105 Film Dokumenter Berkompetisi di DFF 2018
Usung Tema ‘Air, Tanah, dan Tanah Air’
DENPASAR, NusaBali
Sebanyak 104 film dokumenter dari berbagai kota di Indonesia berkompetisi pada ajang Denpasar Film Festival (DFF) 2018. Film-film tersebut bersaing di dua kategori, yakni kategori umum dan kategori pelajar.
Total film yang masuk ke dalam kategori umum berjumlah 74 karya, berasal dari Bandung, Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Palangkaraya, Merauke, Palembang, Lampung, Surabaya, Jember, Bandung, Semarang, dan Bali. Sedangkan untuk kategori pelajar diikuti 31 karya film dimana 14 di antaranya berasal dari pelajar asal Bali, dan selebihnya berasal dari pelajar berbagai kota di luar Bali, antara lain Cilacap, Malang, Jakarta, dan Bandung.
Menurut Direktur DFF, Agung Bawantara, capaian jumlah film yang disertakan dalam festival ini sangat menggembirakan. Ini menunjukkan gairah membuat film dokumenter di Indonesia cukup tinggi. Sebagai penyelenggara festival yang antara lain bertujuan memajukan film dokumenter di Tanah Air, pihaknya merasa sangat bergembira. Menurut Agung, gairah ini sedikit banyak pasti akan memberi sumbangan bagi semangat berkreativitas di film maupun di sub sektor kreatif lainnya.
“Ini sebuah sumbangsih kecil dari kami di Kota Denpasar dari upaya besar memajukan kreativitas di negeri ini,” ujar Agung, Rabu (29/8).
Bagi Agung, selain memajukan kreativitas, keberadaan film dokumenter sangatlah diperlukan dalam perjalanan sebuah bangsa sebab film dokumenter merupakan semacam potret dan catatan kesaksian otentik dari perjalanan bangsa tersebut.
“Dari film dokumenter kita dapat bercermin secara lebih nyata mengenai kondisi negeri pada kurun tertentu, dan darinya kita belajar agar dapat melangkah lebih baik pada masa mendatang,” imbuh Agung.
Sebagaimana tahun sebelumnya, semua karya dokumenter yang masuk diseleksi melalui dua tahapan. Seleksi tahap pertama dilakukan oleh Dewan Kurator yang terdiri dari Tonny Trimarsanto (Rumah Dokumenter Klaten), Gerzon Ayawaila (Institut Kesenian Jakarta), dan Putu Kusuma Widjaja (Rumah Sang Karsa Buleleng). Seleksi tahap kedua dilakukan oleh Dewan Juri yang terdiri dari Bre Redana, Rio Helmi, I Wayan Juniartha, Panji Wibowo, Slamet Rahardjo Djarot, dan Prof I Made Bandem. Baik kurator maupun juri semuanya terdiri dari pegiat, pengamat, dan akademisi yang memiliki perhatian tinggi terhadap film dokumenter sekaligus telah memiliki reputasi internasional.
Sebagai event, penyelenggaraan DFF tahun ini telah menginjak yang kesembilan. Sepanjang perjalanan itu, DFF tetap konsisten bergelut sebagai penyelenggara perhelatan bagi film-film dokumenter yang kegiatannya menyakup edukasi, apresiasi, kompetisi, dan literasi. Tema yang diusung DFF tahun ini adalah ‘Air, Tanah, dan Tanah Air’. Tema ini merupakan bentuk respons dari DFF melihat kondisi lingkungan di banyak daerah di republik ini yang tidak saja terancam krisis air (lingkungan) tetapi juga krisis rasa kebersamaan sebagai satu kesatuan keluarga yang berdiam di Tanah Air Tercinta. *isu
Sebanyak 104 film dokumenter dari berbagai kota di Indonesia berkompetisi pada ajang Denpasar Film Festival (DFF) 2018. Film-film tersebut bersaing di dua kategori, yakni kategori umum dan kategori pelajar.
Total film yang masuk ke dalam kategori umum berjumlah 74 karya, berasal dari Bandung, Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Palangkaraya, Merauke, Palembang, Lampung, Surabaya, Jember, Bandung, Semarang, dan Bali. Sedangkan untuk kategori pelajar diikuti 31 karya film dimana 14 di antaranya berasal dari pelajar asal Bali, dan selebihnya berasal dari pelajar berbagai kota di luar Bali, antara lain Cilacap, Malang, Jakarta, dan Bandung.
Menurut Direktur DFF, Agung Bawantara, capaian jumlah film yang disertakan dalam festival ini sangat menggembirakan. Ini menunjukkan gairah membuat film dokumenter di Indonesia cukup tinggi. Sebagai penyelenggara festival yang antara lain bertujuan memajukan film dokumenter di Tanah Air, pihaknya merasa sangat bergembira. Menurut Agung, gairah ini sedikit banyak pasti akan memberi sumbangan bagi semangat berkreativitas di film maupun di sub sektor kreatif lainnya.
“Ini sebuah sumbangsih kecil dari kami di Kota Denpasar dari upaya besar memajukan kreativitas di negeri ini,” ujar Agung, Rabu (29/8).
Bagi Agung, selain memajukan kreativitas, keberadaan film dokumenter sangatlah diperlukan dalam perjalanan sebuah bangsa sebab film dokumenter merupakan semacam potret dan catatan kesaksian otentik dari perjalanan bangsa tersebut.
“Dari film dokumenter kita dapat bercermin secara lebih nyata mengenai kondisi negeri pada kurun tertentu, dan darinya kita belajar agar dapat melangkah lebih baik pada masa mendatang,” imbuh Agung.
Sebagaimana tahun sebelumnya, semua karya dokumenter yang masuk diseleksi melalui dua tahapan. Seleksi tahap pertama dilakukan oleh Dewan Kurator yang terdiri dari Tonny Trimarsanto (Rumah Dokumenter Klaten), Gerzon Ayawaila (Institut Kesenian Jakarta), dan Putu Kusuma Widjaja (Rumah Sang Karsa Buleleng). Seleksi tahap kedua dilakukan oleh Dewan Juri yang terdiri dari Bre Redana, Rio Helmi, I Wayan Juniartha, Panji Wibowo, Slamet Rahardjo Djarot, dan Prof I Made Bandem. Baik kurator maupun juri semuanya terdiri dari pegiat, pengamat, dan akademisi yang memiliki perhatian tinggi terhadap film dokumenter sekaligus telah memiliki reputasi internasional.
Sebagai event, penyelenggaraan DFF tahun ini telah menginjak yang kesembilan. Sepanjang perjalanan itu, DFF tetap konsisten bergelut sebagai penyelenggara perhelatan bagi film-film dokumenter yang kegiatannya menyakup edukasi, apresiasi, kompetisi, dan literasi. Tema yang diusung DFF tahun ini adalah ‘Air, Tanah, dan Tanah Air’. Tema ini merupakan bentuk respons dari DFF melihat kondisi lingkungan di banyak daerah di republik ini yang tidak saja terancam krisis air (lingkungan) tetapi juga krisis rasa kebersamaan sebagai satu kesatuan keluarga yang berdiam di Tanah Air Tercinta. *isu
1
Komentar