Ketut Dibia Estafetkan ke Cucu sebagai Penerus Berkesenian
Karier I Ketut Dibia di panggung pertunjukan Arja Keramas mencapai puncaknya era 1980-an, dengan memerankan beragam tokoh mulai dari Cupak hingga Penasar. Dia pun sempat keliling Eropa sebagai duta kesenian
Sang Maestro Arja Keramas Meninggal Setelah 1,5 Tahun Menderita Stroke
GIANYAR, NusaBali
Maestro kesenian Arja Keramas (Desa Keramas, Kecamatan Balhbatuh, Gianyar), I Ketut Dibia, 70, meninggal dunia dalam perawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar, Selasa (30/10) dinihari. Seniman asal Banjar Anggarakasih, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh ini meregang nyawa setelah selama 1,5 tahun berjuang melawan penyakit stroke. Almarhum Ketut Dibia estafetkan keseian arja kepada sang cucu untuk meneruskannya.
Sebelum menghembuskan napas terakhir dalam perawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar, Selasa dinihari sekitar pukul 03.00 Wita, almarhum Ketut Dibia sempat selama 10 hari dirawat di rumah sakit. Seniman Arja berusia 70 tahun ini sebelumnya dilarikan ke RSUD Sanjiwani, Minggu (21/10), karena kondisinya drop.
Menurut anak sulung almarhum, I Wayan Bhuana, 43, kondisi ayahnya mendadak drop ditandai dengan panas tinggi. “Berdasarkan keterangan tim dokter, almarhum disebutkan mengalami komplikasi saraf dengan paru-paru,” ujar Wayan Bhuana kepada NusaBali, Selasa siang.
Wayan Bhuana mengatakan, selama 10 haru dirawat di RSUD Sanjiwangi, ayahnya dalam kondisi koma. “Kami pihak keluarga hanya bisa pasrah dan berdoa. Almarhun tidak sempat diajak bicara. Beliau juga tidak sempat menyampaikan pesan terakhir,” papar Wayan Bhuana.
Jenazah almarhum Ketut Dibia sendiri sempat semalaman dititip di RSUD Sanjiwani Gianyar. Jenazah seniman Arja ini baru dibawa pulang ke rumah duka di Banjar Anggarkasih, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Rabu (31/10). Rencananya, jenazah almarhum akan diabenkan di Setra Desa Pakraman Medahan pada Sukra Umanis Ukir, Jumat (2/11) besok. Almarhum Ketut Dibia berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Ni Wayan Kardi, 70, serta dua anak: I Wayan Bhuana dan Ni Nyoman Padmi, selain empat cucu.
Wayan Bhuana mengisahkan, almarhum Ketut Dibia mulai menderita sakit stroke sejak 1,5 tahun lalu. Awalnya, hanya menderita stroke ringan dan sempat beberapa hari dirawat di RSUD Sanjiwani Gianyar. Namun, baru sepekan pulang dari RSUD Sanjiwani kala itu, kondisi Ketut Dibia kembali drop. Sang maestro Arja Keramas pun harus dilarikan ke RSUP Sanglah, Denpasar.
“Di RS Sanglah, bapak sempat dirawat selama 10 hari,” kenang Bhuana. Setelah dirawat di RSUP Sanglah, kondisi almarhum Ketut Dibia mulai stabil, namun hanya bisa beraktivitas di dalam rumah. “Sejak itu (masuk rumah sakit pertama, Red) bapak tidak lagi aktif menari,” jelas Bhuana. Sampai kemudian kondisi almarhum kembali drop dan dilarikan ke RSUD Sanjiwani, hingga akhirnya meninggal.
Ketut Dibia sendiri dikenal sebagai maestro kesenian Arja Keramas. Kariernya di panggung pertunjukan mencapai puncaknya era 1980-an. Peran yang dimainkannya mulai dari tokoh Cupak hingga Penasar. Saat itu, dia bersama sekaa-nya mentas di berbagai pelosok Bali, bahkan hingga beberapa daerah di Indonesia. Berkat kesenian Arja, almarhum juga dapat kesempatan keliling ke beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Italia, Swiss, Norwegia, dan Prancis.
“Di luar negeri, foto bapak bahkan dijadikan poster,” ungkap Wayan Bhuana sembari menunjukkan poster dimaksud. Semasa jayanya, almarhum Ketut Dibia bahkan kesulitan mencari waktu libur. “Setiap hari lalu ada permintaan untuk mentas, sampai-sampai cari libur susah,” katanya.
Menurut Bhuana, almarhum Ketut Dibia belajar kesenian Arja secara otodidak di Puri Anyar, Desa Keramas. “Bapak memang seniman alam. Beliau tidak pernah sekolah seni, tapi memang berbakat,” jelas Bhuana.
Selain aktif berkesenian, almarhum Ketut Dibia juga sempat dipercaya menjabat Kelian Adat Banjar Anggarkasih, Desa Medahan. Jabatan itu dipegangnya hingga dua kali periode. Bahkan, almarhum nyaris tiga kali periode menjabat, namun dia menolak pinangan krama yang terakhir. Selain itu, Ketut Dibia juga sempat menjadi Bendesa Pakraman Medahan 2003-2008.
Setelah berpulang buat selamanya, almarhum Ketut Dibia kini mengestafetkan kesenian Arja Keramas kepada cucunya, I Gede Mahardika, 17, sebagai penerus. Gede Mahardika yang merupakan anak dari Wayan Bhuana, saat ini masih duduk di bangku Kelas XII SMAN 1 Blahbatuh.
