Warna–warni Busana Bali
JIKA ada yang berniat menikmati hidup penuh warna-warni, tidak keliru kalau mereka memilih Bali.
Di pulau mungil ini, hidup memang sungguh-sungguh kaya warna. Semua orang yang plesir ke Bali tentu sepakat menyatakan, inilah tempat kecil di dunia yang colorfull. Tidak heran jika banyak perupa dari negeri asing hidup di pulau ini, karena mereka bisa semangat menumpahkan warna-warni ke atas kanvas. Cobalah simak karya-karya Le Mayeur, Antonio Blanco, Arie Smit, Rudolf Bonnet, sangat karya warna. Para penikmat warna rupa menyebutnya sebagai sajian yang eksotik. Pelukis Affandi atau Hendra Gunawan tak bosan-bosan bolak-balik Bali untuk mengekspresikan warna-warna bedenyar-denyar yang dimiliki Bali. Terlalu banyak pelukis yang harus disebut, yang menikmati Bali dan menyapukan kuas-kuas mereka setelah menyerap warna-warni Bali.
Tentu sudah menjadi cerita biasa, jika kemudian begitu banyak juru foto yang mengabadikan warna-warna eksotik itu. Warna-warni itu muncul dari panorama Bali, dari laut, angkasa, pohon-pohon, pegunungan, danau, sampai ke tempat-tempat ibadah. Sebelum orang-orang senang selfie seperti sekarang, postcard Bali sangat laris. Warna-warni kartu pos bergambar itu dikirim ke seantero dunia. Jika ada saat ini yang masih menyimpan postcard itu, tentu bisa meresapi, Bali itu sesungguhnya pertemuan dan pergulatan dari bermacam warna.
Bali itu sungguh kaya dengan warna. Rentang spektrum warna Bali memang sangat luas, begitu meriah, bermacam-macam, dengan sekian warna yang terasa aneh dan ajaib. Dari rentang warna itu boleh jadi yang menyebabkan Bali tak bosan-bosan untuk dipandang, selalu menggairahkan, membuat terlena dan berdecak. Banyak wisatawan mengaku, warna-warni Bali membuat mereka jadi teduh dan nyaman. Mereka berpendapat, Bali memang negeri plesir, berkat kekayaan warna-warni yang dimilikinya.
Spektrum warna-warni khas Bali tampil sehari-hari, bisa dinikmati kapan saja. Pelancong yang datang ke acara piodalan di sebuah desa dapat leluasa menikmati kekayaan warna-warni itu. Mereka bisa menikmati warna-warni sesaji yang meriah. Dulu, sebelum tahun 1980-an, warna-warni kebaya perempuan Bali yang tengah bersembahyang ke pura, beraneka macam. Mereka mengenakan kebaya warna hijau gelap, hijau terang, hijau pupus, merah dadu, oranye, biru tua, biru, ungu, atau merah menyala. Para pelukis tentu girang menikmati pemandangan begini, menjadi warna-warna memikat ketika dituang ke kanvas. Foto-foto Bali sebelum tahun 1980-an mempertontonkan dengan fasih aneka warna kebaya itu. Disertai warna-warna kembang dalam sesaji yang beraneka, warna buah yang beragam, warna-warni kebaya itu menjadi sumringah, riang gembira, seperti warna-warni di alam nirwana.
Para perempuan Bali kala itu mengenakan kain padat, kain tetoron polos, tanpa kembang-kembang. Sulit sekali menemukan wanita mengenakan kebaya berbahan kain brokat. Hanya perempuan-perempuan ningrat, keluarga kaya, yang mengenakan brokat. Di zaman itu perempuan Bali mengenakan kebaya dengan model sopan, sehingga mereka menjadi anggun dan sederhana. Model busana wanita Bali kala itu sama sekali tidak pernah bertingkah. Modelnya cuma satu macam, warnanya yang beragam.
