I Made Sunarya Sukses Budidayakan Salak 'Gatri' di Jembrana
Hasil Persilangan Salak Bali dan Salak Pondoh
NEGARA, NusaBali
Salak sebagai buah lokal Indonesia, sangat jarang dibudidayakan petani di Kabupaten Jembrana, karena dinilai kurang berpotensi. Namun anggapan tersebut tidak berlaku bagi I Made Sunarya, 58. Petani dari Banjar Tibu Beleng Tengah, Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, ini sukses mengembangkan budidaya salak ‘gatri’ di lahan kebun seluas 60 are milik keluarganya.
Salak ‘gatri’ yang berhasil dikembangkan Sunarya itu merupakan jenis persilangan antara jenis salak Bali dengan salak pondoh. Sunarya memberi nama ‘gatri’ untuk nama salak hasil persilangan tersebut. Nama itu mengambil nama leluhurnya yang mewariskan tanah kebun yang sekarang dikelolanya tersebut.
“Tanah kebun yang saya kelola bersama keluarga untuk menanam salak ini warisan keluarga. Makanya saya gunakan nama leluhur saya untuk salak yang saya kembangkan ini,” kata ayah dua orang anak ini, Rabu (3/10).
Menurut Sunarya, lahan kebun seluas 60 are milik keluarganya tersebut, sebelumnya sama seperti kebun petani sekitar, yang kebanyakan ditanami kakao. Namun memasuki sekitar tahun 1995, Sunarya merenovasi kebun yang juga berada di areal depan rumahnya tersebut, untuk dijadikan kebun salak.
“Awal mengembangkan budidaya salak ini, sebenarnya tidak sengaja. Kebetulan awalnya itu, saya iseng-iseng membuang biji salak di pekarangan rumah, dan ternyata mau tumbuh,” ujarnya.
Dari rasa penasaran itu, Sunarya terdorong melakukan uji coba, dan berhasil melakukan persilangan antara tanaman salak Bali dengan tanaman salak pondoh. Bibit tanaman salak yang digunakan selama uji coba itu, juga diperoleh secara cuma-cuma, karena banyak tumbuh di pekarangan rumah. “Saya coba-coba melakukan persilangan, karena sempat lihat informasi di TV tentang cara menanam salak. Pas saya coba, ternyata berhasil,” kenangnya.
Setelah berhasil melakukan persilangan dengan menghasilkan salak yang cukup khas tersebut, dia pun memantapkan diri untuk mengembangkan bibit salaknya tersebut. Seluruh tanaman kakao di lahan kebun seluas 60 are yang dikelolanya dibabat habis, kemudian ditanami ratusan bibit pohon salak. “Waktu awal memulai, ada 500 bibit salak yang saya tanam. Tetapi hanya ada sekitar 150 bibit yang bisa hidup. Waktu itu, saya berusaha konsultasi ke Dinas Pertanian, dan diberikan tambahan ilmu tentang budidaya salak, sehingga bisa seperti sekarang ini,” ujarnya,
Kini dari lahan seluas 60 are tersebut, Sunarya mengaku bisa menjual sebanyak 150 kilogram salak setiap tiga bulan, dengan harga Rp 10.000 per kilogram. Sejatinya, banyak permintaan terhadap salak ‘gatri’ hasil produksinya, yang dikenal memiliki rasa mirip salak pondoh, namun memiliki tekstur daging yang lebih lembek seperti salak Bali dengan ukuran buah lebih besar. Tetapi karena hanya memiliki lahan terbatas, dia mengaku hanya bisa melayani permintaan dari sejumlah pengepul lokal. “Apalagi kalau musim hari raya, kadang saya kewalahan menerima pesanan. Sementara baru bisa penuhi untuk pasar di seputaran Jembrana,” ungkapnya.
Hasil budidaya salak yang dirawat Sunarya bersama sang istri, Ni Made Sudiani, bersama dua orang anaknya itu mampu menghidupi keluarganya. Termasuk membiayai kuliah putra pertamanya, I Putu Eka Sumardiana, hingga lulus sarjana, yang kini bekerja sebagai tenaga kontrak di Dinas Lingkungan Hidup Jembrana.
Untuk membudidayakan salak, Sunarya mengaku, sebenarnya tidak terlalu sulit. Yang terpenting, mengontrol tanaman tiap hari, memangkas dahan, serta melakukan pencegahan hama jamur. Terutama hama jamur, yang bisa diatasi dengan menaburkan kapur di sekitar batang pohon salak. Kemudian untuk pemupukan, dia menggunakan pupuk dari kotoran sapi.
Sementara Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana I Wayan Sutama, Rabu kemarin mengakui salak bukan merupakan komoditas unggulan di Jembrana. Petani kebun di Jembrana lebih familiar menanam cengkih, vanili ataupun kakao. Untuk membudidayakan salak, juga sangat tergantung akan unsur hara (nutrisi atau makanan yang dibutuhkan tanaman, Red), sehingga satu daerah dengan daerah lainnya, hasilnya belum tentu sama.
Terkait salak ‘gatri’ hasil budidaya, Sutama sangat mengapresiasi Sunarya sebagai salah satu petani inovatif. Dia akan berkoordinasi dengan pihak Balai Penelitian untuk memastikan apakah salak ‘gatri’ tersebut termasuk varietas unggulan.
“Yang menentukan varietas unggulan, ada dari pihak balai, dan perlu dilakukan penelitian. Tetapi yang pasti, potensi lokal seperti salak ‘gatri’, itu akan terus kami dukung untuk dikembangkan sebagai potensi pertanian Jembrana,” ujar Sutama. *ode
Salak ‘gatri’ yang berhasil dikembangkan Sunarya itu merupakan jenis persilangan antara jenis salak Bali dengan salak pondoh. Sunarya memberi nama ‘gatri’ untuk nama salak hasil persilangan tersebut. Nama itu mengambil nama leluhurnya yang mewariskan tanah kebun yang sekarang dikelolanya tersebut.
“Tanah kebun yang saya kelola bersama keluarga untuk menanam salak ini warisan keluarga. Makanya saya gunakan nama leluhur saya untuk salak yang saya kembangkan ini,” kata ayah dua orang anak ini, Rabu (3/10).
Menurut Sunarya, lahan kebun seluas 60 are milik keluarganya tersebut, sebelumnya sama seperti kebun petani sekitar, yang kebanyakan ditanami kakao. Namun memasuki sekitar tahun 1995, Sunarya merenovasi kebun yang juga berada di areal depan rumahnya tersebut, untuk dijadikan kebun salak.
“Awal mengembangkan budidaya salak ini, sebenarnya tidak sengaja. Kebetulan awalnya itu, saya iseng-iseng membuang biji salak di pekarangan rumah, dan ternyata mau tumbuh,” ujarnya.
Dari rasa penasaran itu, Sunarya terdorong melakukan uji coba, dan berhasil melakukan persilangan antara tanaman salak Bali dengan tanaman salak pondoh. Bibit tanaman salak yang digunakan selama uji coba itu, juga diperoleh secara cuma-cuma, karena banyak tumbuh di pekarangan rumah. “Saya coba-coba melakukan persilangan, karena sempat lihat informasi di TV tentang cara menanam salak. Pas saya coba, ternyata berhasil,” kenangnya.
Setelah berhasil melakukan persilangan dengan menghasilkan salak yang cukup khas tersebut, dia pun memantapkan diri untuk mengembangkan bibit salaknya tersebut. Seluruh tanaman kakao di lahan kebun seluas 60 are yang dikelolanya dibabat habis, kemudian ditanami ratusan bibit pohon salak. “Waktu awal memulai, ada 500 bibit salak yang saya tanam. Tetapi hanya ada sekitar 150 bibit yang bisa hidup. Waktu itu, saya berusaha konsultasi ke Dinas Pertanian, dan diberikan tambahan ilmu tentang budidaya salak, sehingga bisa seperti sekarang ini,” ujarnya,
Kini dari lahan seluas 60 are tersebut, Sunarya mengaku bisa menjual sebanyak 150 kilogram salak setiap tiga bulan, dengan harga Rp 10.000 per kilogram. Sejatinya, banyak permintaan terhadap salak ‘gatri’ hasil produksinya, yang dikenal memiliki rasa mirip salak pondoh, namun memiliki tekstur daging yang lebih lembek seperti salak Bali dengan ukuran buah lebih besar. Tetapi karena hanya memiliki lahan terbatas, dia mengaku hanya bisa melayani permintaan dari sejumlah pengepul lokal. “Apalagi kalau musim hari raya, kadang saya kewalahan menerima pesanan. Sementara baru bisa penuhi untuk pasar di seputaran Jembrana,” ungkapnya.
Hasil budidaya salak yang dirawat Sunarya bersama sang istri, Ni Made Sudiani, bersama dua orang anaknya itu mampu menghidupi keluarganya. Termasuk membiayai kuliah putra pertamanya, I Putu Eka Sumardiana, hingga lulus sarjana, yang kini bekerja sebagai tenaga kontrak di Dinas Lingkungan Hidup Jembrana.
Untuk membudidayakan salak, Sunarya mengaku, sebenarnya tidak terlalu sulit. Yang terpenting, mengontrol tanaman tiap hari, memangkas dahan, serta melakukan pencegahan hama jamur. Terutama hama jamur, yang bisa diatasi dengan menaburkan kapur di sekitar batang pohon salak. Kemudian untuk pemupukan, dia menggunakan pupuk dari kotoran sapi.
Sementara Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana I Wayan Sutama, Rabu kemarin mengakui salak bukan merupakan komoditas unggulan di Jembrana. Petani kebun di Jembrana lebih familiar menanam cengkih, vanili ataupun kakao. Untuk membudidayakan salak, juga sangat tergantung akan unsur hara (nutrisi atau makanan yang dibutuhkan tanaman, Red), sehingga satu daerah dengan daerah lainnya, hasilnya belum tentu sama.
Terkait salak ‘gatri’ hasil budidaya, Sutama sangat mengapresiasi Sunarya sebagai salah satu petani inovatif. Dia akan berkoordinasi dengan pihak Balai Penelitian untuk memastikan apakah salak ‘gatri’ tersebut termasuk varietas unggulan.
“Yang menentukan varietas unggulan, ada dari pihak balai, dan perlu dilakukan penelitian. Tetapi yang pasti, potensi lokal seperti salak ‘gatri’, itu akan terus kami dukung untuk dikembangkan sebagai potensi pertanian Jembrana,” ujar Sutama. *ode
Komentar