Pengobatan Tradisional Sudah Diterapkan di UPT JKBM Sejak Tahun 2008
Pengembangan pengobatan tradisional yang direncanakan akan bersinergi dengan rumah sakit, sebagaimana dicanangkan Gubernur Wayan Koster, ternyata sudah lama diterapkan Pemprov Bali.
DENPASAR, NusaBali
Pengobatan tradisional ini di bawah Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) era pemerintahan Gubernur Made Mangku Pastika periode 2008-2013 dan 2013-2018. Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr I Ketut Suarjaya, di Denpasar, Minggu (4/11). Di menyebutkan, di erak Gubernur Pastika, disediakan pengobatan tradisional di UPT JKBM yang terletak di Jalan Tantular Niti Mandala Denpasar. Namun, pengobatan tradisional tersebut tidak pernah digaungkan.
Menurut dr Suarjaya, Gubernur Wayan Koster tidak ada menempatkan balian di rumah sakit seperti yang viral melalui media sosial. “Yang dimaksud Gubernur itu adalah pengobatan tradisional dengan bahan obat herbal. Pola pengembangan pengobatan tradisional ini sudah ada sejak lama. Dulu ini dikelola oleh UPT JKBM,” papar dr Suarjaya.
“Jadi, ini (pengobatan tradisional) bukan hal baru dalam dunia kesehatan. Karena di RS Dr Sutomo Surabaya juga sudah ada pengembangan pengobatan tradisional ini. Bahkan, di RS Sanglah, Dnpasar juga sudah diterapkan sejak tahun 2000. Cuma, media saja tidak menggaungkan dan sosialisasi dengan ekpose besar-besaran,” lanjut birokrat asal Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Buleleng ini.
Menurut dr Suarjaya, di UPT JKBM yang mengelola pengobatan tradisional, ada model pengobatan akupuntur (dengan tusuk jarum), akupresur (pengobatan pijat/urut), dan pengobatan penyakit dalam dengan obat-obatan herbal. “Kalau patah tulang dan terkilir, dengan pijat/urut di UPT JKBM, pasien hanya bayar Rp 50.000, obat herbal,” lanjut birokrat asal Kabupaten Buleleng ini.
Pengobatan tradisional di rumah sakit, kata dr Suarjaya, tidak akan menjadi saingan bagi para dokter. Sebab, pengobatan tradisional ini tetap dalam pengawasan tenaga kesehatan di rumah sakit. “Cuma, memang masyarakat diberikan pilihan, mau menggunakan yang modern atau pengobatan tradisional? Kan nanti sudah ada standarisasi, tenaganya teregister, bersertifikasi,” katanya.
Suarjaya menegaskan, pengobatan tradisional ini sudah diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pengembangan Industri Farmasi, dan Permenkes Nomor 15 Tahun 2018 tentang Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan.
Lantas, kapan pengembangan pengobatan tradisional ini akan diterapkan secara efektif? “Kita akan pelan-pelan, dengan pelaksanaan pertahap. Secara bertahap kita mungkin bisa kembangkan ini di 10 Puskesmas dulu, sambil kita berikan sosialisasi ke masyarakat bahwa yang dimaksud itu bukan pengobatan ala dukun. Nanti disiapkan pe-rangkat dan sistem,” tegas alumnus Fakultas Kedokteran Unud ini.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali sendiri, kata Suardaja, sudah menyiapkan pendukung pengembangan pengobatan tradisional ini. Di antaranya, menyiapkan pengembangan tanaman herbal (tanaman obat) di Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Jembrana. Lahan pengembangan tanaman herbal itu semuanya menggunakan aset Pemprov Bali.
Sementara itu, Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, Prof Dr drh Damriyasa MS, mengatakan konsep pengobatan tradisional yang distandarisasi ini sebenarnya sudah dikembangkan oleh Uhi dengan Fakultas Ayur Weda. Menurut Prof Damriyasa, ini bisa dikembangkan di Bali dan dijual bersama pariwisata.
“Turis datang ke Bali dengan menjalani pengobatan herbal. Orang Jerman datang untuk belajar pengobatan tradisional. Unhi adalah satu-satunya universitas yang memiliki Fakultas Kesehatan Ayur Weda, yang lebih banyak menggali dan pengembangan dengan lontar Usada Bali,” ujar Prof Damriyasa saat dalam dialog dengan media di Kantor Gubernur Bali, Jumat (2/11) lalu.
Damriyasa mengatakan, pada 30 November 2018 pihaknya akan melaunching kegiatan Griya Sehat di Unhi Denpasar. Bahkan, akan ada konferensi pakar-pakar obat tradisional. Unhi akan membangun kerjasama dengan universitas yang juga mengembangkan pengobatan tradisional. “Kalau mau tahu lebih dalam pengembangan obat tradisional di Asia, bisa datang,” ujar akademisi dari Fakultas Kedokteran Hewan Unud yang terpilih sebagai Rektor Unhi ini.
Menurut Prof Damriyasa, pengobatan modern juga berasal dari bahan obat tardisional. Karena tidak bisa mendapatkan bahannya secara berkesinambungan, maka diciptakanlah bahan sintetis yang dikenal sebagai obat kimia. Ada efek samping dalam penggunaan obat sintetis ini. “Misalnya, biji pepaya digunakan untuk obat cacing, itu dicari bahan aktifnya. Ketika tidak ada lagi bahannya, dicari duplikasi dengan bahan sintetis,” paparnya. *nat
Pengobatan tradisional ini di bawah Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) era pemerintahan Gubernur Made Mangku Pastika periode 2008-2013 dan 2013-2018. Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr I Ketut Suarjaya, di Denpasar, Minggu (4/11). Di menyebutkan, di erak Gubernur Pastika, disediakan pengobatan tradisional di UPT JKBM yang terletak di Jalan Tantular Niti Mandala Denpasar. Namun, pengobatan tradisional tersebut tidak pernah digaungkan.
Menurut dr Suarjaya, Gubernur Wayan Koster tidak ada menempatkan balian di rumah sakit seperti yang viral melalui media sosial. “Yang dimaksud Gubernur itu adalah pengobatan tradisional dengan bahan obat herbal. Pola pengembangan pengobatan tradisional ini sudah ada sejak lama. Dulu ini dikelola oleh UPT JKBM,” papar dr Suarjaya.
“Jadi, ini (pengobatan tradisional) bukan hal baru dalam dunia kesehatan. Karena di RS Dr Sutomo Surabaya juga sudah ada pengembangan pengobatan tradisional ini. Bahkan, di RS Sanglah, Dnpasar juga sudah diterapkan sejak tahun 2000. Cuma, media saja tidak menggaungkan dan sosialisasi dengan ekpose besar-besaran,” lanjut birokrat asal Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Buleleng ini.
Menurut dr Suarjaya, di UPT JKBM yang mengelola pengobatan tradisional, ada model pengobatan akupuntur (dengan tusuk jarum), akupresur (pengobatan pijat/urut), dan pengobatan penyakit dalam dengan obat-obatan herbal. “Kalau patah tulang dan terkilir, dengan pijat/urut di UPT JKBM, pasien hanya bayar Rp 50.000, obat herbal,” lanjut birokrat asal Kabupaten Buleleng ini.
Pengobatan tradisional di rumah sakit, kata dr Suarjaya, tidak akan menjadi saingan bagi para dokter. Sebab, pengobatan tradisional ini tetap dalam pengawasan tenaga kesehatan di rumah sakit. “Cuma, memang masyarakat diberikan pilihan, mau menggunakan yang modern atau pengobatan tradisional? Kan nanti sudah ada standarisasi, tenaganya teregister, bersertifikasi,” katanya.
Suarjaya menegaskan, pengobatan tradisional ini sudah diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pengembangan Industri Farmasi, dan Permenkes Nomor 15 Tahun 2018 tentang Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan.
Lantas, kapan pengembangan pengobatan tradisional ini akan diterapkan secara efektif? “Kita akan pelan-pelan, dengan pelaksanaan pertahap. Secara bertahap kita mungkin bisa kembangkan ini di 10 Puskesmas dulu, sambil kita berikan sosialisasi ke masyarakat bahwa yang dimaksud itu bukan pengobatan ala dukun. Nanti disiapkan pe-rangkat dan sistem,” tegas alumnus Fakultas Kedokteran Unud ini.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali sendiri, kata Suardaja, sudah menyiapkan pendukung pengembangan pengobatan tradisional ini. Di antaranya, menyiapkan pengembangan tanaman herbal (tanaman obat) di Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Jembrana. Lahan pengembangan tanaman herbal itu semuanya menggunakan aset Pemprov Bali.
Sementara itu, Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, Prof Dr drh Damriyasa MS, mengatakan konsep pengobatan tradisional yang distandarisasi ini sebenarnya sudah dikembangkan oleh Uhi dengan Fakultas Ayur Weda. Menurut Prof Damriyasa, ini bisa dikembangkan di Bali dan dijual bersama pariwisata.
“Turis datang ke Bali dengan menjalani pengobatan herbal. Orang Jerman datang untuk belajar pengobatan tradisional. Unhi adalah satu-satunya universitas yang memiliki Fakultas Kesehatan Ayur Weda, yang lebih banyak menggali dan pengembangan dengan lontar Usada Bali,” ujar Prof Damriyasa saat dalam dialog dengan media di Kantor Gubernur Bali, Jumat (2/11) lalu.
Damriyasa mengatakan, pada 30 November 2018 pihaknya akan melaunching kegiatan Griya Sehat di Unhi Denpasar. Bahkan, akan ada konferensi pakar-pakar obat tradisional. Unhi akan membangun kerjasama dengan universitas yang juga mengembangkan pengobatan tradisional. “Kalau mau tahu lebih dalam pengembangan obat tradisional di Asia, bisa datang,” ujar akademisi dari Fakultas Kedokteran Hewan Unud yang terpilih sebagai Rektor Unhi ini.
Menurut Prof Damriyasa, pengobatan modern juga berasal dari bahan obat tardisional. Karena tidak bisa mendapatkan bahannya secara berkesinambungan, maka diciptakanlah bahan sintetis yang dikenal sebagai obat kimia. Ada efek samping dalam penggunaan obat sintetis ini. “Misalnya, biji pepaya digunakan untuk obat cacing, itu dicari bahan aktifnya. Ketika tidak ada lagi bahannya, dicari duplikasi dengan bahan sintetis,” paparnya. *nat
Komentar