Korban Tewas 2.010 Jiwa, Evakuasi Distop Besok
Jumlah korban tewas akibat bencana gempa 7,4 SR dan tsunami di Sulawesi Te-ngah, 28 September 2018 lalu, terus bertambah.
Bencana Gempa 7,4 SR dan Tsunami di Sulawesi Tengah
JAKARTA, NusaBali
Hingga Selasa (9/10) siang, jumlah korban tewas mencapai 2.010 jiwa. Proses evakuasi rencananya akan dihentikan, Kamis (11/10) besok. Kepala Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggu-langan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan jumlah korban tewas mencapai 2.010 jiwa itu terdata sampai Selasa siang pukul 14.00 Wita. Korban tewas terbanyak jatuh di Kota Palu mencapai 1.601 jiwa. Selebihnya, di Sigi (222 korban tewas), di Kabupaten Donggala (171 korban tewas), di Parigi Moutong (15 korban tewas), dan Pasangkayu-Sulawesi Barat (1 korban tewas).
"Korban meninggal dunia mencapai 2.010 orang. Pemakaman massal 934 jenazah, sementara pemakaman keluarga 1.076 jenazah," ujar Sutopo dalam keterangan persnya yang dilansir detikcom di Jakarta, Selasa kemarin.
Menurut Sutopo, evakuasi korban likuifaksi di kawasan Jono Oge, Kabupaten Sigi sulit dilakukan, karena tidak ada ekskavator amfibi. Kawasan ini masih dalam keadaan basah akibat likuifaksi, hingga memerlukan eskavator amfibi untuk evakuasi. "Kita mencari enam unit ekskavator amfibi. Sudah kita cari di berbagai tempat, ternyata memang sulit mencarinya," kata Sutopo.
Di kawasan Jono Oge ini, kata Sutopo, banyak berdiri rumah sebelum dilanda likuifaksi akibat gempa. Namun, kini kawasan tersebut tertimbun lumpur. "Kondisi lumpur masih basah, sehingga menyulitkan evakuasi. Sampai saat ini proses evakuasi belum bisa dilakukan," ujarnya.
Areal yang terkena likuifaksi di Jono Oge luasnya mencapai 202 hektare. Namun, kepadatan permukiman di sini tidak serapat di Petobo, Kota Palu yang sama-sama terkena likuifaksi. "Memang wilayahnya lebih luas, tapi jumlah permukimannya sedikit. Sebagian besar adalah tegalan," katanya.
Likuifaksi adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang semula padat berubah menjadi cairan.
Ada tiga lokasi di Sulteng yang tertimbuh lumpur akibat likuifaksi, yakni Balaroa (Kota Palu), Petobo (Kota Palu), dan Jono Oge (Kabupaten Sigi). Tiga kawasan ini akan ditutup alias dikosongkan dari pemukiman. Nantinya, kawasan ini dijadikan ruang terbuka hijau. Tempat bersejarah ini akan dibangun monumen.
Menurut Sutopo, hal ini sebagai penanda bahwa di lokasi-lokasi tersebut pernah terjadi likuifaksi dan amblesan tanah. Di sini tidak boleh dibangun permukiman. "Ini menjadi edukasi, nantinya di wilayah-wilayah tersebut tidak boleh untuk permukiman," ujarnya.
Sementara itu, proses evakuasi korban bencana di Sulteng akan dihentikan 11 Oktober 2018 besok. "Evakuasi dihentikan, karena kondisi jenazah sudah melebur, tidak dikenali, dan berpotensi---apabila ditemukan---menimbulkan penyakit," dalih Sutopo.
Penghentian evakuasi korban yang tertimbun lumpur di Jono Oge, Petobo, Balaroa ini bersamaan dengan selesainya tahap pertama masa tanggap darurat. Namun, kata Sutopo, masa tanggap darurat itu akan dibahas lagi, Rabu (10/10) ini. "Akan dibahas 10 Oktober 2018, apakah diperpanjang atau tidak? Tapi, melihat medan yang ada, kemungkinan tanggap darurat diperpanjang." *
JAKARTA, NusaBali
Hingga Selasa (9/10) siang, jumlah korban tewas mencapai 2.010 jiwa. Proses evakuasi rencananya akan dihentikan, Kamis (11/10) besok. Kepala Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggu-langan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan jumlah korban tewas mencapai 2.010 jiwa itu terdata sampai Selasa siang pukul 14.00 Wita. Korban tewas terbanyak jatuh di Kota Palu mencapai 1.601 jiwa. Selebihnya, di Sigi (222 korban tewas), di Kabupaten Donggala (171 korban tewas), di Parigi Moutong (15 korban tewas), dan Pasangkayu-Sulawesi Barat (1 korban tewas).
"Korban meninggal dunia mencapai 2.010 orang. Pemakaman massal 934 jenazah, sementara pemakaman keluarga 1.076 jenazah," ujar Sutopo dalam keterangan persnya yang dilansir detikcom di Jakarta, Selasa kemarin.
Menurut Sutopo, evakuasi korban likuifaksi di kawasan Jono Oge, Kabupaten Sigi sulit dilakukan, karena tidak ada ekskavator amfibi. Kawasan ini masih dalam keadaan basah akibat likuifaksi, hingga memerlukan eskavator amfibi untuk evakuasi. "Kita mencari enam unit ekskavator amfibi. Sudah kita cari di berbagai tempat, ternyata memang sulit mencarinya," kata Sutopo.
Di kawasan Jono Oge ini, kata Sutopo, banyak berdiri rumah sebelum dilanda likuifaksi akibat gempa. Namun, kini kawasan tersebut tertimbun lumpur. "Kondisi lumpur masih basah, sehingga menyulitkan evakuasi. Sampai saat ini proses evakuasi belum bisa dilakukan," ujarnya.
Areal yang terkena likuifaksi di Jono Oge luasnya mencapai 202 hektare. Namun, kepadatan permukiman di sini tidak serapat di Petobo, Kota Palu yang sama-sama terkena likuifaksi. "Memang wilayahnya lebih luas, tapi jumlah permukimannya sedikit. Sebagian besar adalah tegalan," katanya.
Likuifaksi adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang semula padat berubah menjadi cairan.
Ada tiga lokasi di Sulteng yang tertimbuh lumpur akibat likuifaksi, yakni Balaroa (Kota Palu), Petobo (Kota Palu), dan Jono Oge (Kabupaten Sigi). Tiga kawasan ini akan ditutup alias dikosongkan dari pemukiman. Nantinya, kawasan ini dijadikan ruang terbuka hijau. Tempat bersejarah ini akan dibangun monumen.
Menurut Sutopo, hal ini sebagai penanda bahwa di lokasi-lokasi tersebut pernah terjadi likuifaksi dan amblesan tanah. Di sini tidak boleh dibangun permukiman. "Ini menjadi edukasi, nantinya di wilayah-wilayah tersebut tidak boleh untuk permukiman," ujarnya.
Sementara itu, proses evakuasi korban bencana di Sulteng akan dihentikan 11 Oktober 2018 besok. "Evakuasi dihentikan, karena kondisi jenazah sudah melebur, tidak dikenali, dan berpotensi---apabila ditemukan---menimbulkan penyakit," dalih Sutopo.
Penghentian evakuasi korban yang tertimbun lumpur di Jono Oge, Petobo, Balaroa ini bersamaan dengan selesainya tahap pertama masa tanggap darurat. Namun, kata Sutopo, masa tanggap darurat itu akan dibahas lagi, Rabu (10/10) ini. "Akan dibahas 10 Oktober 2018, apakah diperpanjang atau tidak? Tapi, melihat medan yang ada, kemungkinan tanggap darurat diperpanjang." *
1
Komentar