MUTIARA WEDA : Roh Politik
SIFAT seorang politisi pragmatis selalu berubah-ubah. Suatu saat bisa berkata benar dan jujur, namun di saat lain bisa berbohong.
Satyanrta ca purusia priyavadini ca,
Himsatra dayalurapi carthapara vadany,a
Nityavyaya pracurannitya dhanagama ca,
Varanganeva nrpanitiraneka rupa.
(Niti Sataka, 38)
Kadang bicara keras, tetapi di lain waktu bicara lembut. Kadang perilakunya menyakitkan, kadang memberi pengampunan. Kadang suka menyumbang, di sisi lain kadang amat serakah. Kadang uang dihamburkan tanpa perhitungan, di sisi lain kadang menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Demikianlah politisi pragmatis selalu berubah bagaikan pelacur.
Jika teks bicara seperti ini yang notabene dibuat dulu sekali, artinya tabiat politisi pragmatis sudah sangat tua. Masalah politisi yang senantiasa memanfaatkan panggung untuk tujuan dirinya bukanlah fenomena kontemporer, sehingga membicarakan hal seperti ini sesungguhnya sudah sangat basi. Tetapi kenapa orang sibuk membicarakannya terus-menerus dan seolah itu adalah sesuatu yang sangat menarik? Ini tentu karena kita sendiri, baik yang membicarakan maupun yang dibicarakan sama-sama produk masa lalu yang juga sepenuhnya basi. Oleh karena sama-sama basi, makanya kita sama-sama tidak mengenal diri kita masing-masing. Pada satu waktu, kita berbicara lantang tentang para politisi busuk yang tidak mempedulikan kebenaran, di waktu lain, ketika giliran kita yang memegang tampuk kepemimpinan, orang yang kita bicarakan tersebut berbalik membicarakan kita dengan menyebut kita sebagai politisi busuk. Kita seolah memiliki otoritas kebenaran untuk menilai orang lain jelek, demikian juga orang lain merasa memiliki otoritas untuk menilai diri kita jelek.
Teks di atas menyebut bahwa politisi pragmatis itu disejajarkan dengan pelacur. Oleh karena kita sama-sama menuding orang lain sebagai pelacur, maka sesungguhnya kita semua adalah pelacur. Seorang pelacur menuduh pelacur lain sebagai pelacur. Demikianlah tanpa berkesudahan. Dari zaman ke zaman akar masalah yang dihadapi peradaban tetap sama, yang berbeda hanya tampilannya berubah dari waktu ke waktu sesuai konteksnya. Pada zaman Mahabharata, Krishna pernah mengatakan hal yang sama tentang ini ketika menjawab pertanyaan Drupadi. Pada suatu waktu Drupadi ingin mengetahui mengapa Krishna senantiasa tahu setiap kemungkinan yang akan terjadi dan prediksinya itu selalu tepat. Atas keingintahuannya, Drupati berkata, “apakah dirimu mampu melihat masa depan?” Krishna menjawab, “jika sesuatu dalam sejarah berulang terjadi, maka sesuatu yang sama kemunginan besar akan terjadi kembali di masa yang akan datang.”
Bagimana Krishna bisa memastikan bahwa sesuatu yang sama akan terjadi berulang di masa depan? Oleh karena indikasi-indikasi yang muncul sebagai awalan dari kejadian tersebut dapat disaksikan saat ini. Ketika pola-pola kejadian pendahuluan di masa lalu terjadi seperti A sehingga kejadian besar B terjadi, dan pola-pola itu tampak berulang berkali-kali dalam sejarah yang juga menyerupai A, dipastikan pada masa yang akan datang akan menjadi sebuah kejadian B yang sama. Sederhananya seperti ini: Pada masa penguasa A berkuasa, para politisi yang bekerja pada barisannya memiliki karakter pragmatis seperti di atas, tentu visi dan misi untuk memberantas korupsi di dalam pemerintahan tidak berhasil. Kejadiannya benar bahwa penguasa A gagal memberantas korupsi. Kemudian penguasa B berkuasa dengan memiliki visi dan misi untuk memberantas korupsi. Tetapi barisan politisi yang berbaris di belakangnya juga memiliki pola perilaku yang sama dengan yang terdahulu, tentu penguasa B juga gagal memberantas korupsi. Kemudian penguasa C berkuasa dan tetap memiliki visi dan misi untuk memberantas korupsi. Jika politisi yang berada pada pemerintahannya juga menunjukkan pola perilaku yang sama dengan sebelumnya, maka sejak awal bisa diprediksi bahwa penguasa C akan gagal memberantas korupsi pada pemerintahannya.
Lalu, apakah semua politisi seperti ini? Sebagian besar pemahaman masyarakat dan para politisi sepertinya demikian, sehingga kejadian itu berulang-ulang. Boleh saja ada ajaran tentang kebenaran. Boleh saja ada ajaran tentang pentingnya politik dengan prinsip. Boleh saja orang dibekali ajaran tentang kepemimpinan yang bersih. Tetapi, ketika mereka di dalam aksi, ketika menyatu di dalamnya, pragmatisme itu tetap menghantuinya. Jarang orang tidak terjebak untuk tidak pragmatis. Pada awalnya orang idealis sangat banyak dan berdedikasi untuk terjun ke dunia politik dengan pemikiran idealisnya. Tetapi ketika terjun, entah bagaimana dirinya sudah berada dalam dunia pragmatis seperti itu. Seolah-olah roh politik itu demikian. Siapa pun yang masuk di dalamnya akan memiliki roh itu. Tentu ada pengecualian untuk orang tertentu, dan orang yang tidak dimasuki roh itu akan menjadi musuh bersama dari para politisi pragmatis. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Himsatra dayalurapi carthapara vadany,a
Nityavyaya pracurannitya dhanagama ca,
Varanganeva nrpanitiraneka rupa.
(Niti Sataka, 38)
Kadang bicara keras, tetapi di lain waktu bicara lembut. Kadang perilakunya menyakitkan, kadang memberi pengampunan. Kadang suka menyumbang, di sisi lain kadang amat serakah. Kadang uang dihamburkan tanpa perhitungan, di sisi lain kadang menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Demikianlah politisi pragmatis selalu berubah bagaikan pelacur.
Jika teks bicara seperti ini yang notabene dibuat dulu sekali, artinya tabiat politisi pragmatis sudah sangat tua. Masalah politisi yang senantiasa memanfaatkan panggung untuk tujuan dirinya bukanlah fenomena kontemporer, sehingga membicarakan hal seperti ini sesungguhnya sudah sangat basi. Tetapi kenapa orang sibuk membicarakannya terus-menerus dan seolah itu adalah sesuatu yang sangat menarik? Ini tentu karena kita sendiri, baik yang membicarakan maupun yang dibicarakan sama-sama produk masa lalu yang juga sepenuhnya basi. Oleh karena sama-sama basi, makanya kita sama-sama tidak mengenal diri kita masing-masing. Pada satu waktu, kita berbicara lantang tentang para politisi busuk yang tidak mempedulikan kebenaran, di waktu lain, ketika giliran kita yang memegang tampuk kepemimpinan, orang yang kita bicarakan tersebut berbalik membicarakan kita dengan menyebut kita sebagai politisi busuk. Kita seolah memiliki otoritas kebenaran untuk menilai orang lain jelek, demikian juga orang lain merasa memiliki otoritas untuk menilai diri kita jelek.
Teks di atas menyebut bahwa politisi pragmatis itu disejajarkan dengan pelacur. Oleh karena kita sama-sama menuding orang lain sebagai pelacur, maka sesungguhnya kita semua adalah pelacur. Seorang pelacur menuduh pelacur lain sebagai pelacur. Demikianlah tanpa berkesudahan. Dari zaman ke zaman akar masalah yang dihadapi peradaban tetap sama, yang berbeda hanya tampilannya berubah dari waktu ke waktu sesuai konteksnya. Pada zaman Mahabharata, Krishna pernah mengatakan hal yang sama tentang ini ketika menjawab pertanyaan Drupadi. Pada suatu waktu Drupadi ingin mengetahui mengapa Krishna senantiasa tahu setiap kemungkinan yang akan terjadi dan prediksinya itu selalu tepat. Atas keingintahuannya, Drupati berkata, “apakah dirimu mampu melihat masa depan?” Krishna menjawab, “jika sesuatu dalam sejarah berulang terjadi, maka sesuatu yang sama kemunginan besar akan terjadi kembali di masa yang akan datang.”
Bagimana Krishna bisa memastikan bahwa sesuatu yang sama akan terjadi berulang di masa depan? Oleh karena indikasi-indikasi yang muncul sebagai awalan dari kejadian tersebut dapat disaksikan saat ini. Ketika pola-pola kejadian pendahuluan di masa lalu terjadi seperti A sehingga kejadian besar B terjadi, dan pola-pola itu tampak berulang berkali-kali dalam sejarah yang juga menyerupai A, dipastikan pada masa yang akan datang akan menjadi sebuah kejadian B yang sama. Sederhananya seperti ini: Pada masa penguasa A berkuasa, para politisi yang bekerja pada barisannya memiliki karakter pragmatis seperti di atas, tentu visi dan misi untuk memberantas korupsi di dalam pemerintahan tidak berhasil. Kejadiannya benar bahwa penguasa A gagal memberantas korupsi. Kemudian penguasa B berkuasa dengan memiliki visi dan misi untuk memberantas korupsi. Tetapi barisan politisi yang berbaris di belakangnya juga memiliki pola perilaku yang sama dengan yang terdahulu, tentu penguasa B juga gagal memberantas korupsi. Kemudian penguasa C berkuasa dan tetap memiliki visi dan misi untuk memberantas korupsi. Jika politisi yang berada pada pemerintahannya juga menunjukkan pola perilaku yang sama dengan sebelumnya, maka sejak awal bisa diprediksi bahwa penguasa C akan gagal memberantas korupsi pada pemerintahannya.
Lalu, apakah semua politisi seperti ini? Sebagian besar pemahaman masyarakat dan para politisi sepertinya demikian, sehingga kejadian itu berulang-ulang. Boleh saja ada ajaran tentang kebenaran. Boleh saja ada ajaran tentang pentingnya politik dengan prinsip. Boleh saja orang dibekali ajaran tentang kepemimpinan yang bersih. Tetapi, ketika mereka di dalam aksi, ketika menyatu di dalamnya, pragmatisme itu tetap menghantuinya. Jarang orang tidak terjebak untuk tidak pragmatis. Pada awalnya orang idealis sangat banyak dan berdedikasi untuk terjun ke dunia politik dengan pemikiran idealisnya. Tetapi ketika terjun, entah bagaimana dirinya sudah berada dalam dunia pragmatis seperti itu. Seolah-olah roh politik itu demikian. Siapa pun yang masuk di dalamnya akan memiliki roh itu. Tentu ada pengecualian untuk orang tertentu, dan orang yang tidak dimasuki roh itu akan menjadi musuh bersama dari para politisi pragmatis. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar