Sertakan 40 Sawa, Diwarnai Pengarakan Godel ke Pura Dalem Tungkup
Seperti halnya tradisi Mejaga-jaga tiga hari sebelumnya, prosesi ritual Nandan juga digelar krama Desa Pakraman Gunaksa sebagai upaya pembebasan dari kutukan sang Rare Angon.
Tradisi Ritual Nandan di Desa Pakraman Gunaksa, Kecamatan Dawan, Klungkung
SEMARAPURA, NusaBali
Krama Desa Pakraman Gunaksa, Kecamatan Dawan, Klungkung untuk kedua kalinya menggelar tradisi ritual unik dalam kurun sepekan terakhir, serangkapan upacara Ngusaba Nini lan Pitra yang puncaknya jatuh pada Tilem Kadasa, Rabu (6/4). Tiga hari setelah tradisi Mejaga-jaga, digelar lagi prosei riual Nandan bertepatan puncak upacara Ngusaba Nini lan Pitra, yang ditandai mengarak 40 godel (anak sapi).
Tradisi ritual Nandan kali ini diikuti 40 sawa (roh oprang meninggal) yang dihandle oleh 23 kepala keluarga (KK) pengarep. Seluruh sawa yang disertakan dalam ritual Nandan sebelumnya sudah diabenkan keluarganya masing-masing. Dalam ritual Nandan tersebut, tiap-tiap sawa harus bersarana masing-masing satu godel. Ini ritual Nandan pertama yang digelar kembali krama Desa Pakraman Gunaksa sejak 6 tahun silam.
Sedangkan 40 sawa itu berasal dari 23 KK pengarep. Selama kurun 6 tahun sejak ritual Nandan terakhir, satu keluarga (silsilah keturunan) bisa memiliki 1 sawa, 2 sawa, bahkan ada yang punya 5 sawa. Dari 40 sawa yang disertakan dalam ritual Nandan kali ini, 35 sawa di antaranya asal 5 banjar adat di Desa Pakraman Gunaksa, yakni yakni Banjar Patus, Banjar Bandung, Banjar Nyamping, Banjar Tengah, dan Banjar Babung.
Sedangkan 5 sawa lainnya dari Jembrana, yang dulunya berasal dari Desa Pakraman Gunaksa. Perlu dicatat, krama di Desa Pakraman Gunaksa berjumlah 1.200 KK. Mereka tersebar di 7 banjar adat. Selain 5 banjar yang menyertakan 35 sawa tadi, juga ada Banjar Buayang dan Banjar Kebon. Hanya saja, dari kedua banjar terakhir, tidak ada krama pengarep dalam ritual Nandan kali ini.
Prosesi ritual Nandan di Desa Pakraman Gunaksa yang dilaksanakan bertepatan puncak upacara Ngusaba Nini lan Pitra saat Tilem Kadasa, Rabu lalu, digelar sejak pagi pukul 08.00 Wita hingga sore pukul 15.00 Wita. Diawali dengan prosesi membawa sarana upacara yang sudah disiapkan dari Bale Banjar Patus. Sarana upacara berupa puspa lingga, lumbung, dan satu godel berumur 6 bulan tanpa ada cacat milik tiap sawa itu kemudian dibawa keluarga pangarep menuju Pura Dalem Tungkub yang berjarak sekitar 400 meter ke arah selatan.
Prosesi di Pura Dalem Tungkub diawali dengan persembahyangan bersama, kemudian natab. Selanjutnya, prosesi inti berupa murwa daksina (memutar searah jarum jam) tiga kali, dengan membawa upakara puspa lingga, lumbung, dan 40 godel di Utama Mandala Pura Dalem Tungkub.
Setelah murwa daksina, salah satu dari 40 godel tersebut disembelih (nyambleh) dan dihaturkan ke salah palinggih di Pura Dalem Tungkub. Sedangkan 39 godel lainnya dipuniakan untuk Desa Pakraman Gunaksa. Puncak dari ritual Nandan adalah pembakaran puspa lingga di areal Pura Dalem Tungkub, kemudian abunya ditanam di belakang Pra Dalem Tungkub.
Bagi krama Tutuan (silsilah tertentu), akan membawa puspa lingga ke Pura Dalem Kangin, Desa Pakraman Gunaksa, yang berjarak sekitar 1 kilomter ke arah timur dari Pura Dalem Tungkub. Kemudan, di areal Pura Dalem Kangin itulah puspa lingga itu dibakar dan abunya ditanam belakang pura bersangkutan.
Menurut kepala Desa (Perbekel) Gunaksa, I Ketut Budiarta, semua sawa yang dilibatkan dalam ritual Nandan haruslah sudah diabenkan kelarga jauh sebelumnya. Ritual Nandan merupakan tradisi warisan turun temurun. Namun, waktu pelaksanaannya tidak bisa dipastikan. Ritual Nandan bisa digelar sekali dalam 2 tahun, 3 tahun, atau 10 tahun.
“Dasar patokannya adalah banyaknya jumlah sawa hingga dilakukan secara massal. Sebab, dananya cukup besar dan sarana setiap sawa ditanggung keluarga pangarep,” jelas Perbekel Budiarta kepada NusaBali.
Perbekel Budiarta menyebutkan, tradisi ritual Nandan ini digelar krama Desa Pakraman Gunaksa secara turun temurun, karena berkaitan dengan kutukan I Rare Angon, putra dari Prabu Erlangga dan Ni Berit Kuning. Kutukan berawal dari ulah seorang warga yang membunuh sapi gembalaan I Rare Angon, yakni I Surakerta. “Bagi warga yang melihat kejadian tersebut, bahkan mendengar dan pernah memakai sapi tersebut, arwahnya akan sengsara di alam niskala,” bunyi kutukan I Rare Angon sebagaimana disitir Perbekel Budiarta.
“Arwah yang sengsara tersebut baru akan dibebeskan atau diangkat melalui ritual Nandan, dengan menghaturkan godel dan sarana upakara lainnya,” lanjut Perbekel Budiarta yang siang itu didampingi Sekertaris Panitia Upacara Ngusaba Nini lan Pitra, I Wayan Sudarsa.
Sementara itu, tiga hari sebelum ritual Nandan bertepatan upacara Ngusaba Nini lan Pitra, krama Desa Pakraman Gunaksa telah menggelar tradisi ritual Mejaga-jaga pada Radite Pon Tambir, Minggu (3/4) sore. Tradisi Mejaga-jaga dengan ritual pokok menghaturkan kurban seekor sapi ini dipusatkan di Pura Buit, Desa Pakraman Gunaksa.
Seperti halnya ritual Nandan, tradisi Mejaga-jaga ini pun terkait erat dengan kutukan I Rare Angon. Prosesi menghaturkan kurban Sapi Menjaga-jaga diawali dengan matur piuning di Pura Buit, dilanjut murwa daksina tiga kali di areal Pura Buit. Kurban Sapi Mejaga-jaga selanjutnya diarak krama desa menuju arah utara yang berjarak sekitar 1,8 kilometer, tepatnya di areal jaba Pura Puseh, Desa Pakraman Gunaksa.
Di jaba Pura Puseh, Sapi Mejaga-jaga kembali digiring melakukan murwa daksina. Habis itu, ritual kembali ke Pura Buit untuk untuk nyambleh (menyembelih) (nyambleh) kepala sapi. Nah, tenggek (kepala sapi) yang telah disembelih kemudian diletakan di atas sebuah palinggih dalam Pura Buit. Sedangkan bagian tubuh sapi ditaruh dalam lubang di areal Pura Buit yang sudah digali sebelumnya dengan luas 2 meter x 1 meter dan kedalaman 1,5 meter. Menjelang malam pukul 18.30 Wita, kepala sapi kembali diambil untuk dikubur bersama tubuhnya.
Sapi yang boleh digunakan ritual Mejaga-jaga merupakan sapi bercula dan sudah dikebiri. “Ritual Mejaga-jaga ini digelar untuk menetralisir hal-hal negatif di wewidangan Desa Pakraman Gunaksa,” ujar Perbekel Budiarta.
Ritual Mejaga-jaga itu sendiri memiliki makna menjaga. Sesuai maknanya, maka sapi yang menjadi kurban dijaga agar tidak keluar dari wewidangan Desa Pakraman Gunaksa sebelum disembelih. Penjagaan ini ditunjukkan ketika prosesi berlangsung, di mana sapi diikat dengan tali kain putih di tanduknya, sementara badannya juga diikat dengan tali plastik. Setelah diikat, barulah sapi kurban ini diarak keliling desa. 7 w
1
Komentar