BI Naikkan Bunga Acuan Jadi 5,75%
Posisi kebijakan moneter masih ‘hawkish’ atau kecenderungan kenaikan suku bunga untuk menjaga stabilitas, karena mempertimbangkan masih kencangnya tekanan ekonomi global.
OJK Minta Perbankan Manfaatkan Layanan Digital
JAKARTA, NusaBali
Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 persen menjadi 5,75 persen, Kamis, atau satu hari setelah Bank Sentral AS The Federal Reserve merealisasikan pengetatan kebijakan moneternya dengan kenaikan suku bunga AS.
"Ini konsisten untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman, dan meningkatkan daya tarik pasar keuangan Indonesia," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers Rapat Dewan Gubernur periode September 2018 di Jakarta, Kamis (27/9).
Dengan kenaikan suku bunga acuan, suku bunga penyimpanan dana perbankan di BI (Deposit Facility) juga naik 25 bps menjadi lima persen, dan suku bunga penyediaan likuiditas dari BI ke perbankan (Lending Facility) naik 25 bps menjadi 6,5 persen. Kecenderungan untuk memperketat kebijakan moneter BI, kata Perry, diperlukan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan yang pada kuartal II 2018 mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan BI untuk menjaga disparitas suku bunga dengan negara lain, sehingga dapat meningkatkan daya tarik instrumen keuangan domestik dan mampu menyerap portofolio asing. "Portofolio investasi dibutuhkan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Sehingga memang, kita perlu pastikan portofolio investasi terus bisa masuk," ujar dia.
Bank Sentral menargetkan dapat menurunkan defisit transaksi berjalan hingga 2,5 persen PDB pada 2019. "Pada 2019 itu tekanan terhadap rupiah akan lebih rendah, apalagi sekarang kita mempercepat pendalaman pasar valas," ujar Perry.
Perry Warjiyo menambahkan posisi kebijakan moneter masih ‘hawkish’ atau kecenderungan kenaikan suku bunga untuk menjaga stabilitas, karena mempertimbangkan masih kencangnya tekanan ekonomi global. "Stance (posisi) kebijakan kita masih tetap 'hawkish', dan kita berusaha preemptif dan 'ahead of the curve' (selangkah lebih maju). Tinggal masalahnya, preemtif ini akan sangat bergantung dengan dinamika ekoomi global dan domestik," kata Perry Warjiyo.
Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penggunaan layanan perbankan digital oleh bank umum untuk meningkatkan efisiensi pelayanan kepada masyarakat dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. "Penyediaan layanan digital diharapkan dapat memperluas serta mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan tanpa batasan waktu dan tempat," kata Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Antonius Hari dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (27/9).
Antonius mengatakan persaingan bisnis yang disertai perilaku masyarakat telah menjadi faktor pendorong bagi bank untuk melakukan inovasi agar dapat mempertahankan eksistensi serta meningkatkan loyalitas para nasabah.
Untuk mendukung kondisi tersebut, OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2018 tentang penyelenggaraan layanan perbankan digital oleh bank umum untuk mendorong percepatan inovasi layanan digital di sektor perbankan. "Dengan layanan ini, pelayanan kepada nasabah dapat menjadi lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan, serta dapat dilakukan sepenuhnya secara mandiri oleh nasabah dengan tetap memperhatikan aspek pengamanan," ujar Antonius.
POJK ini mencakup beberapa hal yang harus diperhatikan bank yang ingin menyelenggarakan layanan perbankan digital, seperti persyaratan bank penyelenggara, permohonan persetujuan, implementasi penyelenggaraan layanan perbankan, manajemen risiko, penyampaian laporan dan perlindungan nasabah. Layanan perbankan digital ini dapat disediakan oleh bank, minimal bank buku 2 dengan modal Rp1 triliun keatas, secara mandiri, atau dilakukan melalui kemitraan dengan pihak ketiga baik berupa lembaga jasa keuangan maupun non lembaga jasa keuangan.
Penyediaan layanan dengan kemitraan tersebut dapat didukung dengan konektivitas antara sistem milik bank dengan milik pihak ketiga salah satunya dengan memanfaatkan Open Application Programming Interface (Open API).
Antonius menyakini jumlah bank umum pengguna layanan digital makin bertambah karena jumlah bank yang sudah menyelenggarakan layanan perbankan elektronik, hingga Agustus 2018, mencapai 80 bank, yang terdiri dari lima bank buku I, 44 bank buku II, 26 bank buku III dan lima bank buku IV. *ant
JAKARTA, NusaBali
Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 persen menjadi 5,75 persen, Kamis, atau satu hari setelah Bank Sentral AS The Federal Reserve merealisasikan pengetatan kebijakan moneternya dengan kenaikan suku bunga AS.
"Ini konsisten untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman, dan meningkatkan daya tarik pasar keuangan Indonesia," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers Rapat Dewan Gubernur periode September 2018 di Jakarta, Kamis (27/9).
Dengan kenaikan suku bunga acuan, suku bunga penyimpanan dana perbankan di BI (Deposit Facility) juga naik 25 bps menjadi lima persen, dan suku bunga penyediaan likuiditas dari BI ke perbankan (Lending Facility) naik 25 bps menjadi 6,5 persen. Kecenderungan untuk memperketat kebijakan moneter BI, kata Perry, diperlukan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan yang pada kuartal II 2018 mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan BI untuk menjaga disparitas suku bunga dengan negara lain, sehingga dapat meningkatkan daya tarik instrumen keuangan domestik dan mampu menyerap portofolio asing. "Portofolio investasi dibutuhkan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Sehingga memang, kita perlu pastikan portofolio investasi terus bisa masuk," ujar dia.
Bank Sentral menargetkan dapat menurunkan defisit transaksi berjalan hingga 2,5 persen PDB pada 2019. "Pada 2019 itu tekanan terhadap rupiah akan lebih rendah, apalagi sekarang kita mempercepat pendalaman pasar valas," ujar Perry.
Perry Warjiyo menambahkan posisi kebijakan moneter masih ‘hawkish’ atau kecenderungan kenaikan suku bunga untuk menjaga stabilitas, karena mempertimbangkan masih kencangnya tekanan ekonomi global. "Stance (posisi) kebijakan kita masih tetap 'hawkish', dan kita berusaha preemptif dan 'ahead of the curve' (selangkah lebih maju). Tinggal masalahnya, preemtif ini akan sangat bergantung dengan dinamika ekoomi global dan domestik," kata Perry Warjiyo.
Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penggunaan layanan perbankan digital oleh bank umum untuk meningkatkan efisiensi pelayanan kepada masyarakat dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. "Penyediaan layanan digital diharapkan dapat memperluas serta mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan tanpa batasan waktu dan tempat," kata Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Antonius Hari dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (27/9).
Antonius mengatakan persaingan bisnis yang disertai perilaku masyarakat telah menjadi faktor pendorong bagi bank untuk melakukan inovasi agar dapat mempertahankan eksistensi serta meningkatkan loyalitas para nasabah.
Untuk mendukung kondisi tersebut, OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2018 tentang penyelenggaraan layanan perbankan digital oleh bank umum untuk mendorong percepatan inovasi layanan digital di sektor perbankan. "Dengan layanan ini, pelayanan kepada nasabah dapat menjadi lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan, serta dapat dilakukan sepenuhnya secara mandiri oleh nasabah dengan tetap memperhatikan aspek pengamanan," ujar Antonius.
POJK ini mencakup beberapa hal yang harus diperhatikan bank yang ingin menyelenggarakan layanan perbankan digital, seperti persyaratan bank penyelenggara, permohonan persetujuan, implementasi penyelenggaraan layanan perbankan, manajemen risiko, penyampaian laporan dan perlindungan nasabah. Layanan perbankan digital ini dapat disediakan oleh bank, minimal bank buku 2 dengan modal Rp1 triliun keatas, secara mandiri, atau dilakukan melalui kemitraan dengan pihak ketiga baik berupa lembaga jasa keuangan maupun non lembaga jasa keuangan.
Penyediaan layanan dengan kemitraan tersebut dapat didukung dengan konektivitas antara sistem milik bank dengan milik pihak ketiga salah satunya dengan memanfaatkan Open Application Programming Interface (Open API).
Antonius menyakini jumlah bank umum pengguna layanan digital makin bertambah karena jumlah bank yang sudah menyelenggarakan layanan perbankan elektronik, hingga Agustus 2018, mencapai 80 bank, yang terdiri dari lima bank buku I, 44 bank buku II, 26 bank buku III dan lima bank buku IV. *ant
Komentar