sisi desain dan pemasaran itu juga mesti. Itulah yang kami upayakan dalam program,” kata Astawa. *k17
Dikatakan Dharma Siadja, AS merupakan salah satu pasar terbesar industri kerajinan/handicraft Bali selama ini. Baik itu kerajinan kayu, perak dan yang lainnya. Karena itulah, menurutnya pasar tersebut harus dipelihara. Caranya, perajin maupun pelaku industri kerajinan Bali, tetap menjaga kreativitas dalam menciptakan produk-produk atau desain baru. “Tidak monoton,” jelasnya.
Jika sebaliknya, desain hanya itu-itu saja, kata Dharma Siadja akan sulit mempertahankan pasar, meskipun ada peluang lebih terbuka, imbas dari perang dagang Amerika-China. “Saya kira jika kita kreatif, pasar handicraft masih ada prospek,” ujarnya. Sekalipun sampai dengan lewat tengah semester 2018, pertumbuhan ekspor termasuk ke AS cenderung negatif. “Barangkali karena masih pengaruh ekonomi global yang melesu,” ucap Dharma Siadja.
Dia berharap dampak momen peningkatan ekspor produk ekspor, khususnya produk kerajinan Bali segera datang, setelah cukup lama lesu. “Lepas tahun 2017 masih lesu sampai saat ini,” ungkapnya.
Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) menunjukkan AS memang merupakan pasar terbesar ekspor Bali. Hal itu ditandai dengan nilai ekspor Bali ke Amerika Serikat pada Juni dan Juli 2018. Pada bulan Juni, ekspor Bali ke AS sebesar 22,8 juta dollar. Kemudian pada Juli lalu, nilainya 17,7 juta dollar, mengalami penurunan –22,32 persen. Meski demikian nilai ekspor Bali ke AS tetap merupakan yang terbesar ke negara-negara tujuan ekspor Bali, baik di kawasan Asia Pasifik, Uni Eropa dan lainnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Putu Astawa, menyatakan untuk penjajagan dan memelihara ekspor Bali, khususnya handicraft pihaknya bersama dengan Pusat sudah melakukan upaya diversifikasi pasar. “Agar tak selalu bergantung pasar ‘tradisional’ saja,” ujarnya. Menurut Astawa, peluang-peluang pasar di sejumlah negara lain seperti di kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah, masih terbuka. “Prosedurnya kami kira lebih terbuka, ketimbang di di negara-nagara maju yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor seperti Amerika,” jelasnya.
Astawa sepakat, selain diversifikasi pasar, kreativitas dan inovasi dan produk yang ‘ngepop’ juga kunci mengenjot pasar luar negeri dari produk kerajinan Bali. “Dan sentuhan teknologi imformasi, baik dari sisi desain dan pemasaran itu juga mesti. Itulah yang kami upayakan dalam program,” kata Astawa. *k17
Komentar