Tokoh Agama Miliki Peran Penting Kuatkan Wawasan Kebangsaan
Memasuki tahun politik, isu SARA kerapkali menjadi ‘gorengan’.
DENPASAR, NusaBali
Maka itu, serangkaian hari Sumpah Pemuda, PHDI Provinsi Bali bersama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia menggelar Seminar Nasional Wawasan Kebangsaan di Kantor PHDI Bali, Selasa (30/10).
PHDI sendiri sesungguhnya sudah memiliki motto terhadap kebangsaan dengan istilah ‘Wasudewam Kutumbhakam’ yang berarti kita semua bersaudara. Dalam tatanan hidup masyarakat orang Bali, itu sudah terimplementasikan dalam konsep menyamabraya. Dalam pemahaman sulinggih, menurut Dharma Upapati PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, ada tiga hal yang patut dipikirkan tentang wawasan kebangsaan. Pertama yakni paham kebangsaan. “Kadang-kadang banyak sekali para ahli yang memberikan sesuatu hal yang salah. Sehingga jika pahamnya saja sudah salah, maka kita tidak akan tahu bagaimana nanti yang terjadi di masa depan,” katanya.
Kedua adalah rasa kebangsaan. Artinya, bagaimana sesama umat beragama baik di intern bisa saling asah, asih, asuh, serta dengan umat lain agama bisa saling bertoleransi. Namun terkadang, rasa toleransi ini sering disalahartikan, dianggap sebuah kekalahan. “Orang toleran itu kadang dianggap kalah. Kalau salah rasa kebangsaannya, ini yang harus diperbaiki,” katanya.
Sementara hal ketiga adalah semangat kebangsaan. Setelah paham kebangsaan dan tumbuh rasa kebangsaan, barulah akan muncul semangat kebangsaan melalui penguatan empat pilar kebangsaan. “Kita harus bangga dengan Pancasila. Jangan malah dimain-mainkan, digoreng-goreng. Kemudian UUD, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika adalah kesepakatan bersama yang menunjukkan semangat kebangsaan itu,” katanya.
Sementara itu, Kabid Kerukunan Umat Beragama Kemenko PMK, Cecep Khairul Anwar mengatakan, berdasarkan temuan yang dilakukan pihaknya, masyarakat lebih manut terhadap tokoh agama. Mereka memiliki peran dalam menjaga kerukunan. Kerukunan dalam menjaga kebangsaan, sangat diperlukan mulai dari sisi agama, karena agama di Indonesia pun cukup banyak. “Kita butuh perekat-perekat ini untuk menguatkan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau hanya pemerintah yang mengerjakan sendiri, tentu susah, karena kita tahu sendiri kondisi Indonesia yang beragam suku, ras, agama dan adat. Kami dari pusat di tahun 2018, mencoba langsung masuk ke organisasi keagamaan,” jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan indeks kerukunan umat beragama tahun 2017 dari Litbang Kementerian Agama bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik, Bali menduduki posisi keempat setelah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara. “Ada beberapa yang diukur, antara lain kerjasama, kesetaraan dan toleran. Indonesia dengan rata-rata nilai 72, 5 sesungguhnya aman. Namun ada saja pihak-pihak yang ingin membuat negara ini seolah tidak aman,” cetusnya. *ind
Maka itu, serangkaian hari Sumpah Pemuda, PHDI Provinsi Bali bersama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia menggelar Seminar Nasional Wawasan Kebangsaan di Kantor PHDI Bali, Selasa (30/10).
PHDI sendiri sesungguhnya sudah memiliki motto terhadap kebangsaan dengan istilah ‘Wasudewam Kutumbhakam’ yang berarti kita semua bersaudara. Dalam tatanan hidup masyarakat orang Bali, itu sudah terimplementasikan dalam konsep menyamabraya. Dalam pemahaman sulinggih, menurut Dharma Upapati PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, ada tiga hal yang patut dipikirkan tentang wawasan kebangsaan. Pertama yakni paham kebangsaan. “Kadang-kadang banyak sekali para ahli yang memberikan sesuatu hal yang salah. Sehingga jika pahamnya saja sudah salah, maka kita tidak akan tahu bagaimana nanti yang terjadi di masa depan,” katanya.
Kedua adalah rasa kebangsaan. Artinya, bagaimana sesama umat beragama baik di intern bisa saling asah, asih, asuh, serta dengan umat lain agama bisa saling bertoleransi. Namun terkadang, rasa toleransi ini sering disalahartikan, dianggap sebuah kekalahan. “Orang toleran itu kadang dianggap kalah. Kalau salah rasa kebangsaannya, ini yang harus diperbaiki,” katanya.
Sementara hal ketiga adalah semangat kebangsaan. Setelah paham kebangsaan dan tumbuh rasa kebangsaan, barulah akan muncul semangat kebangsaan melalui penguatan empat pilar kebangsaan. “Kita harus bangga dengan Pancasila. Jangan malah dimain-mainkan, digoreng-goreng. Kemudian UUD, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika adalah kesepakatan bersama yang menunjukkan semangat kebangsaan itu,” katanya.
Sementara itu, Kabid Kerukunan Umat Beragama Kemenko PMK, Cecep Khairul Anwar mengatakan, berdasarkan temuan yang dilakukan pihaknya, masyarakat lebih manut terhadap tokoh agama. Mereka memiliki peran dalam menjaga kerukunan. Kerukunan dalam menjaga kebangsaan, sangat diperlukan mulai dari sisi agama, karena agama di Indonesia pun cukup banyak. “Kita butuh perekat-perekat ini untuk menguatkan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau hanya pemerintah yang mengerjakan sendiri, tentu susah, karena kita tahu sendiri kondisi Indonesia yang beragam suku, ras, agama dan adat. Kami dari pusat di tahun 2018, mencoba langsung masuk ke organisasi keagamaan,” jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan indeks kerukunan umat beragama tahun 2017 dari Litbang Kementerian Agama bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik, Bali menduduki posisi keempat setelah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara. “Ada beberapa yang diukur, antara lain kerjasama, kesetaraan dan toleran. Indonesia dengan rata-rata nilai 72, 5 sesungguhnya aman. Namun ada saja pihak-pihak yang ingin membuat negara ini seolah tidak aman,” cetusnya. *ind
Komentar