Bupati Mahayastra Ikuti Ritual Sapuh Leger
Bupati Gianyar I Made Mahayastra mengikuti ritual Bayuh Oton Sapuh Leger bertepatan dengan Rahina Tumpek Wayang, di Pura Masceti, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar, Sabtu (22/9).
GIANYAR, NusaBali
Bupati Mahayastra didampingi Ny Ida Ayu Surya Adnyani Mahayastra dan beberapa pimpinan OPD Pemkab Gianyar. Ritual tersebut setelah sehari sebelumnya mengikuti prosesi Segehan Agung dan persembahyangan bersama di Kantor Bupati Gianyar. Di sela-sela prosesi Sapuh Leger, Bupati Mahayastra menyatakan, pelaksanaan upacara ini merupakan salah satu wujud komitmen Pemkab Gianyar dalam memberikan pelayanan masyarakat di bidang pembinaan mental dan spiritual. Prosesi ini juga untuk mewujudkan pembangunan karakter bangsa.
Upacara Pangruwatan dan panglukatan Sapuh Leger diinisiasi oleh Yayasan Prabawa Ratu Hyang Asung, didukung Pemkab Gianyar. Prosesi ini mengacu pada beberapa sumber sastra kuno Bali. Antara lain, Lontar Tutur Gong Wesi, Lontar Sundari Gama, Lontar Pawacakan Rare, Lontar Khanda Bhuwana Tatwa dan pustaka kuno lainnya. Acara ini diikuti secara massal dengan 398 peserta yang memiliki kelahiran pada Wuku Wayang, salah satunya Bupati Mahayastra.
Kabag Kesra Pemkab Gianyar Ngakan Jati Ambarsika mengatakan, bahwa filosofi dari pelaksanaan upacara ini sebagaimana dinyatakan dalam mitologi Hindu. Bahwa dari hubungan Dewi Uma dengan seorang gembala maka lahirlah seorang anak yaitu Dewa Kala sosok makhluk raksasa yang menyeramkan yang konon lahir pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang (terkenal dengan Tumpek Wayang). Dewa Siwa yang menyamar sebagai pengembala, merasa bertanggungjawab dengan penyamarannya, mengakui Dewa Kala adalah putranya. Dewa Kala bertanya, makanan apa yang bisa disantapnya. Dewa Siwa memberi izin kepada putranya memakan orang yang lahir menyamai kelahiran Dewa Kala sendiri yakni pada Wuku Wayang. Ternyata, putra Siwa berikutnya yakni Rare Kumare lahir di Tumpek Wayang. Maka Dewa Kala pun ingin menyantap Rare Kumare meskipun adik kandungnya sendiri. Namun Dewa Kumara selamat dari kejaran Dewa Kala karena bersembunyi pada bumbung gender ketika ada pertunjukan wayang.
Dari mitologi inilah maka sampai sekarang masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa orang yang lahir di Wuku Wayang harus mengikuti prosesi Bayuh Sapu Leger, untuk menghindari pengaruh negatif dari kelahiran.
Pabayuh oton sapuh leger ini menggunakan konsep Sang Trini atau Tri Sadhaka yakni Ida Brahmana Siwa, Brahmana Budha, dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa. Mereka memiliki keahlian masing-masing, seperti Brahmana Bhujangga Waisnawa yang menganugerahkan panglukatan dan pangruwatan Sapuh Leger di jaba sisi pura (Bhur Loka). Brahmana Bhuda menganugerahkan Pajaya-jayaan di jaba tengah pura (Bwah Loka), dan Brahmana Siwa memberikan penganugerahan Hyang Pasupati di jeroan Pura (Swah Loka).
Pemilihan Pura Masceti sebagai tempat pelaksanaan upacara karena pura ini memiliki konsep Tri Mandala (Bhur, Bwah dan Swah). Diharapkan setelah upacara ini, mereka yang mengikuti ritual ini dapat menetralisir aura negatif diri sehingga mencapai kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian.*Isa
Upacara Pangruwatan dan panglukatan Sapuh Leger diinisiasi oleh Yayasan Prabawa Ratu Hyang Asung, didukung Pemkab Gianyar. Prosesi ini mengacu pada beberapa sumber sastra kuno Bali. Antara lain, Lontar Tutur Gong Wesi, Lontar Sundari Gama, Lontar Pawacakan Rare, Lontar Khanda Bhuwana Tatwa dan pustaka kuno lainnya. Acara ini diikuti secara massal dengan 398 peserta yang memiliki kelahiran pada Wuku Wayang, salah satunya Bupati Mahayastra.
Kabag Kesra Pemkab Gianyar Ngakan Jati Ambarsika mengatakan, bahwa filosofi dari pelaksanaan upacara ini sebagaimana dinyatakan dalam mitologi Hindu. Bahwa dari hubungan Dewi Uma dengan seorang gembala maka lahirlah seorang anak yaitu Dewa Kala sosok makhluk raksasa yang menyeramkan yang konon lahir pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang (terkenal dengan Tumpek Wayang). Dewa Siwa yang menyamar sebagai pengembala, merasa bertanggungjawab dengan penyamarannya, mengakui Dewa Kala adalah putranya. Dewa Kala bertanya, makanan apa yang bisa disantapnya. Dewa Siwa memberi izin kepada putranya memakan orang yang lahir menyamai kelahiran Dewa Kala sendiri yakni pada Wuku Wayang. Ternyata, putra Siwa berikutnya yakni Rare Kumare lahir di Tumpek Wayang. Maka Dewa Kala pun ingin menyantap Rare Kumare meskipun adik kandungnya sendiri. Namun Dewa Kumara selamat dari kejaran Dewa Kala karena bersembunyi pada bumbung gender ketika ada pertunjukan wayang.
Dari mitologi inilah maka sampai sekarang masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa orang yang lahir di Wuku Wayang harus mengikuti prosesi Bayuh Sapu Leger, untuk menghindari pengaruh negatif dari kelahiran.
Pabayuh oton sapuh leger ini menggunakan konsep Sang Trini atau Tri Sadhaka yakni Ida Brahmana Siwa, Brahmana Budha, dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa. Mereka memiliki keahlian masing-masing, seperti Brahmana Bhujangga Waisnawa yang menganugerahkan panglukatan dan pangruwatan Sapuh Leger di jaba sisi pura (Bhur Loka). Brahmana Bhuda menganugerahkan Pajaya-jayaan di jaba tengah pura (Bwah Loka), dan Brahmana Siwa memberikan penganugerahan Hyang Pasupati di jeroan Pura (Swah Loka).
Pemilihan Pura Masceti sebagai tempat pelaksanaan upacara karena pura ini memiliki konsep Tri Mandala (Bhur, Bwah dan Swah). Diharapkan setelah upacara ini, mereka yang mengikuti ritual ini dapat menetralisir aura negatif diri sehingga mencapai kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian.*Isa
Komentar