Sindroma Penyanyi, Bukan Nyanyiannya
SINDROM adalah himpunan gejala yang menandai ketidaknormalan tertentu dan membentuk pola emosi atau perilaku yang dapat diidentifikasi.
Misalnya, seorang mantan pejabat yang tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalunya, sehingga sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang (post power syndrome). Situasi psikologis demikian sering terjadi pada usia mendekati pensiun. Selalu ingin mengungkapkan betapa begitu bangga akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang luar biasa.
Biasanya, post power syndrome banyak menyerang seseorang yang baru pensiun, terkena PHK, seseorang yang pernah mengalami kecacatan karena kecelakaan, menjelang tua atau orang yang turun jabatan, dan sebagainya. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi individu yang mengatasnamakan jabatan sebagai sesuatu yang sangat membanggakan pada dirinya. Semua ini bisa membuat individu pada frustrasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial.
Tetapi judul tulisan di atas tidak ada kaitan dengan dua contoh tersebut. Sindroma yang dimaksud terkait dengan konflik antara atasan dan bawahan. Misalnya, bawahan membangkang pada atasan. Rasa hormat bawahan kepada atasan tergerus karena tidak percaya pada sosok bukan pada kebijakannya. Atau, bawahan yang tidak merasa takut pada peraturan yang berlaku. Mereka lebih melihat siapa atasannya ketimbang apa yang diprogramkan. Fenomena demikian disebut dengan sindroma penyanyi bukan nyanyiannya (the singer not the song syndrome). Penyanyi terkenal dan dicintai penggemarnya tidak mempersoalkan lagu apa yang dinyanyikan. Pendengar hanya mau mendengarkan penyanyi kesayangannya. Penyanyi demikian sudah mampu menjadikan pendengarnya jatuh hati dan sayang.
Penyanyi yang dicintai, serupa dengan atasan, mampu membangun rasa percaya (trust) dan rasa hormat (respect) bawahan. Kedua aspek psikologis itulah yang yang dipentingkan di abad otak dan milennium pikiran ini. Artinya, pemimpin yang dipilih adalah mereka yang mampu membangun rasa percaya dan hormat bawahan. Program, kemampuan, dan berbagai kecerdasan otak lainnya dapat dinomor-duakan setelah kedua aspek tersebut terbangun.
Dewasa ini, situasi pemilu dan pilkada hampir mirip dengan sindroma di atas. Di Bali, misalnya, kandidat gubernur dan wakil gubernur Bali memiliki program unggul dan baik untuk Bali. Demikian juga kandidat bupati dan wakil bupatinya. Pertanyaannya, apakah mereka akan terpilih karena programnya atau sosoknya yang terlanjur dicintai? Berdasarkan atas pembelajaran terhadap sindroma penyanyi bukan nyanyiannya, maka pemimpin Bali masa depan adalah mereka yang mampu membangun harga diri krama Bali. Hal tersebut dapat direngkuh melalui pengembangan rasa bangga, rasa memiliki, rasa berfungsi, dan memiliki orientasi kerja dan berpenghasilan adil sebagai krama Bali (cf.Turner & Helms, 2002).
Calon pemimpin Bali diharapkan tidak menunjukkan power seeking behaviors, perilaku dalam rangka meraih kekuasaan. Menjanjikan ini dan itu adalah cara-cara untuk terpilih menjadi seorang penguasa, bukan pemimpin. Otoritas yang didasarkan atas ketentuan organisasi menjadi kurang efektif. Perangkat formalitas organisasi tidak selalu menjadi jaminan terpilihnya seorang calon gubernur, wakil gubernur, bupati maupun wakil bupati di Bali. Faktor lain yang harus dilirik oleh para calon adalah kualitas diri yang mendorong calon pemimpim dicintai dan dihormati.
Calon pemimpin Bali ke depan harus dipahami sebagai seseorang pemimpin efektif, diterima, dan dicintai oleh semua krama Bali. Penerimaannya bukan karena kemenangan mutlak dalam pemilihan, tetapi karena kualitas dirinya yang menumbuhkan rasa percaya dan hormat. Pemimpin yang bersandar pada otoritas formal dan bekerja berdasarkan atas aturan formal akan kurang efektif. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar