Pakaian dan Pertanian
MANA yang lebih penting dan mesti diutamakan: sandang, pangan atau papan? Mana yang harus lebih suntuk diurus: pakaian, makanan atau perumahan?
Manusia di zaman batu tinggal di gua-gua, membuat catatan di dinding-dinding. Mereka telanjang, tanpa pakaian. Rumah dan baju bukan sesuatu yang utama. Yang mereka utamakan adalah berburu, mencari makanan. Setelah manusia mengenal bercocoktanam, mereka punya satu peradaban untuk menghasilkan makanan, mereka kemudian memikirkan tempat tinggal. Rumah-rumah dibangun, arsitektur tumbuh dan berkembang. Lama sesudahnya, berpuluh abad kemudian, baru mereka memintal kapas menjadi benang, menenunnya dan menjadikannya kain buat penutup badan.
Kita lantas mengagumi fashion, yang di zaman modern menjadi jauh lebih penting tinimbang makanan. Banyak orang-orang necis yang lalu lalang di mal, mengenakan pakaian bagus, tapi tidak punya rumah. Mereka tinggal di tempat kontrakan yang sesak, atau kamar kos yang sempit dan pengap. Mereka memanfaatkan gaji lebih besar untuk membeli pakaian tinimbang makanan bergizi. Banyak orang menyantap makanan tidak sehat, namun membeli pakaian bagus-bagus yang indah dan sedap dipandang.
Di zaman modern, ketika tampilan lebih menentukan citra seseorang, pakaian menjadi lebih menggairahkan untuk dibahas. Maka acap terjadi, dalam kegiatan adat dan keagamaan, orang-orang sibuk membahas pakaian seragam bagi para wanita dan lelaki. Ketika upacara pernikahan, upacara besar di pura, ada tim khusus yang bertugas membahas, misalnya kain endek apa buat hari H, dan pakaian apa pula buat menyambut tamu-tamu yang datang. Biasanya ibu-ibu PKK yang sangat sibuk memilih jenis kain buat kebaya. Ini terjadi di desa-desa yang mungkin asupan makan sehari-hari warganya dengan kadar protein, kalori, dan karbohidrat masih terbilang tidak memadai.
Di Bali, dulu, pakaian saat-saat kegiatan adat tidak menjadi urusan penting. Mereka tidak punya cukup uang buat membeli brokat bagus untuk kebaya. Pakaian menjadi sesuatu yang sederhana, bukan ajang gosip dan kesempatan buat pamer. Mereka paham, yang penting makan dulu, pakaian urusan belakang. Pendidikan acap terbengkalai karena ketiadaan biaya, mana mungkin mereka memikirkan fashion beserta aksesorisnya?
Tapi, mengapa kini pakaian menjadi sangat penting dan utama bagi orang Bali? Pakaian itu, pakaian adat yang diyakini oleh orang Bali menunjukkan identitas mereka, menjadi suatu tujuan dan cara mengaktualisasikan diri? Sehingga penguasa pun merasa perlu mengatur pakaian-pakaian itu dalam kegiatan di kantor dan sekolah-sekolah.
Ida Bagus Mantra (Gubernur Bali 1978-1988) kepada wartawan mengungkapkan, di tahun 70-80-an orang Bali merasa rendah diri kalau mengenakan pakaian adat. Mereka malu berdestar, enggan berkebaya, ogah mengenakan kain melancingan. Banyak orang Bali di zaman itu jika hendak ke tempat-tempat umum, seperti membesuk rekan di rumah sakit, harus pulang dulu berganti pakaian dengan kemeja, celana atau rok. Mantra kemudian mengajak orang Bali mengenakan pakaian adat, kendati ketika tidak ke pura, tanpa harus merasa sungkan. Lambat laun busana Bali memberi ciri bagi yang mengenakannya, semakin bergaya dengan aneka model.
Tanpa disadari busana Bali tidak cuma memberi identitas, tapi juga menyuguhkan nuansa hiburan, kemeriahan, dan keanggunan, menyuguhkan sebuah jalan lebar untuk pamer. Busana menjadi sesuatu yang membanggakan, karena memberi peluang untuk bersolek. Busana lantas menjadi sesuatu yang penting, utama, mengalahkan perhatian kita pada pangan dan rumah. Orang-orang Bali merasa tidak lengkap kendati sudah cukup makan, kalau tidak mengikuti kiblat perkembangan busana. Perlahan, sandang menduduki tempat lebih penting tinimbang pangan. Tidak heran, jika berangkat kerja, pakaian macam apa hendak dikenakan menjadi penting, kendati belum sarapan.
Agar yang utama tetap diutamakan, maka mengurus pangan sepantasnya menjadi skala utama. Memperhatikan pertanian dan peternakan sudah selayaknya melebihi perhatian pada urusan busana. Orang Bali yang dulu bertani bertelanjang dada ketika menari. Tari Kecak yang berkembang dari Bedulu, Gianyar, itu, menggunakan busana tari dengan kain dipelintir dan ujungnya dimasukkan ke pantat, menyerupai cawat. Mereka menyebutnya mebulet. Itu pakaian khas para petani ketika bekerja di sawah, tatkala mereka memanjat kelapa dan pohon-pohon saat panen.
Pasti beralasan jika ada pendapat yang mengungkap, kalau Bali ingin melahirkan gagasan-gagasan sederhana dan besar, pertanian harus dibangkitkan. Semua mengakui, kesenian-kesenian besar saat ini adalah warisan dari zaman pertanian Bali. Zaman modern kemudian mendandani kesenian-kesenian itu menjadi sumringah dan pesolek. Jadi, mari kita gigih mengurus pertanian, jangan cuma berkutat mengurus pakaian dan sibuk bersolek. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar