20 Km Pantai di Jembrana Abrasi
22 titik pantai yang terkena abrasi, terparah terjadi di dua titik, yakni di pantai Gilimanuk dan pantai Pebuahan.
NEGARA, NusaBali
Sesuai data dari Bidang Sumber Daya Air pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) Jembrana, tahun 2018, dari 76 kilometer (km) pantai se-Jembrana, 20,63 km di antaranya masih digempur abrasi. Sepanjang 20 kilometer lebih abrasi itu, terjadi di 22 titik pantai di lima kecamatan se-Jembrana.
Di wilayah Kecamatan Pekutatan, terjadi abrasi sepanjang 2,8 kilometer di 6 titik pantai, yakni di pantai Pengeragoan (500 meter), pantai Gumbrih (300 meter), pantai Pangyangan (500 meter), pantai Pekutatan (600 meter), pantai Pulukan (400 meter), dan pantai Medewi (500 meter). Kemudian di wilayah Kecamatan Mendoyo, terjadi abrasi sepanjang 3,55 kilomter di 4 titik pantai, yakni di pantai Rambut Siwi (800 meter), pantai Yehembang (1 kilometer), pantai Penyaringan (1 kilometer), dan pantai Delod Berawah (750 meter). Di Kecamatan Jembrana, terjadi abrasi di 3 titik pantai dengan sepanjang total 3,5 kilometer, yakni di pantai Yeh Kuning (1 kilometer), pantai Air Kuning (1 kilometer), dan pantai Perancak (1,5 kilometer). Selanjutnya di Kecamatan Negara, terjadi abrasi sepanjang 7 kilometer di 5 titik pantai, yakni di pantai Muara Sowan (1,5 kiloemeter), pantai Pengambengan (1,5 kilometer), pantai Cupel (2 kilometer), pantai Baluk Rening (1 kilometer), dan pantai Pebuahan (1 kilometer).
Sedangkan di Kecamatan Melaya, juga terjadi abrasi sepanjang 3,77 kilometer di 4 titik pantai, diantaranya di pantai Tuwed (300 meter), pantai Candikusuma (1,070 meter), pantai Nusasari (400 meter), dan pantai Gilimanuk (2 kilometer). "Dari 22 titik pantai yang terkena abrasi, terparah terjadi di dua titik, yakni di pantai Gilimanuk dan pantai Pebuahan. Kami ketorikan paling parah, karena banyak rumah penduduk yang semakin terancam," ujar Kepala Bidang Sumber Daya Air pada Dinas PUPRPKP Jembrana, I Wayan Widnyana, Jumat (5/10).
Menurut Widnyana, terkait masalah abrasi tersebut, rutin diusulkan setiap tahun ke pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) yang memiliki domain terhadap penanganan abrasi. Namun penangan abrasi di Jembrana, terakhir hanya diterima pada tahun 2017 lalu. Sedangkan pada tahun 2018 ini, Jembrana sama sekali tidak mendapat jatah penanganan abrasi. "Kita harus bisa maklumi itu, karena Kementerian PUPR juga menangani abrasi di seluruh Indonesia. Apalagi untuk penanganan abrasi dengan batu armor membutuhkan biaya besar," ujarnya.
Namun, sambung Widnyana, meski tidak mendapat penanganan abrasi dengan menggunakan batu armor, Jembrana mendapat jatah penanganan abrasi sepanjang 80 meter menggunakan geotextile woven. Penangan abrasi menggunakan geotextile woven yang tepatnya diturunkan di pantai Pebuahan, itu merupakan metode penangan abrasi yang baru diujicobakan pihak BWS di Bali, melalui sponsor salah satu perusahaan geotextile woven dari Jakarta. "Geotextile woven itu sudah dipasang dari beberapa hari lalu, dan sekarang masih proses. Ada 4 geotextile woven yang dipasang. Satu geotextile woven itu, memiliki ukuran panjang 20 meter dengan diamater 2,5 meter," ujarnya.
Untuk penanganan abrasi menggunakan geotextile woven itu, berbeda dengan menggunakan batu armor. Di mana untuk geotextile woven yang menyerupai semacam karung besar diisi pasir itu, dipasang di perairan sekitar 50 meter dari tepi pantai. Sedangkan batu armor, dipasang langsung di tepi pantai. "Cara kerjasanya, meredam ombak, dan pasir yang biasa terbawa ombak ke tengah akan tetap tertahan di geotextile woven itu. Dari sisi biaya, informasinya memang jauh lebih murah kalau menggunakan geotextile woven. Tetapi apakah efektif, itu nanti akan dikaji pihak Balai. Dan kalau memang efektif, kemungkinan penangan abrasi selanjutnya, diguanakan geotextile woven itu," pungkasnya.*ode
Sesuai data dari Bidang Sumber Daya Air pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) Jembrana, tahun 2018, dari 76 kilometer (km) pantai se-Jembrana, 20,63 km di antaranya masih digempur abrasi. Sepanjang 20 kilometer lebih abrasi itu, terjadi di 22 titik pantai di lima kecamatan se-Jembrana.
