MUTIARA WEDA : Keinginan dan Tendensinya
Tubuh sudah begitu letih, kepala telah beruban, mulut telah kehilangan giginya, dan orang tua yang hampir menyatu dengan tanah. Bahkan sudah dalam kondisi seperti itu, orang belum juga meninggalkan keinginan-keinginannya.
Angam galitam palitam mundam dasanavihinam jātam tundam,
Vrddho yāti grhitvā dandam tadapi na muncatyāsāpindam.
(Bhaja Govindam, 15)
BHAJA Govindam merupakan teks pemula dalam ajaran Vedanta. Isinya lebih banyak berupa sindiran pedas kepada kita yang sepanjang hidup melakukan sesuatu yang sepenuhnya sia-sia. Teks ini memberikan sebuah pandangan bahwa apa yang selama ini menurut kita signifikan lakukan sebenarnya justru berkebalikan. Menurut teks ini, kita menjalani hidup dilandasi oleh berbagai jenis keinginan. Kita meloncat dari satu jenis keinginan ke jenis keinginan lainnya tanpa akhir. Kita selalu mengulang kesalahan yang sama dengan berpikir bahwa kebahagiaan dapat diraih dengan memenuhi semua jenis keinginan itu. Akhirnya kita berada dalam lingkaran setan. Sepanjang hidup kita menggantungkan kebahagiaan pada keinginan-keinginan itu dan akhirnya sia-sia.
Teks di atas sebenarnya secara serius menertawakan kita. Kebodohan jenis apa yang kita miliki sehingga kita mengulang kesalahan berulang ribuan bahkan jutaan kali kehidupan? Kenapa kita yang sudah beruban, yang sudah ompong, yang sudah rengked berbau tanah, masih juga bersemangat memikirkan pemenuhan keinginan-keinginannya. Vedanta mengingatkan kita untuk berpikir ulang 180 derajat. Vedanta dengan tegas mempertanyakan, apa sebenarnya yang telah diberikan oleh keinginan-keinginan tersebut sepanjang kebahagiaan sebagai concern? Pemenuhan keinginan hanya menghadirkan kesenangan sementara yang nantinya justru menjadi pemicu terhadap jenis kesenangan yang lebih besar. Pemenuhan keinginan yang lebih besar pada akhirnya akan melahirkan penderitaan yang lebih besar. Siapakah dari kita yang mendapat kebahagiaan abadi dengan cara memenuhi semua jenis keinginannya tersebut?
Jika itu tidak ada, lalu mengapa kita juga masih ada di sana? Mengapa kita tidak menghentikan hal itu dan melakukan hal lain yang berkebalikan yang nantinya mampu mengantarkan kita meraih kebahagiaan sejati? Jika kita tahu bahwa semua itu adalah sia-sia, lalu mengapa kita tidak segera berbalik haluan? Kita memiliki piranti unik berupa kecerdasan yang tidak dimiliki oleh jenis makhluk lain untuk memikirkan ulang hal tersebut. Jika dengan memikirkan itu kemudian kita menjadi sadar, lalu kita semestinya tidak lagi membuang waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak penting. Orang yang menyadari itu akan secara langsung terjun ke ranah spiritual dan berupaya menanggalkan semua jenis penderitaan tersebut sampai ke akar-akarnya.
Vedanta menyebut orang yang segera menyadari kekeliruannya selama beribu-ribu kali kelahiran tersebut disebut dengan seorang mumuksu, artinya dia yang telah lelah akut menderita dan yang ada di pikirannya hanya melenyapkan penderitaannya itu saja. Dia yang tidak lagi memberikan porsi bagi kesenangan duniawi dan segera larut ke dalam pencaharian ke dalam diri untuk meraih kebahagiaan sejati adalah orang yang istimewa menurut Vedanta. Dia menemukan kembali jalan dirinya untuk pulang. Vedanta memberikan garis untuk itu. Teks di atas menyarankan, jika semua tindakan duniawi kita sia-sia, maka kita harus segera tenggelam ke dalam jalan Tuhan, Bhaja Govindam Bhaja Govindam.
Teks di atas berupaya untuk mengingatkan kita untuk itu. Hanya dengan kesadaran tersebut, kita dapat menjalani kehidupan secara benar. Jadi, tugas kita dalam hidup ini adalah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya telah inheren bersama diri kita. Sifat kita adalah kebahagiaan itu sendiri, tetapi kita tidak pernah menemukannya oleh karena kita salah mencarinya. Kita mengidentifikasi bahwa kebahagiaan bisa diraih melalui pemenuhan akan semua keinginan-keinginan tersebut. Identifikasi yang salah itu yang membuat seseorang semakin jauh dari sifat dirinya yang sejati. Maka dari itu, ketika seseorang mampu menanggalkan keinginan-keinginannya dan kemudian larut dalam kesadaran Ilahi, ia akan secara bertahap mengenal dirinya yang sejati. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Vrddho yāti grhitvā dandam tadapi na muncatyāsāpindam.
(Bhaja Govindam, 15)
BHAJA Govindam merupakan teks pemula dalam ajaran Vedanta. Isinya lebih banyak berupa sindiran pedas kepada kita yang sepanjang hidup melakukan sesuatu yang sepenuhnya sia-sia. Teks ini memberikan sebuah pandangan bahwa apa yang selama ini menurut kita signifikan lakukan sebenarnya justru berkebalikan. Menurut teks ini, kita menjalani hidup dilandasi oleh berbagai jenis keinginan. Kita meloncat dari satu jenis keinginan ke jenis keinginan lainnya tanpa akhir. Kita selalu mengulang kesalahan yang sama dengan berpikir bahwa kebahagiaan dapat diraih dengan memenuhi semua jenis keinginan itu. Akhirnya kita berada dalam lingkaran setan. Sepanjang hidup kita menggantungkan kebahagiaan pada keinginan-keinginan itu dan akhirnya sia-sia.
Teks di atas sebenarnya secara serius menertawakan kita. Kebodohan jenis apa yang kita miliki sehingga kita mengulang kesalahan berulang ribuan bahkan jutaan kali kehidupan? Kenapa kita yang sudah beruban, yang sudah ompong, yang sudah rengked berbau tanah, masih juga bersemangat memikirkan pemenuhan keinginan-keinginannya. Vedanta mengingatkan kita untuk berpikir ulang 180 derajat. Vedanta dengan tegas mempertanyakan, apa sebenarnya yang telah diberikan oleh keinginan-keinginan tersebut sepanjang kebahagiaan sebagai concern? Pemenuhan keinginan hanya menghadirkan kesenangan sementara yang nantinya justru menjadi pemicu terhadap jenis kesenangan yang lebih besar. Pemenuhan keinginan yang lebih besar pada akhirnya akan melahirkan penderitaan yang lebih besar. Siapakah dari kita yang mendapat kebahagiaan abadi dengan cara memenuhi semua jenis keinginannya tersebut?
Jika itu tidak ada, lalu mengapa kita juga masih ada di sana? Mengapa kita tidak menghentikan hal itu dan melakukan hal lain yang berkebalikan yang nantinya mampu mengantarkan kita meraih kebahagiaan sejati? Jika kita tahu bahwa semua itu adalah sia-sia, lalu mengapa kita tidak segera berbalik haluan? Kita memiliki piranti unik berupa kecerdasan yang tidak dimiliki oleh jenis makhluk lain untuk memikirkan ulang hal tersebut. Jika dengan memikirkan itu kemudian kita menjadi sadar, lalu kita semestinya tidak lagi membuang waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak penting. Orang yang menyadari itu akan secara langsung terjun ke ranah spiritual dan berupaya menanggalkan semua jenis penderitaan tersebut sampai ke akar-akarnya.
Vedanta menyebut orang yang segera menyadari kekeliruannya selama beribu-ribu kali kelahiran tersebut disebut dengan seorang mumuksu, artinya dia yang telah lelah akut menderita dan yang ada di pikirannya hanya melenyapkan penderitaannya itu saja. Dia yang tidak lagi memberikan porsi bagi kesenangan duniawi dan segera larut ke dalam pencaharian ke dalam diri untuk meraih kebahagiaan sejati adalah orang yang istimewa menurut Vedanta. Dia menemukan kembali jalan dirinya untuk pulang. Vedanta memberikan garis untuk itu. Teks di atas menyarankan, jika semua tindakan duniawi kita sia-sia, maka kita harus segera tenggelam ke dalam jalan Tuhan, Bhaja Govindam Bhaja Govindam.
Teks di atas berupaya untuk mengingatkan kita untuk itu. Hanya dengan kesadaran tersebut, kita dapat menjalani kehidupan secara benar. Jadi, tugas kita dalam hidup ini adalah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya telah inheren bersama diri kita. Sifat kita adalah kebahagiaan itu sendiri, tetapi kita tidak pernah menemukannya oleh karena kita salah mencarinya. Kita mengidentifikasi bahwa kebahagiaan bisa diraih melalui pemenuhan akan semua keinginan-keinginan tersebut. Identifikasi yang salah itu yang membuat seseorang semakin jauh dari sifat dirinya yang sejati. Maka dari itu, ketika seseorang mampu menanggalkan keinginan-keinginannya dan kemudian larut dalam kesadaran Ilahi, ia akan secara bertahap mengenal dirinya yang sejati. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar