Tak Ada Makanan, Sempat Puasa Selama Dua Hari Pasca Bencana
Kadis Sosial Tabanan, Nyoman Gede Gunawan, sempat jenguk keluarga Nyoman Sari yang jadi korban bencana Sulteng ke tempat pengungsi-annya di Banjar Pande, Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan Senin ke-marin, seraya serahkan bantuan sembako
Rumahnya Hancur, Satu Keluarga Korban Bencana Gempa di Palu Mengungsi ke Tabanan
TABANAN, NusaBali
Sejumlah krama Bali perantauan putuskan mengungsi ke kampung halaman pasca gempa 7,4 SR dan tsunami di Sulawesi Tengah, 28 September 2018 lalu. Salah satunya, keluarga Ni Nyoman Sari, 48, yang pilih mengungsi ke tanah leluhurnya di Banjar Pande, Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Tabanan. Terungkap, Nyoman Sari sempat selama dua hari tidak makan pasca bencana, karena bantuan belum bisa masuk ke tempat tinggalnya yang luluhlantak di Kota Palu.
Nyoman Sari mengungsi ke kampung halamnnya di Banjar Pande, Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan bersama ayahnya, I Wayan Redes, 85, yang kondisinya sudah tidak bisa mendengar akibat usia. Sebetulnya, Nyoman Sari bersaudara lima orang. Namun, kakak dan adik-adiknya semua sudah menikah di Kota Palu, Sulteng. Hanya Nyoman Sari yang belum menikah hingga usia 48 tahun.
Ayah Nyoman Sari, I Wayan Redes, merantau ke Palu sejak tahun 1970 sebagai transmigran. Nyoman Sari dan dua adiknya lahir di Palu. Kesehariannya, Sari tinggal sendirian, berpisah dengan empat saudaranya yang sudah berumah tangga di Palu. Sang ayah juga tinggal bersama salah satu adik dari Sari. Sedangkan ibundanya sudah lama meninggal.
Trauma oleh bencana gempa dan tsunami yang menerjang Palu dan kawasan lainnya di Sulteng, Sari akhirnya putuskan mengajak sang ayah mengungsi ke Bali. Mereka tiba di Bali, 30 September 2018 lalu, naik pesawat Hercules milik TNI AU. Namun, mereka tidak langsung pulang ke tanah leluhur di Banjar Pande, Desa Kelating, melainkan tinggal sementara di rumah salah satu keluarganya di kawasan Gianyar. Mereka baru pulang ke Tabanan, Minggu (7/10) lalu.
Ditemui NusaBali di rumah keluarganya di Desa Kelating, Senin (15/10) siang, Nyoman Sari mengatakan masih trauma oleh bencana gempa disertai tsunami, dua pekan lalu. Sari dan keluarganya sempat dua hari puasa pasca gempa, karena tidak ada yang bisa dimakan. Mereka hanya minum air keran yang sudah dimatangkan dengan alat seadanya. Masalahnya, kata Sari, bantuan makanan belum kunjung tiba ke Kota Palu.
Sari mengisahkan, saat gempa berkuatan 7,4 SR mengguncang Palu, Jumat (28/9) petang pukul pukul 18.00 Wita, dirinya sedang bekerja di toko kacamata yang sekaligus jadi tempat tinggalnya. Sari sebetulnya punya rumah BTN yang baru dicicil selama 3 tahun di kawasan Sigli, Palu. Namun, rumah BTN itu dia kontrakkan kepada orang lain. Rumah BTN itu pun hancur diuguncang gempa hingga rata dengan tanah.
Menurut Sari, dirinya panik saat gempa besar mengguncang. Dia berusaha menyelamatkan diri keluar dari toko, karena beberapa bangunan sudah runtuh. "Saya merangkak keluar toko. Beruntung, saya selamat,” kenang perempuan berusia 48 tahun ini.
Meski sudah berada di luar bangunan, Sari masih panik. Apalagi, dia melihat sejumlah bangunan di sekelilingnya ambruk. Jerit tangis histeris bersahutan di mana-mana. Suasana tambah kacau, karena setelah gempa, terdengar informasi peringatan tsunami. Warga Kota Palu, termasuk Sari, pun berlari menuju arah yang lebih tinggi. "Saya menangis terus di sana, karena jarak toko dengan Pantai Talise hanya sekitar 10 meter,” katanya.
Setelah situasi reda pasca tsunami, barulah Sari mencari sang ayah, Wayan Redes, yang tinggal bersama adik kandungnya yang menikah dengan anggota TNI. "Saya menuju rumah adik di Palu. Syukurlah, semua keluarga selamat, termasuk ayah saya. Namun, rumah-rumah hancur. Rumah BTN yang saya kontrakkan ke orang lain juga ambruk," cerita Sari.
Selama dua malam, Sari dan keluarganya tidur di lapangan Markas TNI, dengan hanya beralaskan tikar tanpa dan atap. Mereka juga harus menahan lapar, tanpa makan, dan hanya minum air putih yang didapat dari pipa pecah akibat gempa. Masalahnya, bantuan belum bisa masuk ke Palu. "Tidak ada yang bisa dimakan. Toko-toko ambruk, terpaksa kami hanya minum air dan menahan lapar," beber Sari.
Dua hari pasca gempa, 30 September 2018, barulah bantuan dari luar masuk ke Kota Palu. Trauma atas kondisi bencana, Sari dan ayahnya kemudian memutuskan pulang ke tanah leluhur Bali tujuan menenangkan diri. Mereka berencana akan balik lagi ke Palu. Namun, belum tahu kapan kembali ke Palu, karena masih menunggu suasana kondusif. "Biarlah untuk waktu saya dan bapak tinggal di sini (Desa Kelating, Red) dulu,” katanya.
Sementara itu, selama sepekan lebih berada di kampung halamannya, Nyoman Sari dan ayahnya mendapat simpati dari pemerintahan desa setempat dan jajaran Pemkab Tabanan. Kepala Dinas Sosial Tabanan, I Nyoman Gede Gunawan, juga sempat menjenguk korban bencana Sulteng ini di Banjar Pande, Desa Kelating, Senin kemarin.
Nyoman Gede Gunawan terjun dengan didampingi Perbekel Kelating, I Made Suamba, dan Kelian Dinas Banjar Pande, I Made Budi Adnyana. Mereka sudah memberikan sumbangan sembako guna meringankan beban keluarga korban bencana Sulteng di Banjar Pande. "Kami berikan sembako, termasuk beras, mie, dan air mineral," ujar Gunawan.
Gunawan menyebutkan, mengingat korban bencana ini berencana balik ke Palu, pihaknya akan koordinasi dengan pimpinan untuk membantu uang transportasi mereka. "Untuk bantuan dana sampai saat ini belum bisa saya putuskan. Yang jelas, masalah ini kita koordinasikan ke pimpinan," tandas Gunawan. *de
TABANAN, NusaBali
Sejumlah krama Bali perantauan putuskan mengungsi ke kampung halaman pasca gempa 7,4 SR dan tsunami di Sulawesi Tengah, 28 September 2018 lalu. Salah satunya, keluarga Ni Nyoman Sari, 48, yang pilih mengungsi ke tanah leluhurnya di Banjar Pande, Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Tabanan. Terungkap, Nyoman Sari sempat selama dua hari tidak makan pasca bencana, karena bantuan belum bisa masuk ke tempat tinggalnya yang luluhlantak di Kota Palu.
Nyoman Sari mengungsi ke kampung halamnnya di Banjar Pande, Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan bersama ayahnya, I Wayan Redes, 85, yang kondisinya sudah tidak bisa mendengar akibat usia. Sebetulnya, Nyoman Sari bersaudara lima orang. Namun, kakak dan adik-adiknya semua sudah menikah di Kota Palu, Sulteng. Hanya Nyoman Sari yang belum menikah hingga usia 48 tahun.
Ayah Nyoman Sari, I Wayan Redes, merantau ke Palu sejak tahun 1970 sebagai transmigran. Nyoman Sari dan dua adiknya lahir di Palu. Kesehariannya, Sari tinggal sendirian, berpisah dengan empat saudaranya yang sudah berumah tangga di Palu. Sang ayah juga tinggal bersama salah satu adik dari Sari. Sedangkan ibundanya sudah lama meninggal.
Trauma oleh bencana gempa dan tsunami yang menerjang Palu dan kawasan lainnya di Sulteng, Sari akhirnya putuskan mengajak sang ayah mengungsi ke Bali. Mereka tiba di Bali, 30 September 2018 lalu, naik pesawat Hercules milik TNI AU. Namun, mereka tidak langsung pulang ke tanah leluhur di Banjar Pande, Desa Kelating, melainkan tinggal sementara di rumah salah satu keluarganya di kawasan Gianyar. Mereka baru pulang ke Tabanan, Minggu (7/10) lalu.
Ditemui NusaBali di rumah keluarganya di Desa Kelating, Senin (15/10) siang, Nyoman Sari mengatakan masih trauma oleh bencana gempa disertai tsunami, dua pekan lalu. Sari dan keluarganya sempat dua hari puasa pasca gempa, karena tidak ada yang bisa dimakan. Mereka hanya minum air keran yang sudah dimatangkan dengan alat seadanya. Masalahnya, kata Sari, bantuan makanan belum kunjung tiba ke Kota Palu.
Sari mengisahkan, saat gempa berkuatan 7,4 SR mengguncang Palu, Jumat (28/9) petang pukul pukul 18.00 Wita, dirinya sedang bekerja di toko kacamata yang sekaligus jadi tempat tinggalnya. Sari sebetulnya punya rumah BTN yang baru dicicil selama 3 tahun di kawasan Sigli, Palu. Namun, rumah BTN itu dia kontrakkan kepada orang lain. Rumah BTN itu pun hancur diuguncang gempa hingga rata dengan tanah.
Menurut Sari, dirinya panik saat gempa besar mengguncang. Dia berusaha menyelamatkan diri keluar dari toko, karena beberapa bangunan sudah runtuh. "Saya merangkak keluar toko. Beruntung, saya selamat,” kenang perempuan berusia 48 tahun ini.
Meski sudah berada di luar bangunan, Sari masih panik. Apalagi, dia melihat sejumlah bangunan di sekelilingnya ambruk. Jerit tangis histeris bersahutan di mana-mana. Suasana tambah kacau, karena setelah gempa, terdengar informasi peringatan tsunami. Warga Kota Palu, termasuk Sari, pun berlari menuju arah yang lebih tinggi. "Saya menangis terus di sana, karena jarak toko dengan Pantai Talise hanya sekitar 10 meter,” katanya.
Setelah situasi reda pasca tsunami, barulah Sari mencari sang ayah, Wayan Redes, yang tinggal bersama adik kandungnya yang menikah dengan anggota TNI. "Saya menuju rumah adik di Palu. Syukurlah, semua keluarga selamat, termasuk ayah saya. Namun, rumah-rumah hancur. Rumah BTN yang saya kontrakkan ke orang lain juga ambruk," cerita Sari.
Selama dua malam, Sari dan keluarganya tidur di lapangan Markas TNI, dengan hanya beralaskan tikar tanpa dan atap. Mereka juga harus menahan lapar, tanpa makan, dan hanya minum air putih yang didapat dari pipa pecah akibat gempa. Masalahnya, bantuan belum bisa masuk ke Palu. "Tidak ada yang bisa dimakan. Toko-toko ambruk, terpaksa kami hanya minum air dan menahan lapar," beber Sari.
Dua hari pasca gempa, 30 September 2018, barulah bantuan dari luar masuk ke Kota Palu. Trauma atas kondisi bencana, Sari dan ayahnya kemudian memutuskan pulang ke tanah leluhur Bali tujuan menenangkan diri. Mereka berencana akan balik lagi ke Palu. Namun, belum tahu kapan kembali ke Palu, karena masih menunggu suasana kondusif. "Biarlah untuk waktu saya dan bapak tinggal di sini (Desa Kelating, Red) dulu,” katanya.
Sementara itu, selama sepekan lebih berada di kampung halamannya, Nyoman Sari dan ayahnya mendapat simpati dari pemerintahan desa setempat dan jajaran Pemkab Tabanan. Kepala Dinas Sosial Tabanan, I Nyoman Gede Gunawan, juga sempat menjenguk korban bencana Sulteng ini di Banjar Pande, Desa Kelating, Senin kemarin.
Nyoman Gede Gunawan terjun dengan didampingi Perbekel Kelating, I Made Suamba, dan Kelian Dinas Banjar Pande, I Made Budi Adnyana. Mereka sudah memberikan sumbangan sembako guna meringankan beban keluarga korban bencana Sulteng di Banjar Pande. "Kami berikan sembako, termasuk beras, mie, dan air mineral," ujar Gunawan.
Gunawan menyebutkan, mengingat korban bencana ini berencana balik ke Palu, pihaknya akan koordinasi dengan pimpinan untuk membantu uang transportasi mereka. "Untuk bantuan dana sampai saat ini belum bisa saya putuskan. Yang jelas, masalah ini kita koordinasikan ke pimpinan," tandas Gunawan. *de
1
Komentar