Hibriditas Dalam Kehidupan
HIBRIDITAS diawali ketika batasan dalam sistem mengalami pelenturan, pengaburan atau perubahan. Misalnya, kesantunan berbahasa penutur remaja mengalami penurunan.
Hal ini ditengarai karena adanya pengaburan identitas. Mereka meniru identitas penutur humanis? Apresiasi terhadap kearifan lokal mengalami pengaburan. Hibriditas menghasilkan ruang baru, sebuah sistem tersendiri. Menurut Bhabha (1994), hibrid merupakan metafora bergabungnya dua bentuk berbeda yang memunculkan sifat khas. Sekaligus, penggabungan tersebut meniadakan sifat unik yang dimiliki keduanya.
Demokratisasi bukan hanya menciptakan praktek hibridasi, tetapi juga menciptakan resistensi dan negosiasi dalam relasi sosial. Hibriditas memungkinkan adanya pengenalan identitas baru. Pada masa silam, krama Bali terstrata atas dasar ‘warna’. ‘Warna’ memberi identitas kekuasaan. Saat ini, ‘demokrasi’ memberi kelenturan yang berefek ‘identitas kuasa’ ditolak. Relasi sosial menjadi dinamis dan humanis. Ringkas ceritera, perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabilisasi temporer menciptakan sistem relasi baru.
Dalam era now, mimikri atau peniruan amat lumrah. Mimikri digunakan untuk menggambarkan peniruan berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidak menunjukkan suatu ketergantungan. Tetapi, peniru menikmati ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Mimikri juga mengindikasikan makna tidak tepat, dan juga salah tempat. Mimikri adalah imitasi sekaligus subversi. Mimikri bisa dianggap sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegaskan dominasi.
Mimikri merupakan hasrat subjek untuk menjadi subjek lain yang serupa. Mimikri mengandung ambivalensi, karena ingin membangun identitas persamaan di satu sisi, namun mempertahankan perbedaan di sisi lain. Mimikri muncul sebagai pengingkaran.
Ambivalensi mimikri terbentuk karena dua faktor. Pertama, mimikri merupakan strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘yang lain’ sebagai visualisasi kekuatan. Kedua, mimikri juga merupakan perlawanan terhadap kemapanan. Kedua faktor tersebut memberi efek berbeda. Faktor pertama dapat menghasilkan efisiensi dan efektivitas. Pada kesempatan lain, faktor pertama dapat mendatangkan bencana dan konflik. Sedangkan faktor kedua dapat menimbulkan resistansi dan konflik.
Hibriditas sering tampak di gumi Bali. Misalnya, pola tutur bercampur dan beralih banyak terjadi pada penutur ‘basa Bali’. Kadang-kadang, bahasa campur mengusik nurani. Bahasa Bali dicampur bahasa Inggris walau sepotong dengan kaidah tak beraturan. Aras tutur Alus ditawar dengan aras tutur Kepara. Walau demikian, komunikasi berjalan lancar, tiada masalah. Demikian juga dalam perkawinan. Warna sosial A berlintas dengan warna B. Kadang menimbulkan masalah, tetapi sering membangun kompromi. Masih banyak contoh lain tentang hibriditas di Bali.
Mimikri juga dapat dipirsa di gumi Bali. Peniruan gaya barat oleh remaja dan pemuda kita sering mengecewakan orangtua. Dalam perilaku mereka tersirat perlawanan terhadap tradisi. Mereka lebih mengagumi sifat-sifat modern di luar jati dirinya. Mereka seakan bersuara lantang ketidaksetujuan mereka terhadap tradisi. Sesungguhnya, mereka tidak menyadari peniruan itu sekaligus mencemooh dirinya. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukan adalah budaya orang lain. Tetapi, mereka sering tidak peduli dengan lingkungan. Mereka tidak peduli akan nilai, norma, dan etika asali. Akibatnya, di tanah Bali bercampur satu budaya dengan lainnya. Pelenturan, pengaburan dan bahkan penafian bentuk dan sifat asali terjadi. Krama Bali harus menyadari bahwa nilai, norma, dan etika leluhur adalah modal kultural adiluhung. Apabila modal itu tergerus, maka generasi akan datang tidak mengenal, memahami, menghayati, apalagi mengamalkan dalam keseharian. Semoga hal itu semua tidak berdampak negatif terhadap kebudayaan Bali yang adiluhung. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar