Legalitas Kayu Jadi Momok
Biaya pengurusan SVLK terlalu tinggi, para pelaku industri enggan mengurus.
SINGARAJA, NusaBali
Kebijakan pemerintah pusat agar pengolahan kayu mengantongi sertifikat sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK), ternyata belum sepenuhnya diterima para pelaku industri kecil di Buleleng. Karena biaya pengurusan izin tersebut terlalu tinggi hingga para pelaku industri enggan mengurus izin itu.
Data di Buleleng, Minggu (10/4), jumlah pelaku industri kecil dan kelompok petani hutan rakyat di Buleleng sekitar 300 orang. Para pelaku industri ini telah mengetahui kebijakan tersebut. Mereka juga menyadari pentingnnya SVLK untuk melegalkan pemasaran hasil olahan kayu. Namun karena biaya pengurusan SVLK terlalu tinggi, para pelaku enggan mengurusnya. Tercatat, dari 300 pelaku indutri kecil dan kelompok petani hutan rakyat di Buleleng, kurang dari 10 persen yang mengurus izin SVLK. Sisanya, enggan mengurus karena biaya teralu tinggi. Rata-rata biaya izin SVLK antara Rp 20 juta hingga Rp 40 juta.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Buleleng I Ketut Nerda mengakui, masih rendahnya minat pelaku IKM dan kelompok petani hutan rakyat yang mau mencari SVLK karena masalah biaya. Namun, pihaknya tidak bisa berbuat banyak, lebih-lebih kewenangan pengelolaan hutan kini menjadi tanggungjawan pemerintah provinsi.
Kendati demikian, pihaknya tetap berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Bali agar pelaku IKM dan kelompok petani hutan rakyat di Buleleng mendapatkan bantuan modal untuk mengurus SVLK. “Kami belum punya program membantu biaya pengurusan SVLK ini, karena kewenangan pengelolaan kehutanan ada di provinsi. Harapan kami provinsi turut membantu meringankan kawan pelaku IKM dan kelompok petani hutan rakyat agar lebih banyak usaha dibidang kayu ini produknya legal dan bisa bersaing di pasar lokal dan asing,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Sahabat Timur Indonesia (SATIN) Gusti Putu Armada, selaku pendamping industrik kecil mandiri dan kelompok petani hutan rakyat mengungkapkan, situasi itu bisa ditangani dengan membentuk kelompok, sehinga bisa mengurangi biaya.
Hal itu sudah berhasil dilakukan ketika kelompok pengerajin industri kecil yang tergabung dalam Asosiasi Pengerajin Industri Kecil (APIK) Buleleng secara berkelompok mendaftar menjadi peserta SVLK. Selain itut, sejumlah petani hutan rakyat juga bergabung dalam APIK, sehingga Buleleng untuk pertamakali IKM dan kelompok petaninya sudah mengantongi SVLK dari pemerintah. “Kalau dari pengalaman kami mendampingi IKM dan kelompok petani hutan rakyat yang bernaung dalam APIK itu sangat meringankan dari segi biaya. Nah pengalaman ini bisa saja diikuti oleh IKM dan kelompok petani lain di daerah kita, sehingga semakin banyak produk IKM dan bahan baku yang dihasilkan petani ber-SVLK,” pria yang juga menjabat Perbekel Desa Baktiseraga, Kecamatan Buleleng ini. 7 k19
1
Komentar