Menurut Bhuana, anaknya ini sudah disiapkan sang kakek sebagai senimap tari sejak belia. Selama ini, Gede Mahardika sudah biasa pentas menari Topeng, baik di sekolah maupun di pura-pura. “Anak saya ini dudah diajari kakeknya (almarhum Ketut Dibia) menari secara otodidak bahkan sejak masih kanak-kanak,” papar Bhuana. *nvi
GIANYAR, NusaBali
Maestro kesenian Arja Keramas (Desa Keramas, Kecamatan Balhbatuh, Gianyar), I Ketut Dibia, 70, meninggal dunia dalam perawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar, Selasa (30/10) dinihari. Seniman asal Banjar Anggarakasih, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh ini meregang nyawa setelah selama 1,5 tahun berjuang melawan penyakit stroke. Almarhum Ketut Dibia estafetkan keseian arja kepada sang cucu untuk meneruskannya.
Sebelum menghembuskan napas terakhir dalam perawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar, Selasa dinihari sekitar pukul 03.00 Wita, almarhum Ketut Dibia sempat selama 10 hari dirawat di rumah sakit. Seniman Arja berusia 70 tahun ini sebelumnya dilarikan ke RSUD Sanjiwani, Minggu (21/10), karena kondisinya drop.
Menurut anak sulung almarhum, I Wayan Bhuana, 43, kondisi ayahnya mendadak drop ditandai dengan panas tinggi. “Berdasarkan keterangan tim dokter, almarhum disebutkan mengalami komplikasi saraf dengan paru-paru,” ujar Wayan Bhuana kepada NusaBali, Selasa siang.
Wayan Bhuana mengatakan, selama 10 haru dirawat di RSUD Sanjiwangi, ayahnya dalam kondisi koma. “Kami pihak keluarga hanya bisa pasrah dan berdoa. Almarhun tidak sempat diajak bicara. Beliau juga tidak sempat menyampaikan pesan terakhir,” papar Wayan Bhuana.
Jenazah almarhum Ketut Dibia sendiri sempat semalaman dititip di RSUD Sanjiwani Gianyar. Jenazah seniman Arja ini baru dibawa pulang ke rumah duka di Banjar Anggarkasih, Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Rabu (31/10). Rencananya, jenazah almarhum akan diabenkan di Setra Desa Pakraman Medahan pada Sukra Umanis Ukir, Jumat (2/11) besok. Almarhum Ketut Dibia berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Ni Wayan Kardi, 70, serta dua anak: I Wayan Bhuana dan Ni Nyoman Padmi, selain empat cucu.
Wayan Bhuana mengisahkan, almarhum Ketut Dibia mulai menderita sakit stroke sejak 1,5 tahun lalu. Awalnya, hanya menderita stroke ringan dan sempat beberapa hari dirawat di RSUD Sanjiwani Gianyar. Namun, baru sepekan pulang dari RSUD Sanjiwani kala itu, kondisi Ketut Dibia kembali drop. Sang maestro Arja Keramas pun harus dilarikan ke RSUP Sanglah, Denpasar.
“Di RS Sanglah, bapak sempat dirawat selama 10 hari,” kenang Bhuana. Setelah dirawat di RSUP Sanglah, kondisi almarhum Ketut Dibia mulai stabil, namun hanya bisa beraktivitas di dalam rumah. “Sejak itu (masuk rumah sakit pertama, Red) bapak tidak lagi aktif menari,” jelas Bhuana. Sampai kemudian kondisi almarhum kembali drop dan dilarikan ke RSUD Sanjiwani, hingga akhirnya meninggal.
Ketut Dibia sendiri dikenal sebagai maestro kesenian Arja Keramas. Kariernya di panggung pertunjukan mencapai puncaknya era 1980-an. Peran yang dimainkannya mulai dari tokoh Cupak hingga Penasar. Saat itu, dia bersama sekaa-nya mentas di berbagai pelosok Bali, bahkan hingga beberapa daerah di Indonesia. Berkat kesenian Arja, almarhum juga dapat kesempatan keliling ke beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Italia, Swiss, Norwegia, dan Prancis.
“Di luar negeri, foto bapak bahkan dijadikan poster,” ungkap Wayan Bhuana sembari menunjukkan poster dimaksud. Semasa jayanya, almarhum Ketut Dibia bahkan kesulitan mencari waktu libur. “Setiap hari lalu ada permintaan untuk mentas, sampai-sampai cari libur susah,” katanya.
Menurut Bhuana, almarhum Ketut Dibia belajar kesenian Arja secara otodidak di Puri Anyar, Desa Keramas. “Bapak memang seniman alam. Beliau tidak pernah sekolah seni, tapi memang berbakat,” jelas Bhuana.
Selain aktif berkesenian, almarhum Ketut Dibia juga sempat dipercaya menjabat Kelian Adat Banjar Anggarkasih, Desa Medahan. Jabatan itu dipegangnya hingga dua kali periode. Bahkan, almarhum nyaris tiga kali periode menjabat, namun dia menolak pinangan krama yang terakhir. Selain itu, Ketut Dibia juga sempat menjadi Bendesa Pakraman Medahan 2003-2008.
Setelah berpulang buat selamanya, almarhum Ketut Dibia kini mengestafetkan kesenian Arja Keramas kepada cucunya, I Gede Mahardika, 17, sebagai penerus. Gede Mahardika yang merupakan anak dari Wayan Bhuana, saat ini masih duduk di bangku Kelas XII SMAN 1 Blahbatuh.
Menurut Bhuana, anaknya ini sudah disiapkan sang kakek sebagai senimap tari sejak belia. Selama ini, Gede Mahardika sudah biasa pentas menari Topeng, baik di sekolah maupun di pura-pura. “Anak saya ini dudah diajari kakeknya (almarhum Ketut Dibia) menari secara otodidak bahkan sejak masih kanak-kanak,” papar Bhuana. *nvi
Komentar