Sejak akhir 1990-an kebaya-kebaya itu perlahan berubah. Kain tetoron ditinggalkan, hampir semua mengenakan brokat. Entah mengapa, perempuan Bali senang mengenakan busana yang transparan, mempertontonkan lekuk tubuh di tempat-tempat suci. Kebaya brokat mereka kenakan ketika sembahyang ke pura. Brokat-brokat itu tetap warna-warni, tapi tidak semeriah dan seindah dulu, sebelum 1980-an. Bukan warna-warni yang menjadi perbincangan, tapi betapa mahal brokat-brokat itu. Para wanita Bali terkesan berlomba mengenakan busana mahal, bukan busana santun nan indah.
Majalah Sarad (almarhum) yang terbit di Denpasar, edisi Maret 2000, melaporkan kegairahan fashion kaum remaja Bali yang doyan mengenakan kebaya tembus pandang. Sarad menyebutnya sebagai kebaya ‘jala ikan’, karena selain transparan, kebaya itu berlobang-lobang, sehingga kutang jelas tampak. Selera kaum remaja ini diikuti ibu-ibu di pedesaan. Yang tampak di balik kebaya transparan ini BH yang kumal, karena sering dikenakan ketika memetik tomat dan sayur di kebun.
Perempuan Bali tidak memiliki saat atau pesta khusus untuk memamerkan kekayaan warna-warni busana yang mereka memiliki. Orang Bali umumnya tak mengenal fashion show, tidak mengenal cat walk. Panggung busana mereka adalah upacara adat dan agama, atau ketika upacara di tempat-tempat suci saat beribadah. Karena model busana juga menampilkan kreativitas, tak sedikit model kebaya dan kamben yang membuat perempuan Bali tampil seksi: menonjolkan belahan dada, membuat pinggul tampak padat dan kencang, dan tentu saja, brokat transparan.
Selalu tampil seksi di tempat suci dengan busana bermacam model dan aneka warna-warni, menjadi pilihan wanita Bali, terutama kaum remaja. Tempat suci menjadi peluang menonjolkan daya pikat kewanitaan. Tak heran, banyak laki-laki senang datang ke tempat suci untuk menonton wanita Bali tampil memikat. “Wanita Bali itu cantik-cantik dan aduhai,” puji mereka. Kekaguman itu dilontarkan ketika kegiatan upacara adat dan keagamaan tengah berlangsung, tidak di pesta atau di pusat perbelanjaan. Bagi sebagian orang ini mengganggu, tidak pantas, sehingga perlu diatur dalam awig-awig, sekalian dibuatkan perda (peraturan daerah), perbup (peraturan bupati) atau pergub (peraturan gubernur). Wah, bakalan tambah ramai nih warna-warni busana Bali. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Tentu sudah menjadi cerita biasa, jika kemudian begitu banyak juru foto yang mengabadikan warna-warna eksotik itu. Warna-warni itu muncul dari panorama Bali, dari laut, angkasa, pohon-pohon, pegunungan, danau, sampai ke tempat-tempat ibadah. Sebelum orang-orang senang selfie seperti sekarang, postcard Bali sangat laris. Warna-warni kartu pos bergambar itu dikirim ke seantero dunia. Jika ada saat ini yang masih menyimpan postcard itu, tentu bisa meresapi, Bali itu sesungguhnya pertemuan dan pergulatan dari bermacam warna.
Bali itu sungguh kaya dengan warna. Rentang spektrum warna Bali memang sangat luas, begitu meriah, bermacam-macam, dengan sekian warna yang terasa aneh dan ajaib. Dari rentang warna itu boleh jadi yang menyebabkan Bali tak bosan-bosan untuk dipandang, selalu menggairahkan, membuat terlena dan berdecak. Banyak wisatawan mengaku, warna-warni Bali membuat mereka jadi teduh dan nyaman. Mereka berpendapat, Bali memang negeri plesir, berkat kekayaan warna-warni yang dimilikinya.
Spektrum warna-warni khas Bali tampil sehari-hari, bisa dinikmati kapan saja. Pelancong yang datang ke acara piodalan di sebuah desa dapat leluasa menikmati kekayaan warna-warni itu. Mereka bisa menikmati warna-warni sesaji yang meriah. Dulu, sebelum tahun 1980-an, warna-warni kebaya perempuan Bali yang tengah bersembahyang ke pura, beraneka macam. Mereka mengenakan kebaya warna hijau gelap, hijau terang, hijau pupus, merah dadu, oranye, biru tua, biru, ungu, atau merah menyala. Para pelukis tentu girang menikmati pemandangan begini, menjadi warna-warna memikat ketika dituang ke kanvas. Foto-foto Bali sebelum tahun 1980-an mempertontonkan dengan fasih aneka warna kebaya itu. Disertai warna-warna kembang dalam sesaji yang beraneka, warna buah yang beragam, warna-warni kebaya itu menjadi sumringah, riang gembira, seperti warna-warni di alam nirwana.
Para perempuan Bali kala itu mengenakan kain padat, kain tetoron polos, tanpa kembang-kembang. Sulit sekali menemukan wanita mengenakan kebaya berbahan kain brokat. Hanya perempuan-perempuan ningrat, keluarga kaya, yang mengenakan brokat. Di zaman itu perempuan Bali mengenakan kebaya dengan model sopan, sehingga mereka menjadi anggun dan sederhana. Model busana wanita Bali kala itu sama sekali tidak pernah bertingkah. Modelnya cuma satu macam, warnanya yang beragam.
Sejak akhir 1990-an kebaya-kebaya itu perlahan berubah. Kain tetoron ditinggalkan, hampir semua mengenakan brokat. Entah mengapa, perempuan Bali senang mengenakan busana yang transparan, mempertontonkan lekuk tubuh di tempat-tempat suci. Kebaya brokat mereka kenakan ketika sembahyang ke pura. Brokat-brokat itu tetap warna-warni, tapi tidak semeriah dan seindah dulu, sebelum 1980-an. Bukan warna-warni yang menjadi perbincangan, tapi betapa mahal brokat-brokat itu. Para wanita Bali terkesan berlomba mengenakan busana mahal, bukan busana santun nan indah.
Majalah Sarad (almarhum) yang terbit di Denpasar, edisi Maret 2000, melaporkan kegairahan fashion kaum remaja Bali yang doyan mengenakan kebaya tembus pandang. Sarad menyebutnya sebagai kebaya ‘jala ikan’, karena selain transparan, kebaya itu berlobang-lobang, sehingga kutang jelas tampak. Selera kaum remaja ini diikuti ibu-ibu di pedesaan. Yang tampak di balik kebaya transparan ini BH yang kumal, karena sering dikenakan ketika memetik tomat dan sayur di kebun.
Perempuan Bali tidak memiliki saat atau pesta khusus untuk memamerkan kekayaan warna-warni busana yang mereka memiliki. Orang Bali umumnya tak mengenal fashion show, tidak mengenal cat walk. Panggung busana mereka adalah upacara adat dan agama, atau ketika upacara di tempat-tempat suci saat beribadah. Karena model busana juga menampilkan kreativitas, tak sedikit model kebaya dan kamben yang membuat perempuan Bali tampil seksi: menonjolkan belahan dada, membuat pinggul tampak padat dan kencang, dan tentu saja, brokat transparan.
Selalu tampil seksi di tempat suci dengan busana bermacam model dan aneka warna-warni, menjadi pilihan wanita Bali, terutama kaum remaja. Tempat suci menjadi peluang menonjolkan daya pikat kewanitaan. Tak heran, banyak laki-laki senang datang ke tempat suci untuk menonton wanita Bali tampil memikat. “Wanita Bali itu cantik-cantik dan aduhai,” puji mereka. Kekaguman itu dilontarkan ketika kegiatan upacara adat dan keagamaan tengah berlangsung, tidak di pesta atau di pusat perbelanjaan. Bagi sebagian orang ini mengganggu, tidak pantas, sehingga perlu diatur dalam awig-awig, sekalian dibuatkan perda (peraturan daerah), perbup (peraturan bupati) atau pergub (peraturan gubernur). Wah, bakalan tambah ramai nih warna-warni busana Bali. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar