Pasien Kanker Ancam Pidanakan Dirut BPJS
Mediasi Buntu
JAKARTA, NusaBali
Proses mediasi antara pasien kanker payudara HER2 positif, Juniarti dengan kuasa hukum Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, dan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) menemui hasil buntu. Hal itu disampaikan Suami Juniarti, Edy Rahmayadi usai mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/9).
Menurut dia seluruh pihak tergugat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPK, sudah setuju menjalankan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Restriksi Penggunaan Obat Trastuzumab untuk Kanker Payudara Metastatik pada Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas).
"Kemenkes dan DPK sudah setuju menjalankan Permenkes, tapi BPJS masih mempersoalkan masalah teknis. Itu membuat suasana mediasi menjadi panas. Hampir kita tolak itu mediasi lanjutan," ujar Edy yang menemani istrinya, Juniarti, Selasa (18/9).
Juniarti menambahkan dari hasil mediasi itu, pihak BPJS seakan tidak percaya dengannya yang sudah melakukan pemeriksaan ke dokter dan dinyatakan mengidap kanker payudara HER2 Positif Metastatik (3+).
"Mereka masih meragukan saya itu penderita kanker payudara HER2 positif metastatik (3+)," kata Juniarti, sementara suami yang menemaninya menunjukan hasil pemeriksaan IHK kepada wartawan peliput di PN Jaksel.
Menurut kuasa hukum Juniarti, Rusdianto Matulatuwa, BPJS seakan ingin mengulur waktu atas kasus ini. Padahal Juniarti berdasarkan pemeriksaan IHK sudah terbukti mengidap kanker payudara HER2 positif metastatik (3+), dan berhak mendapatkan obat trastuzumab yang dijamin BPJS.
"Bagi kami hal yang dilakukan ini buying time kan. Sementara kami sudah zero tolerance terhadap buang waktu yang penting Permenkes sudah keluar. Kemenkes sudah oke, DPK sudah oke, regulator oke, yang sakit oke. Tapi, BPJS seolah gini. 'ya oke kami setuju tapi belum cukup'," ujar Rusdianto.
Atas apa yang telah terjadi kemarin, pihaknya bakal kembali menggelar mediasi dengan BPJS, Kemenkes, dan DPK pada Senin (24/9) mendatang. Apabila upaya mediasi ini masih menemui jalan buntu pihaknya bakal melaporkan Direktur BPJS Fachmi Idris ke polisi.
"Kita akan laporkan Dirut BPJS, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan dan direktur DPK secara pidana kita akan laporkan, laporan polisi," ujar Edy yang mengharapkan pengobatan kanker atas istrinya, Juniarti tersebut.
Pihaknya masih mendiskusikan pasal pidana yang bakal dikenakan kepada Dirut BPJS, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, dan Direktur DPK itu. Sebelumnya, Juniarti menggugat BPJS Kesehatan hingga Presiden Jokowi karena menghentikan penjaminan Trastuzumab yang ia butuhkan untuk pengobatan atas kanker payudara yang dideritanya. *
Proses mediasi antara pasien kanker payudara HER2 positif, Juniarti dengan kuasa hukum Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, dan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) menemui hasil buntu. Hal itu disampaikan Suami Juniarti, Edy Rahmayadi usai mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (18/9).
Menurut dia seluruh pihak tergugat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPK, sudah setuju menjalankan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Restriksi Penggunaan Obat Trastuzumab untuk Kanker Payudara Metastatik pada Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas).
"Kemenkes dan DPK sudah setuju menjalankan Permenkes, tapi BPJS masih mempersoalkan masalah teknis. Itu membuat suasana mediasi menjadi panas. Hampir kita tolak itu mediasi lanjutan," ujar Edy yang menemani istrinya, Juniarti, Selasa (18/9).
Juniarti menambahkan dari hasil mediasi itu, pihak BPJS seakan tidak percaya dengannya yang sudah melakukan pemeriksaan ke dokter dan dinyatakan mengidap kanker payudara HER2 Positif Metastatik (3+).
"Mereka masih meragukan saya itu penderita kanker payudara HER2 positif metastatik (3+)," kata Juniarti, sementara suami yang menemaninya menunjukan hasil pemeriksaan IHK kepada wartawan peliput di PN Jaksel.
Menurut kuasa hukum Juniarti, Rusdianto Matulatuwa, BPJS seakan ingin mengulur waktu atas kasus ini. Padahal Juniarti berdasarkan pemeriksaan IHK sudah terbukti mengidap kanker payudara HER2 positif metastatik (3+), dan berhak mendapatkan obat trastuzumab yang dijamin BPJS.
"Bagi kami hal yang dilakukan ini buying time kan. Sementara kami sudah zero tolerance terhadap buang waktu yang penting Permenkes sudah keluar. Kemenkes sudah oke, DPK sudah oke, regulator oke, yang sakit oke. Tapi, BPJS seolah gini. 'ya oke kami setuju tapi belum cukup'," ujar Rusdianto.
Atas apa yang telah terjadi kemarin, pihaknya bakal kembali menggelar mediasi dengan BPJS, Kemenkes, dan DPK pada Senin (24/9) mendatang. Apabila upaya mediasi ini masih menemui jalan buntu pihaknya bakal melaporkan Direktur BPJS Fachmi Idris ke polisi.
"Kita akan laporkan Dirut BPJS, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan dan direktur DPK secara pidana kita akan laporkan, laporan polisi," ujar Edy yang mengharapkan pengobatan kanker atas istrinya, Juniarti tersebut.
Pihaknya masih mendiskusikan pasal pidana yang bakal dikenakan kepada Dirut BPJS, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, dan Direktur DPK itu. Sebelumnya, Juniarti menggugat BPJS Kesehatan hingga Presiden Jokowi karena menghentikan penjaminan Trastuzumab yang ia butuhkan untuk pengobatan atas kanker payudara yang dideritanya. *
1
Komentar