Di wilayah Kecamatan Pekutatan, terjadi abrasi sepanjang 2,8 kilometer di 6 titik pantai, yakni di pantai Pengeragoan (500 meter), pantai Gumbrih (300 meter), pantai Pangyangan (500 meter), pantai Pekutatan (600 meter), pantai Pulukan (400 meter), dan pantai Medewi (500 meter). Kemudian di wilayah Kecamatan Mendoyo, terjadi abrasi sepanjang 3,55 kilomter di 4 titik pantai, yakni di pantai Rambut Siwi (800 meter), pantai Yehembang (1 kilometer), pantai Penyaringan (1 kilometer), dan pantai Delod Berawah (750 meter). Di Kecamatan Jembrana, terjadi abrasi di 3 titik pantai dengan sepanjang total 3,5 kilometer, yakni di pantai Yeh Kuning (1 kilometer), pantai Air Kuning (1 kilometer), dan pantai Perancak (1,5 kilometer). Selanjutnya di Kecamatan Negara, terjadi abrasi sepanjang 7 kilometer di 5 titik pantai, yakni di pantai Muara Sowan (1,5 kiloemeter), pantai Pengambengan (1,5 kilometer), pantai Cupel (2 kilometer), pantai Baluk Rening (1 kilometer), dan pantai Pebuahan (1 kilometer).
Sedangkan di Kecamatan Melaya, juga terjadi abrasi sepanjang 3,77 kilometer di 4 titik pantai, diantaranya di pantai Tuwed (300 meter), pantai Candikusuma (1,070 meter), pantai Nusasari (400 meter), dan pantai Gilimanuk (2 kilometer). "Dari 22 titik pantai yang terkena abrasi, terparah terjadi di dua titik, yakni di pantai Gilimanuk dan pantai Pebuahan. Kami ketorikan paling parah, karena banyak rumah penduduk yang semakin terancam," ujar Kepala Bidang Sumber Daya Air pada Dinas PUPRPKP Jembrana, I Wayan Widnyana, Jumat (5/10).
Menurut Widnyana, terkait masalah abrasi tersebut, rutin diusulkan setiap tahun ke pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) yang memiliki domain terhadap penanganan abrasi. Namun penangan abrasi di Jembrana, terakhir hanya diterima pada tahun 2017 lalu. Sedangkan pada tahun 2018 ini, Jembrana sama sekali tidak mendapat jatah penanganan abrasi. "Kita harus bisa maklumi itu, karena Kementerian PUPR juga menangani abrasi di seluruh Indonesia. Apalagi untuk penanganan abrasi dengan batu armor membutuhkan biaya besar," ujarnya.
Namun, sambung Widnyana, meski tidak mendapat penanganan abrasi dengan menggunakan batu armor, Jembrana mendapat jatah penanganan abrasi sepanjang 80 meter menggunakan geotextile woven. Penangan abrasi menggunakan geotextile woven yang tepatnya diturunkan di pantai Pebuahan, itu merupakan metode penangan abrasi yang baru diujicobakan pihak BWS di Bali, melalui sponsor salah satu perusahaan geotextile woven dari Jakarta. "Geotextile woven itu sudah dipasang dari beberapa hari lalu, dan sekarang masih proses. Ada 4 geotextile woven yang dipasang. Satu geotextile woven itu, memiliki ukuran panjang 20 meter dengan diamater 2,5 meter," ujarnya.
Untuk penanganan abrasi menggunakan geotextile woven itu, berbeda dengan menggunakan batu armor. Di mana untuk geotextile woven yang menyerupai semacam karung besar diisi pasir itu, dipasang di perairan sekitar 50 meter dari tepi pantai. Sedangkan batu armor, dipasang langsung di tepi pantai. "Cara kerjasanya, meredam ombak, dan pasir yang biasa terbawa ombak ke tengah akan tetap tertahan di geotextile woven itu. Dari sisi biaya, informasinya memang jauh lebih murah kalau menggunakan geotextile woven. Tetapi apakah efektif, itu nanti akan dikaji pihak Balai. Dan kalau memang efektif, kemungkinan penangan abrasi selanjutnya, diguanakan geotextile woven itu," pungkasnya.*ode
Komentar