Aptrindo: B20 Lebih Boros
Penggunaan bahan bakar biodiesel yang diberlakukan per 1 September 2018 dinilai memberatkan bagi para pengusaha truk.
JAKARTA, NusaBali
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menilai penggunaan biodiesel 20 persen atau B20 boros 2,3 persen. "Lebih boros 2,3 persen, lebih sering perawatan berkala," kata Wakil Ketua Umum Aptrindo Kyatmaja Lookman, Sabtu (1/9).
Kyatmaja menjelaskan untuk truk-truk tua berpotensi merusak mesin dikarenakan kualitas campuran yang masih dipertanyakan. "Tercampur air karena punya sifat mengikat air, kualitas solar campuran susah dipertanggungjawabkan," katanya. Dia mengaku pihaknya telah mengajukan penundaan pemberlakuan agar bisa dilakukan penyesuaian terlebih dahulu. "Sudah disampaikan, tapi tetap berjalan," katanya.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana menjelaskan bahwa sosialisasi penggunaan B20 tersebut telah dimulai sejak 2,5 tahun yang lalu.
Saat ini, lanjut dia, sudah dilakukan uji coba melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melintasi 40.000 kilometer Jawa dan Sumatera. "Logikanya selama ini sudah digunakan 2,5 tahun yang lalu," katanya.
Rida menuturkan hanya saja saat ini diberlakukan perluasan, sementara pada 2,5 tahun lalu hanya berlaku untuk PSO. "Mereka sudah bilang sanggup, ini program nasional semua harus siap," katanya.
Pemerintah mulai 1 September 2018 mulai memberlakukan penggunaan B20 melalui Peraturan Presiden Peraturan Presiden (Perpres) No 66 tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan kewajiban penggunaan B20 bertujuan menjembatani penghematan devisa, selain mengandalkan sektor pariwisata dengan menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara serta penerapan penyederhaan perizinan lewat OSS (online single submisson) untuk kemudahan berinvestasi. "Jadi, ini satu dari kebijakan yang kita anggap akan cepat dampaknya di samping yang masih memerlukan proses, pariwisata, OSS, insentif perlu proses," katanya.
Sementara itu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan membuat peraturan menteri terkait kewajiban menggunakan biodiesel 20 persen atau B20 bagi pelaku usaha transportasi. Staf Ahli Bidang Teknologi, Lingkungan, dan Energi, Kemenhub, Prasetyo, di Jakarta, Sabtu (1/9) mengatakan pihaknya perlu membuat aturan lebih detil terkait kewajiban penggunaan B20. "Saya pikir begitu, 'kan ini keluarnya Perpres nanti diperlukan lebih detil lagi," katanya.
Dia menilai setiap peraturan yang dibuat sudah melalui proses pembahasan dengan para asosiasi dan pakar di bidangnya, sehingga tidak akan merugikan masyarakat. "Setiap kali kebijakan dari pemerintah tidak akan merugikan masyarakat apapun itu. Saya pikir semua akan dilibatkan proses ini 'kan panjang," katanya.
Ditambah, lanjut dia, tidak ada alasan untuk tidak menggunakan B20 karena sudah peraturan dari pemerintah. Mekanisme pencampuran B20 akan melibatkan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) yang menyediakan solar, dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang memasok FAME (fatty acid methyl esters) yang bersumber dari CPO (crude palm oil).
Dengan peluncuran perluasan mandatori B20 ke semua sektor, maka sejak 1 September 2018 tidak akan ada lagi produk B0 di pasaran dan keseluruhannya berganti dengan B20. Bahan bakar B20 yang merupakan percampuran 80 persen solar minyak bumi dan 20 persen biodiesel yang berasal dari minyak sawit.
Apabila BU BBM tidak melakukan pencampuran dan BU BBN tidak dapat memberikan pasokan FAME ke BU BBM akan dikenakan denda Rp6.000 per liter. Produk B0 nantinya hanya untuk Pertadex atau Diesel Premium. *ant
1
Komentar