Tawur Tabuh Gentuh di Pura Penataran Agung
Dua sulinggih muput Karya Tawur Tabuh Gentuh lan Bumi Sudha di Pura Kahyangan Jagat Penataran Agung, Banjar/Desa Pakraman Nangka, Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Anggara Umanis Wayang, Selasa (18/9).
AMLAPURA, NusaBali
Kedua sulinggih itu yakni Ida Pedanda Gede Oka Pinatih dari Gria Taman Ulon dan Ida Pedanda Gede Jelantik Karang dari Gria Karang, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling. Usai sulinggih muput upakara, panitia membagikan nasi tawur.
Nasi tawur dicampur darah kurban kucit butuan yang disembelih Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri. Kemudian nasi tawur kembali diupacarai melalui puja sulinggih. Hal itu merupakan proses menjadikan unsur bhuta menjadi Bhuta Hitha. Nasi tawur yang terus diaduk kemudian dijadikan limang tanding atau lima bagian sebagai lambang Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra. Maknanya sebagai simbol pembentukan alam.
Terakhir seluruh nasi tawur dimasukkan ke dalam cobek yang telah dirajah bergambar senjata Dewata Nawa Sanga, cobek (tempayan) ditempatkan di panggungan. Nasi tawur kembali diupacarai melalui puja sang sulinggih, saat itulah unsur Bhuta disomiakan menjadi Dewa Hitha. “Ini proses nyomia unsur bhuta agar menjadi dewa. Setelah somia, semesta jadi damai, maka terakhir menggelar Karya Mamungkah lan Nubung Daging, khusus ritual untuk Dewa atau Dewa Yadnya,” kata Ida Wayan Mangku Adnyana. *k16
Kedua sulinggih itu yakni Ida Pedanda Gede Oka Pinatih dari Gria Taman Ulon dan Ida Pedanda Gede Jelantik Karang dari Gria Karang, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling. Usai sulinggih muput upakara, panitia membagikan nasi tawur.
Nasi tawur dicampur darah kurban kucit butuan yang disembelih Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri. Kemudian nasi tawur kembali diupacarai melalui puja sulinggih. Hal itu merupakan proses menjadikan unsur bhuta menjadi Bhuta Hitha. Nasi tawur yang terus diaduk kemudian dijadikan limang tanding atau lima bagian sebagai lambang Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra. Maknanya sebagai simbol pembentukan alam.
Terakhir seluruh nasi tawur dimasukkan ke dalam cobek yang telah dirajah bergambar senjata Dewata Nawa Sanga, cobek (tempayan) ditempatkan di panggungan. Nasi tawur kembali diupacarai melalui puja sang sulinggih, saat itulah unsur Bhuta disomiakan menjadi Dewa Hitha. “Ini proses nyomia unsur bhuta agar menjadi dewa. Setelah somia, semesta jadi damai, maka terakhir menggelar Karya Mamungkah lan Nubung Daging, khusus ritual untuk Dewa atau Dewa Yadnya,” kata Ida Wayan Mangku Adnyana. *k16
Komentar