Lukisan Batuan Padukan Tradisi-Modern
Lukisan tradisional Bali gaya Batuan mengangkat tema cerita rakyat (Tantri, Rajapala, Calonarang), kisah pewayangan (Mahabharata dan Ramayana), kehidupan sehari-hari, serta seremoni adat/agama.
GIANYAR, NusaBali
Namun dalam perkembangannya, beberapa pelukis juga mengangkat tema kehidupan kontemporer dengan memasukkan tema modern. Seperti misalnya gambar pesawat terbang, mobil, figur turis, dan lain sebagainya.
Salah satu lukisan I Ketut Sadia, misalnya, mengilustrasikan ribuan kesenian cak menari dan menghibur di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Dengan tetap menggunakan teknik tradisi, pelukis Batuan tetap bisa menyerap tema-tema moderen. Ketut Sadia menegaskan, meski tema-tema yang diangkat pelukis generasi saat ini cenderung kontemporer, namun teknik melukis yang dipakai tetap teknik melukis tradisi Bali gaya Batuan. “Teknik itulah yang menjadi penanda bahwa lukisan tersebut masih bercorak Batuan,” jelas Prajuru Pura Dalem Sukaluwih, Desa Pakraman Batuan ini.
Dijelaskan pula, ada enam teknik dalam melukis gaya Batuan. Diawali dengan menyeket yaitu membuat sketsa lukisan yang akan dibuat. Kedua nyawi, yakni memperjelas sketsa. Ketiga terdapat proses nyigar, yaitu memperkuat warna hitam dan putih dalam lukisan tersebut, keempat membuat motif lukisan yang akan dikolaborasikan di dalamnya. Kelima ada yang disebut dengan ngasir, yakni menonjolkan mana yang akan diperjelas dan diredupkan dalam lukisan. Dan keenam, proses pewarnaan jika memang diperlukan. Rumitnya teknik melukis, membuat pelukis harus ekstra sabar. Bahkan, ketika mengawali belajar melukis perlu waktu satu tahun untuk fasih menggerakkan kuas lukis. “Melukis gaya Batuan perlu kesabaran, karena memang dikenal rumit. Prosesnya pun adalah sebuah upaya pencarian jati diri,” jelasnya.
Secara filosofis, lukisan gaya Batuan mengandung konsep Rwa Bhineda dan Tri Hita Karana. Filosofi Rwa Bhineda digambarkan dalam wujud alam semesta beserta isinya yersusun dari dua hal yang berbeda, namun saling melengkapi demi keseimbangan dan siklus kehidupan. Misalnya, laki-laki-perempuan, gunung-laut, langit-bumi, suka-duka, baik-buruk, terang-gelap, hitam-putih, atas-bawah, sekala-niskala, kiri-kanan, dan sebagainya. Sementara penjabaran filosofi Tri Hita Karana, dituangkan dalam konsep Parhyangan, hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan; Pawongan, hubungan harmonis antara sesama manusia; dan Palemahan, hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan.
Seiring perkembangan pariwisata, seni lukis Batuan memiliki nilai ekonomi tinggi. Cukup banyak, lukisan Batuan dikoleksi kolektor mancanegara. Sebagai wujud kepedulian pada warisan leluhur, seorang tokoh di Batuan, I Dewa Gede Sahadewa mendirikan Museum Seni Batuan. Museum ini memajang sekitar 800 lukisan gaya Batuan dari generasi awal hingga terkini. Selain itu, museum tersebut juga memajang berbagai jenis topeng dan barong yang diciptakan oleh seniman dari Batuan. Museum ini diresmikan Gubernur Bali, kala itu Made Mangku Pastika tahun 2012 yang dirangkai dengan pameran bersama lukisan gaya Batuan bertajuk Taksu Bali. *nvi
Namun dalam perkembangannya, beberapa pelukis juga mengangkat tema kehidupan kontemporer dengan memasukkan tema modern. Seperti misalnya gambar pesawat terbang, mobil, figur turis, dan lain sebagainya.
Salah satu lukisan I Ketut Sadia, misalnya, mengilustrasikan ribuan kesenian cak menari dan menghibur di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Dengan tetap menggunakan teknik tradisi, pelukis Batuan tetap bisa menyerap tema-tema moderen. Ketut Sadia menegaskan, meski tema-tema yang diangkat pelukis generasi saat ini cenderung kontemporer, namun teknik melukis yang dipakai tetap teknik melukis tradisi Bali gaya Batuan. “Teknik itulah yang menjadi penanda bahwa lukisan tersebut masih bercorak Batuan,” jelas Prajuru Pura Dalem Sukaluwih, Desa Pakraman Batuan ini.
Dijelaskan pula, ada enam teknik dalam melukis gaya Batuan. Diawali dengan menyeket yaitu membuat sketsa lukisan yang akan dibuat. Kedua nyawi, yakni memperjelas sketsa. Ketiga terdapat proses nyigar, yaitu memperkuat warna hitam dan putih dalam lukisan tersebut, keempat membuat motif lukisan yang akan dikolaborasikan di dalamnya. Kelima ada yang disebut dengan ngasir, yakni menonjolkan mana yang akan diperjelas dan diredupkan dalam lukisan. Dan keenam, proses pewarnaan jika memang diperlukan. Rumitnya teknik melukis, membuat pelukis harus ekstra sabar. Bahkan, ketika mengawali belajar melukis perlu waktu satu tahun untuk fasih menggerakkan kuas lukis. “Melukis gaya Batuan perlu kesabaran, karena memang dikenal rumit. Prosesnya pun adalah sebuah upaya pencarian jati diri,” jelasnya.
Secara filosofis, lukisan gaya Batuan mengandung konsep Rwa Bhineda dan Tri Hita Karana. Filosofi Rwa Bhineda digambarkan dalam wujud alam semesta beserta isinya yersusun dari dua hal yang berbeda, namun saling melengkapi demi keseimbangan dan siklus kehidupan. Misalnya, laki-laki-perempuan, gunung-laut, langit-bumi, suka-duka, baik-buruk, terang-gelap, hitam-putih, atas-bawah, sekala-niskala, kiri-kanan, dan sebagainya. Sementara penjabaran filosofi Tri Hita Karana, dituangkan dalam konsep Parhyangan, hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan; Pawongan, hubungan harmonis antara sesama manusia; dan Palemahan, hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan.
Seiring perkembangan pariwisata, seni lukis Batuan memiliki nilai ekonomi tinggi. Cukup banyak, lukisan Batuan dikoleksi kolektor mancanegara. Sebagai wujud kepedulian pada warisan leluhur, seorang tokoh di Batuan, I Dewa Gede Sahadewa mendirikan Museum Seni Batuan. Museum ini memajang sekitar 800 lukisan gaya Batuan dari generasi awal hingga terkini. Selain itu, museum tersebut juga memajang berbagai jenis topeng dan barong yang diciptakan oleh seniman dari Batuan. Museum ini diresmikan Gubernur Bali, kala itu Made Mangku Pastika tahun 2012 yang dirangkai dengan pameran bersama lukisan gaya Batuan bertajuk Taksu Bali. *nvi
1
Komentar