Upacara Hindu, Filosofi atau Teologi?
BALI tidak pernah jeda melakukan upacara. Di suatu tempat, ada rambu terpampang berbunyi, ‘Hati-hati ada upacara agama’, kadang-kadang ‘Hati-hati ada upacara adat’.
Apakah ber-acara itu teologi atau filosofi? Perdebatan tentang kebenaran pengejawantahan tattwa sering muncul di tengah-tengah pelaksanaan panca yadnya. Berbagai spekulasi dilontarkan untuk memahami konsep teologis maupun filosofis yadnya. Misalnya, Galungan dan Kuningan dilaksanakan untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma. Apakah kemenangan itu sebatas etika atau mengandung nilai ketuhanan? Terhadap pertanyaan demikian, ada yang berpandangan bahwa keduanya tidak harus terpisah. Tetapi, ada yang berpendapat keduanya tidak saling berhubungan. Ada yang mengatakan bahwa logika dan filsafat diperlukan supaya krama Hindu Bali memahami acara dengan baik dan benar. Mana yang benar sepertinya membutuhkan pencerahan.
Mereka yang berposisi moderat menyatakan bahwa filsafat adalah alat yang baik. Tetapi, filsafat tidak boleh diandalkan sepenuhnya. Memang agama Hindu merupakan agama faktual, bukan tekstual. Pada zaman now, cendekiawan Hindu perlu memberikan pencerahan modernis. Mereka harus menemukan cara untuk menjelaskan tentang acara Hindu yang amat kental mewarnai keber-agama-an (religiusisme) di Bali.
Penggunaan filsafat untuk menjelaskan teologi pernah dilakukan di masa silam. Misalnya, Thomas Aquinas, Augustine, dan para pakar teologi lainnya menggunakan metodologi kritis untuk menangkap konsep religi dalam Alkitab. Demikian juga, apologis modern menggunakan argumen filosofis, seperti argumen teleologis dan ontologis tentang eksistensi Tuhan. Mungkin ini yang dimaksud dengan teologi filosofis (philosophical theology). Apakah hal serupa dapat dilakukan terhadap yadnya? Sehingga, konsep tattwa yang melekat dalam yadnya dipahami oleh krama Hindu. Pemahaman tattwa yang benar, maka perdebatan tentang berbagai cara berbeda dalam pelaksanaan akan dapat diminimalkan.
Filsafat membenarkan bahwa menyelidiki sebuah topik. Menggali kebenaran yang tersembunyi adalah gagasan mulia. Manusia telah diberikan kemampuan untuk berlogika, dan tidak ada masalah jika mempelajari filsafat. Secara bersamaan, kita perlu waspada. Ada berbagai bahaya rohani dalam mempelajari filsafat. Omongan kosong dan tidak suci serta pertentangan-pertentangan yang bersumber dari pengetahuan harus dihindarkan. Berbagai teori dan spekulasi manusia tidak dibenarkan untuk menafsirkan kebenaran Veda, apalagi menambah atau mengurangi.
Teologi filosofis merupakan alat. Ia dapat digunakan secara benar atau salah. Perbedaan antara keduanya terletak pada motivasi dan prioritas. Misalnya, jika kita berusaha memahami catur marga melalui batasan akal manusia, maka kita akan gagal. Manusia tidak bisa menyamai Tuhan. Apabila kita menggunakan pikiran kita untuk memahami mutiara-mutiara Veda, maka keyakinan dan kedekatan kita akan semakin meningkat. Usaha belajar kita akan diberi penghargaan. Filsafat bukan kebenaran itu sendiri, dan filsafat lebih menghamba pada kebenaran. Filsafat dapat menjadi alat untuk memudahkan pemahaman tentang kebenaran. Wahyu Tuhan yang terkandung dalam Veda adalah prioritas utama. Sedangkan, filsafat manusia harus menduduki peringkat bawahnya.
Berbagai pendekatan, metode, dan teknik dalam melaksanakan yadnya tidak akan membuat krama Hindu Bali terpecah apalagi ‘metinjakan’ (baca: saling berlawanan). Variasi demikian hanyalah alat untuk menyenangkan lahir, bukan keyakinan. Pelaksanaan yadnya secara berkelanjutan adalah upaya meneruskan peradaban leluhur. Peradaban merupakan refleksi keutamaan tattwa. Demikian hendaknya krama Hindu Bali dapat menghindarkan diri dari bahaya rohani, omong kosong, atau pemikiran terlalu modernis dalam menafsirkan kebenaran Veda dengan keterbatasan, atau kesesatan pengetahuan. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Mereka yang berposisi moderat menyatakan bahwa filsafat adalah alat yang baik. Tetapi, filsafat tidak boleh diandalkan sepenuhnya. Memang agama Hindu merupakan agama faktual, bukan tekstual. Pada zaman now, cendekiawan Hindu perlu memberikan pencerahan modernis. Mereka harus menemukan cara untuk menjelaskan tentang acara Hindu yang amat kental mewarnai keber-agama-an (religiusisme) di Bali.
Penggunaan filsafat untuk menjelaskan teologi pernah dilakukan di masa silam. Misalnya, Thomas Aquinas, Augustine, dan para pakar teologi lainnya menggunakan metodologi kritis untuk menangkap konsep religi dalam Alkitab. Demikian juga, apologis modern menggunakan argumen filosofis, seperti argumen teleologis dan ontologis tentang eksistensi Tuhan. Mungkin ini yang dimaksud dengan teologi filosofis (philosophical theology). Apakah hal serupa dapat dilakukan terhadap yadnya? Sehingga, konsep tattwa yang melekat dalam yadnya dipahami oleh krama Hindu. Pemahaman tattwa yang benar, maka perdebatan tentang berbagai cara berbeda dalam pelaksanaan akan dapat diminimalkan.
Filsafat membenarkan bahwa menyelidiki sebuah topik. Menggali kebenaran yang tersembunyi adalah gagasan mulia. Manusia telah diberikan kemampuan untuk berlogika, dan tidak ada masalah jika mempelajari filsafat. Secara bersamaan, kita perlu waspada. Ada berbagai bahaya rohani dalam mempelajari filsafat. Omongan kosong dan tidak suci serta pertentangan-pertentangan yang bersumber dari pengetahuan harus dihindarkan. Berbagai teori dan spekulasi manusia tidak dibenarkan untuk menafsirkan kebenaran Veda, apalagi menambah atau mengurangi.
Teologi filosofis merupakan alat. Ia dapat digunakan secara benar atau salah. Perbedaan antara keduanya terletak pada motivasi dan prioritas. Misalnya, jika kita berusaha memahami catur marga melalui batasan akal manusia, maka kita akan gagal. Manusia tidak bisa menyamai Tuhan. Apabila kita menggunakan pikiran kita untuk memahami mutiara-mutiara Veda, maka keyakinan dan kedekatan kita akan semakin meningkat. Usaha belajar kita akan diberi penghargaan. Filsafat bukan kebenaran itu sendiri, dan filsafat lebih menghamba pada kebenaran. Filsafat dapat menjadi alat untuk memudahkan pemahaman tentang kebenaran. Wahyu Tuhan yang terkandung dalam Veda adalah prioritas utama. Sedangkan, filsafat manusia harus menduduki peringkat bawahnya.
Berbagai pendekatan, metode, dan teknik dalam melaksanakan yadnya tidak akan membuat krama Hindu Bali terpecah apalagi ‘metinjakan’ (baca: saling berlawanan). Variasi demikian hanyalah alat untuk menyenangkan lahir, bukan keyakinan. Pelaksanaan yadnya secara berkelanjutan adalah upaya meneruskan peradaban leluhur. Peradaban merupakan refleksi keutamaan tattwa. Demikian hendaknya krama Hindu Bali dapat menghindarkan diri dari bahaya rohani, omong kosong, atau pemikiran terlalu modernis dalam menafsirkan kebenaran Veda dengan keterbatasan, atau kesesatan pengetahuan. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar