230 Korban Bencana Palu Dibawa ke Bali
Sebanyak 230 korban bencana gempa dan tsunami Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, diterbangkan ke Bali, Jumat (5/10).
Petebo Tak Bisa Dihuni Lagi, Warga Diorelokasi
MANGUPURA, NusaBali
Merteka diterbangkan dalam dua kloter menggunaakan pesawat Hercules milik TNI AU. Dari 230 korban gempa tersebut, beberapa di antaranya ngungsi ke rumah kerabatnya di Bali, sedangan sebagian besar lainnya akan mengungsi ke Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kloter pertama pengungsi korban bencana Sulteng yang tiba di Lanud Ngurah Rai Tuban, Kecamatan Kuta, Badung, Jumat pagi berjumlah 110 orang. Sedangkan sorenya sekitar pukul 15.50 Wita, kloter kedua pengungsi korban bencana yang mendarat di Lanud Ngurah Rai Tuban berjumlah 120 orang.
Danlanud Ngurah Rai Tuban, Kolonel Pnb Wibowo Cahyono, mengatakan pesawat Hercules milik TNI AU yang ditumpangi pengungsi korban bencana Sulteng ini sebelumnya bertolak dari Makassar, Sulawesi Selatan untuk mengangkut pasukan pengamanan Annual Meeting IMF-World Bank 2018. Pasukan pengaman itu dibawa ke Bali untuk pengamanan event IMF-World Bank di Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Badung 8-14 Oktober 2018 ini.
Namun, fungsi pesawat Hercules TNI AU itu dioptimalkan dengan mengangkut pula pengungsi korban bencana dari Palu ke Bali. "Warga korban bencana yang menumpangi pesawat Hercules TNI AU ini hendak menuju berbagai tempat lewat Bali,” jelas Kolonel Wibowo.
Kolonel Wibowo mengaku tidak tahu persis daerah tujuan pengungsian korban bencana Sulteng itu. Yang jelas, sebagian besar dari mereka hendak menuju Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Menurut Kolonel Wibowo, 110 pengungsi korban bencana Sulteng sudah diterbangkan dari Lanud NgurahRai Tuban ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, Jumat kemarin. “Nanti saat saat kembali ke Makassar, pesawat Hercules TNI AU ini juga akan diperbantukan untuk mengangkut bantuan untuk korban bencana Sulteng," paparnya.
Di sisi lain, ada satu keluarga korban gempa dan tsunami Palu telah mengungsi ke rumah keluarganya di Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana. "Pengungsi ini merupakan keluarga dari salah satu kepala lingkungan di sini. Kepala keluarga dari korban gempa itu merupakan PNS Kementerian Kehutanan yang bertugas di Palu," ungkap Lurah Gilimanuk, Gede Wariyana Prabawa, saat dikonfirmasi Antara, Jumat sore.
Menurut Maroyana, pihaknya belum mengambil tindakan apa pun terkait dengan penanganan pengungsi tersebut. Pertimbangan, keluarga dari korban bencana tersebut yang kebetulan menjabat sebagai Kepala Dusun (Kadus) Asih Barat. "Kami kembalikan kepada keinginan keluarganya. Tapi, mereka tetap kami pantau, termasuk ketika membutuhkan bantuan," katanya.
Satu keluarga yang mengungsi ke Gilimanuk itu beranggotakan 4 orang terdiri dari ayah, ibu, dan 2 anak. Mereka adalah pasutri Heryadi dan Hartati Tanaiyo, serta dua anaknya: Jarwali, 10, dan Aufar, 3. Heryadi adalah pria kelahiran Desa Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng yang tinggal di Desa Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulteng. Sedangkan istrinya, Hartati Tanaiyo, kelahiran Manado, Sulawesi Utara.
Sementara, sebagian krama Bali perantauan di Palu pilih balik ke daerah asalnya. Daerah dimaksud adalah lokasi awal keluarganya transmigrasi di Sulawesi Tengah, seperti Parigi Moutong, Tolawe, Poso, Toli-toli, Kota Raya, dan Luwuk. Hal ini disampaikan Ketua PHDI Sulteng, I Nengah Wandra, kepada NusaBali per telepon, Jumat kemarin.
"Warga Bali di Palu sebagian besar berasal dari daerah transmigrasi di Sulteng. Setelah bencana gempa dan tsunami, sebagaian dari mereka balik ke tempat asal keluaganya, seperti di Parigi Moutong,” ujar Nengah Wandra.
Nengah Wandra sendiri pilih bertahan di kawasan Tanggul, Palu meskipun rumahnya hancur, karena tidak punya kampung asal di daerah transmigrasi. Menurut Wandra, kendati sebagian besar krama Bali perantauan sudah pergi dari Palu, namun posko bencana dan dapur umum di Pura Agung Wanakerta Jagatnatha Palu tetap dibuka. Wandra mengimbau krama Bali maupun umat Hindu lainnya yang ingin makan, bisa datang langsung ke Pura Agung Wanakerta Jagatnatha Palu.
Wandra belum bisa merinci berapa jumlah krama Bali yang meninggal akibat bencana Sulteng. Yang jelas, dia mendapat informasi ada krama Bali yang terjebak di kediamannya di kawasan Petobo, Palu. Wandra sebenarnya berusaha datang ke Petobo, tapi belum bisa tembus karena akses terbatas.
"Ada satu keluarga asal Bali masih terjebak di rumahnya di Petobo dan mereka belum bisa dievakuasi. Satu keluarga yang terjebak ini beranggotakan 3 orang terdiri dari ayah, ibu, dan anak," kata Wandra.
Disebutkan, kondisi di Palu sudah semakin kondusif. Bantuan juga sudah masuk. "Hanya saja, listrik belum menyala. Di sini pukul 19.00 Wita sudah sepi dan tidak ada lagi orang di jalan," jelasnya.
Paparan senada disampaikan Ketua Peradah Sulteng, I Gede Yogantara Teguh Eko Wijaya. Menurut Yogantara, listrik belum menyala di tempat tinggalnya kawasan Tondo, Palu.Yogantara mengaku atap rumah keluarganya juga ambruk diguncang gempa. “Semalam hujan, jadi saya dan keluarga evakuasi berkas-berkas penting," kata Yogantara sembari menyebut semua bantuan untuk krama Bali dan umat Hindu korban bencana dipusatkan di Pura Agung Wanakerta Jagatnatha Palu.
Sementara itu, dua kawasan di Kota Palu, yakni Balaroa dan Petobo, tidak bisa lagi dibangun permukiman pasca gempa, karena kondisinya hancur. Warga setempat harus direlokasi, karena kondisi medan, fondasi, dan geologinya sudah tidak memungkinkan.
"Yang di Balaroa dan Petobo itu sudah nggak bisa dihuni lagi. Harus relokasi,” ujar Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, dilansir detikcom, Jumat kemarin. "Kalau kita bangun lagi, kita nggak tahu kapan ada gempa. Kalau kita bangun lagi, pasti terulang lagi," imbuhnya.
Kawasan Petobo adalah daerah yang 'ditelan bumi' atau mengalami pergeseran tanah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut wilayah yang 'ditelan bumi' ini luasnya mencapai 180 hektare dari total luas keseluruhan wilayah Petobo sekitar 1.040 hektare.
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, wilayah Petobo memang mengalami likuifaksi atau penggemburan lapisan tanah pasir akibat guncangan gempa. Kondisi permukaan air tanah yang dangkal membuat kekuatan lapisan tanah pasir hilang seolah mencair. Sedangkan di Balaroa, yang rusak mencapai 47,8 hektare dari total keseluruhan laus kawasan 238 hektare. Jumlah bangunan yang rusak di Balaroa sebanyak 1.045 unit. *po,k22
MANGUPURA, NusaBali
Merteka diterbangkan dalam dua kloter menggunaakan pesawat Hercules milik TNI AU. Dari 230 korban gempa tersebut, beberapa di antaranya ngungsi ke rumah kerabatnya di Bali, sedangan sebagian besar lainnya akan mengungsi ke Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kloter pertama pengungsi korban bencana Sulteng yang tiba di Lanud Ngurah Rai Tuban, Kecamatan Kuta, Badung, Jumat pagi berjumlah 110 orang. Sedangkan sorenya sekitar pukul 15.50 Wita, kloter kedua pengungsi korban bencana yang mendarat di Lanud Ngurah Rai Tuban berjumlah 120 orang.
Danlanud Ngurah Rai Tuban, Kolonel Pnb Wibowo Cahyono, mengatakan pesawat Hercules milik TNI AU yang ditumpangi pengungsi korban bencana Sulteng ini sebelumnya bertolak dari Makassar, Sulawesi Selatan untuk mengangkut pasukan pengamanan Annual Meeting IMF-World Bank 2018. Pasukan pengaman itu dibawa ke Bali untuk pengamanan event IMF-World Bank di Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Badung 8-14 Oktober 2018 ini.
Namun, fungsi pesawat Hercules TNI AU itu dioptimalkan dengan mengangkut pula pengungsi korban bencana dari Palu ke Bali. "Warga korban bencana yang menumpangi pesawat Hercules TNI AU ini hendak menuju berbagai tempat lewat Bali,” jelas Kolonel Wibowo.
Kolonel Wibowo mengaku tidak tahu persis daerah tujuan pengungsian korban bencana Sulteng itu. Yang jelas, sebagian besar dari mereka hendak menuju Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Menurut Kolonel Wibowo, 110 pengungsi korban bencana Sulteng sudah diterbangkan dari Lanud NgurahRai Tuban ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, Jumat kemarin. “Nanti saat saat kembali ke Makassar, pesawat Hercules TNI AU ini juga akan diperbantukan untuk mengangkut bantuan untuk korban bencana Sulteng," paparnya.
Di sisi lain, ada satu keluarga korban gempa dan tsunami Palu telah mengungsi ke rumah keluarganya di Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana. "Pengungsi ini merupakan keluarga dari salah satu kepala lingkungan di sini. Kepala keluarga dari korban gempa itu merupakan PNS Kementerian Kehutanan yang bertugas di Palu," ungkap Lurah Gilimanuk, Gede Wariyana Prabawa, saat dikonfirmasi Antara, Jumat sore.
Menurut Maroyana, pihaknya belum mengambil tindakan apa pun terkait dengan penanganan pengungsi tersebut. Pertimbangan, keluarga dari korban bencana tersebut yang kebetulan menjabat sebagai Kepala Dusun (Kadus) Asih Barat. "Kami kembalikan kepada keinginan keluarganya. Tapi, mereka tetap kami pantau, termasuk ketika membutuhkan bantuan," katanya.
Satu keluarga yang mengungsi ke Gilimanuk itu beranggotakan 4 orang terdiri dari ayah, ibu, dan 2 anak. Mereka adalah pasutri Heryadi dan Hartati Tanaiyo, serta dua anaknya: Jarwali, 10, dan Aufar, 3. Heryadi adalah pria kelahiran Desa Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng yang tinggal di Desa Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulteng. Sedangkan istrinya, Hartati Tanaiyo, kelahiran Manado, Sulawesi Utara.
Sementara, sebagian krama Bali perantauan di Palu pilih balik ke daerah asalnya. Daerah dimaksud adalah lokasi awal keluarganya transmigrasi di Sulawesi Tengah, seperti Parigi Moutong, Tolawe, Poso, Toli-toli, Kota Raya, dan Luwuk. Hal ini disampaikan Ketua PHDI Sulteng, I Nengah Wandra, kepada NusaBali per telepon, Jumat kemarin.
"Warga Bali di Palu sebagian besar berasal dari daerah transmigrasi di Sulteng. Setelah bencana gempa dan tsunami, sebagaian dari mereka balik ke tempat asal keluaganya, seperti di Parigi Moutong,” ujar Nengah Wandra.
Nengah Wandra sendiri pilih bertahan di kawasan Tanggul, Palu meskipun rumahnya hancur, karena tidak punya kampung asal di daerah transmigrasi. Menurut Wandra, kendati sebagian besar krama Bali perantauan sudah pergi dari Palu, namun posko bencana dan dapur umum di Pura Agung Wanakerta Jagatnatha Palu tetap dibuka. Wandra mengimbau krama Bali maupun umat Hindu lainnya yang ingin makan, bisa datang langsung ke Pura Agung Wanakerta Jagatnatha Palu.
Wandra belum bisa merinci berapa jumlah krama Bali yang meninggal akibat bencana Sulteng. Yang jelas, dia mendapat informasi ada krama Bali yang terjebak di kediamannya di kawasan Petobo, Palu. Wandra sebenarnya berusaha datang ke Petobo, tapi belum bisa tembus karena akses terbatas.
"Ada satu keluarga asal Bali masih terjebak di rumahnya di Petobo dan mereka belum bisa dievakuasi. Satu keluarga yang terjebak ini beranggotakan 3 orang terdiri dari ayah, ibu, dan anak," kata Wandra.
Disebutkan, kondisi di Palu sudah semakin kondusif. Bantuan juga sudah masuk. "Hanya saja, listrik belum menyala. Di sini pukul 19.00 Wita sudah sepi dan tidak ada lagi orang di jalan," jelasnya.
Paparan senada disampaikan Ketua Peradah Sulteng, I Gede Yogantara Teguh Eko Wijaya. Menurut Yogantara, listrik belum menyala di tempat tinggalnya kawasan Tondo, Palu.Yogantara mengaku atap rumah keluarganya juga ambruk diguncang gempa. “Semalam hujan, jadi saya dan keluarga evakuasi berkas-berkas penting," kata Yogantara sembari menyebut semua bantuan untuk krama Bali dan umat Hindu korban bencana dipusatkan di Pura Agung Wanakerta Jagatnatha Palu.
Sementara itu, dua kawasan di Kota Palu, yakni Balaroa dan Petobo, tidak bisa lagi dibangun permukiman pasca gempa, karena kondisinya hancur. Warga setempat harus direlokasi, karena kondisi medan, fondasi, dan geologinya sudah tidak memungkinkan.
"Yang di Balaroa dan Petobo itu sudah nggak bisa dihuni lagi. Harus relokasi,” ujar Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, dilansir detikcom, Jumat kemarin. "Kalau kita bangun lagi, kita nggak tahu kapan ada gempa. Kalau kita bangun lagi, pasti terulang lagi," imbuhnya.
Kawasan Petobo adalah daerah yang 'ditelan bumi' atau mengalami pergeseran tanah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut wilayah yang 'ditelan bumi' ini luasnya mencapai 180 hektare dari total luas keseluruhan wilayah Petobo sekitar 1.040 hektare.
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, wilayah Petobo memang mengalami likuifaksi atau penggemburan lapisan tanah pasir akibat guncangan gempa. Kondisi permukaan air tanah yang dangkal membuat kekuatan lapisan tanah pasir hilang seolah mencair. Sedangkan di Balaroa, yang rusak mencapai 47,8 hektare dari total keseluruhan laus kawasan 238 hektare. Jumlah bangunan yang rusak di Balaroa sebanyak 1.045 unit. *po,k22
Komentar