Balaroa dan Petobo Tak Bisa Lagi Dihuni
Relokasi warga menunggu proses rehabilitasi pascagempa selama 2-3 bulan
PALU, NusaBali
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebut Balaroa dan Petobo, Palu, Sulteng, tak bisa lagi dibangun permukiman pascagempa. Warga harus direlokasi. "Yang di Balaroa dan Petobo itu sudah nggak bisa dipakai lagi. Harus relokasi karena memang medannya, fondasi, dan geologinya sudah tidak bisa dipakai lagi," kata Basuki di RS Wirabuana, Palu, Jumat (5/10) seperti dilansir detik.
"Kalau kita bangun lagi, kita nggak tahu lagi kan kapan ada gempa. Kalau kita bangun lagi pasti terulang lagi," sebut dia. Basuki menyebut relokasi warga akan lebih dulu menunggu proses rehabilitasi pascagempa selama 2-3 bulan.
"Butuh perencanaan lagi tata ulangnya. Sambil menunggu itu, kita akan bangunkan barak-barak untuk rehabilitasi baru masuk tata kota," katanya. Wilayah Kelurahan Petobo di Palu menjadi salah satu daerah yang terkena dampak parah karena 'ditelan bumi'. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut wilayah yang 'ditelan bumi' itu mencapai 180 hektare dari total luas keseluruhan Petobo sekitar 1.040 hektare.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebut ada 2.050 unit bangunan di Petobo yang rusak. Wilayah Petobo memang mengalami likuifaksi atau penggemburan lapisan tanah pasir akibat guncangan gempa berkekuatan lebih dari 6 magnitudo. Kondisi permukaan air tanah yang dangkal membuat kekuatan lapisan tanah pasir hilang seolah mencair.
Wilayah terdampak lainnya di Balaroa seluas 47,8 hektare dari keseluruhan 238 hektare. Jumlah bangunan yang rusak di Balaroa sebanyak 1.045 unit. Selain itu, dia menyebut wilayah Jono Oge di Kabupaten Sigi terkena dampak seluas 202 hektare.
Sementara itu, sepekan lebih usai gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, para pengungsi mulai terserang penyakit. Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan para pengungsi kebanyakan mengalami influenza dan gangguan pencernaan.
"Kami sudah identifikasi, sekarang sudah mulai banyak atau meningkat kasus influenza seperti batuk dan pilek, kemudian gangguan pencernaan seperti diare juga sudah kita temukan," kata Achmad saat ditemui di Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah, Palu, pada Jumat (5/10).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebut Balaroa dan Petobo, Palu, Sulteng, tak bisa lagi dibangun permukiman pascagempa. Warga harus direlokasi. "Yang di Balaroa dan Petobo itu sudah nggak bisa dipakai lagi. Harus relokasi karena memang medannya, fondasi, dan geologinya sudah tidak bisa dipakai lagi," kata Basuki di RS Wirabuana, Palu, Jumat (5/10) seperti dilansir detik.
"Kalau kita bangun lagi, kita nggak tahu lagi kan kapan ada gempa. Kalau kita bangun lagi pasti terulang lagi," sebut dia. Basuki menyebut relokasi warga akan lebih dulu menunggu proses rehabilitasi pascagempa selama 2-3 bulan.
"Butuh perencanaan lagi tata ulangnya. Sambil menunggu itu, kita akan bangunkan barak-barak untuk rehabilitasi baru masuk tata kota," katanya. Wilayah Kelurahan Petobo di Palu menjadi salah satu daerah yang terkena dampak parah karena 'ditelan bumi'. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut wilayah yang 'ditelan bumi' itu mencapai 180 hektare dari total luas keseluruhan Petobo sekitar 1.040 hektare.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebut ada 2.050 unit bangunan di Petobo yang rusak. Wilayah Petobo memang mengalami likuifaksi atau penggemburan lapisan tanah pasir akibat guncangan gempa berkekuatan lebih dari 6 magnitudo. Kondisi permukaan air tanah yang dangkal membuat kekuatan lapisan tanah pasir hilang seolah mencair.
Wilayah terdampak lainnya di Balaroa seluas 47,8 hektare dari keseluruhan 238 hektare. Jumlah bangunan yang rusak di Balaroa sebanyak 1.045 unit. Selain itu, dia menyebut wilayah Jono Oge di Kabupaten Sigi terkena dampak seluas 202 hektare.
Sementara itu, sepekan lebih usai gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, para pengungsi mulai terserang penyakit. Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan para pengungsi kebanyakan mengalami influenza dan gangguan pencernaan.
"Kami sudah identifikasi, sekarang sudah mulai banyak atau meningkat kasus influenza seperti batuk dan pilek, kemudian gangguan pencernaan seperti diare juga sudah kita temukan," kata Achmad saat ditemui di Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah, Palu, pada Jumat (5/10).
Achmad mengatakan kebanyakan yang mengidap influenza adalah anak di bawah lima tahun (balita), karena belum memiliki daya tahan tubuh sebaik orang dewasa. Sementara itu, lanjutnya, gangguan pencernaan diperkirakan sebagai akibat dari keterbatasan air, buruknya sanitasi, dan kualitas makanan yang tak terjamin.
Selain dua penyakit itu, menurutnya, sejumlah korban gempa dan tsunami Sulawesi Tengah juga mulai terserang penyakit yang berkaitan dengan kejiwaan. Dia mengatakan penyakit ini muncul lantaran sejumlah korban mengalami stres karena kehilangan anggota keluarga. "Ada lagi bahwa penyakit terkait sisi kejiwaan itu sudah mulai muncul. Orang kehilangan keluarga, orang tidak pasti keluarga di mana itu mulai stres dan sebagainya," ucapnya.
BNPB menyampaikan jumlah korban jiwa per Kamis (4/10) malam menjadi sebanyak 1.571 orang meninggal dunia. Rinciannya terdiri dari Palu 1.352 orang, Donggala 144 orang, Sigi 62 orang, Parigi Moutong 12 orang, dan Pasangkayu, Sulbar 1 orang. Korban yang telah dimakamkan sebanyak 1.551 jenazah. Korban dimakamkan secara massal di Poboya, Pantoloan, dan pemakaman keluarga. *
BNPB menyampaikan jumlah korban jiwa per Kamis (4/10) malam menjadi sebanyak 1.571 orang meninggal dunia. Rinciannya terdiri dari Palu 1.352 orang, Donggala 144 orang, Sigi 62 orang, Parigi Moutong 12 orang, dan Pasangkayu, Sulbar 1 orang. Korban yang telah dimakamkan sebanyak 1.551 jenazah. Korban dimakamkan secara massal di Poboya, Pantoloan, dan pemakaman keluarga. *
1
Komentar