Berbahasa
MANA yang yang lebih awal ada, bahasa atau bangsa? Apakah bangsa menciptakan bahasa, atau karena bahasa orang-orang terbentuk menjadi sebuah bangsa?
Pertanyaan ini bisa segera mengingatkan kita ketika sejumlah anak muda berkongres menggelar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Mereka tidak cukup mendeklarasikan kehadiran sebuah bangsa, tetapi juga satu bahasa. Jika bangsa lahir, sebuah bahasa juga harus disiapkan, agar orang-orang yang menyatu tidak sekadar menjadi kerumunan massa, yang tidak saling memahami satu sama lain.
Bahasa berawal dari keinginan orang-orang untuk berkomunikasi. Bahasa adalah peradaban yang sangat tua, jauh sebelum dunia mengenal bangsa-bangsa. Pemisahan oleh wilayah, kesamaan asal-usul, warna kulit, keyakinan, kekuasaan, perseteruan, kejayaan, keangkuhan, menyebabkan bangsa-bangsa lahir. Manusia terpilah-pilah oleh hasrat, keinginan-keinginan yang sama itu kemudian membentuk mereka menjadi bangsa.
Peradaban mencatat, bahasa yang sama melahirkan bangsa-bangsa yang berbeda. Ada bermacam bangsa yang menggunakan satu bahasa. Geopolitik kemudian memisahkan orang-orang yang berbahasa sama itu menjadi bangsa-bangsa.
Tentu menarik, jika kemudian sekelompok pemuda berkumpul untuk memusatkan perhatian mereka membentuk bangsa, dan menjadikan bahasa sebagai sebuah alat untuk mempersatukan, menjadikannya sebagai sebuah ikatan. Geografi, wilayah, tunduk pada bahasa persatuan itu. Bahasa menjadi tanggungjawab berbangsa. Dari sini muncul jargon, bahasa menunjukkan bangsa. Jika ingin disebut bangsa Indonesia, ya berbahasa Indonesia-lah.
Bahasa lantas menjadi identitas, ciri sebuah bangsa. Tapi, banyak bangsa yang menggunakan bahasa sama, namun tidak menyebut diri mereka bangsa yang sama. Orang India menyebut diri mereka India, bukan Inggris, kendati menggunakan bahasa Inggris. Orang Indonesia menyebut diri mereka Indonesia, kendati sehari-hari sering berbahasa Inggris. Namun mereka merasa bangga dan percaya diri kalau menguasai bahasa Inggris. Penguasaan mereka terhadap bahasa Inggris lebih unggul tinimbang penguasaan terhadap bahasa Indonesia. Mereka mendalami bahasa Inggris dengan suntuk, namun mengkaji bahasa Indonesia sambil lalu.
Dalam penerapan dan penggunaan bahasa, orang Bali juga seperti itu. Banyak orang Bali lebih menguasai bahasa Inggris tinimbang bahasa Bali. Karena sehari-hari di rumah dan di sekolah menggunakan bahasa Indonesia, banyak anak-anak muda yang tidak paham banyak kosa kata bahasa Bali. Agar penutur bahasa Bali tidak menyurut terus, peraturan pun dibuat, agar semua orang Bali berbahasa Bali di hari-hari tertentu. Sesuatu yang sulit dikontrol pelaksanaannya, karena yang bertugas mengontrol pun belum tentu seharian itu terus menerus berbahasa Bali.
Orang Bali memang dianjurkan menguasai tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Bali. Tapi, banyak yang kemudian gundah, karena orang Bali lebih menguasai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tinimbang bahasa Bali. Yang bangga menguasai bahasa Bali adalah para pensiunan yang aktif dalam dinamika adat dan banjar. Berbahasa Bali kemudian lebih menekankan penggunaannya dalam etika atau tata krama. Tidak keliru jika kemudian ada pendapat yang mengungkapkan, kita menginginkan anak-anak berbahasa Bali agar mereka tampil lebih beretika. Di kantor-kantor, bahasa Bali digunakan agar lebih memberi suasana kekerabatan, padahal banyak hal-hal teknis yang tidak bisa dikuasai oleh bahasa Bali.
Bagi orang Bali, berbahasa juga berarti melaksanakan tata krama. Mereka yang tidak mengenal etika, acap disebut sebagai orang-orang yang tidak paham berbahasa. Karena itu, berbahasa itu juga berarti berperilaku. Bahasa itu juga berarti tindak-tanduk. Jika hendak memperbaiki perilaku, mulailah dengan memperbaiki tata cara berbahasa, karena berbahasa adalah sikap bertutur. Berbahasa itu bukan cuma tentang belajar aksara dan penggunaannya, tapi juga tentang bagaimana menghormati dan menghargai tata cara berperilaku.
Berbahasa tunduk pada wilayah, sehingga muncul bermacam logat. Di Bali logat orang Buleleng beda dengan Bali Selatan. Orang-orang Buleleng kalau berbahasa Bali jauh lebih bebas dan egaliter tinimbang orang Bali Selatan. Acap kali orang Buleleng kalau berbahasa terkesan sangar dan tidak mengindahkan sopan santun, tidak mengenal tinggi-rendah. Tapi, dapatkah dikatakan orang Buleleng tidak sebaik orang-orang Bali Selatan yang kalau berbahasa Bali sangat tertib dan memegang teguh asas sor-singgih? Apakah orang-orang Bali Selatan lebih berbudi pekerti lebih luhur tinimbang orang Buleleng, jika kita menakar berbahasa sebagai ukuran berperilaku?
Berbahasa itu semestinya dilakukan dengan enteng, sederhana, dan bahagia. Berbahasa itu jangan dipaksa-paksa. Banyak orang kebus-dingin (gemetar) ketika hendak tangkil matur ke griya, bertemu pendeta, karena tidak sanggup berbahasa Bali dengan baik dan benar, campur-campur berbahasa Indonesia-Bali. Orang seperti itu berbahasa, tapi tidak bahagia.
Semoga anak-anak kita, orang-orang di kantor, yang diwajibkan berbahasa Bali di hari-hari tertentu, tidak merasa terbebani dan terpaksa, tapi melakoninya dengan riang gembira dan bahagia. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar