Ngurek Termasuk Tamas Samadhi
Fenomena Ngurek belakangan ini menyita perhatian masyarakat.
DENPASAR, NusaBali
Karena dalam beberapa kasus, Ngurek malah menyebabkan kecelakaan bahkan kematian karena tertusuk keris. Bagaimana fenomena Ngurek menurut pandangan sulinggih? Menurut Dharma Upapati PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, Ngurek merupakan kegiatan nebek raga atau menusuk diri sendiri. Dalam Lontar Wrhaspati Tatwa disebutkan, trance atau kerauhan merupakan bentuk Samadhi. Sebab, saat trance, orang tersebut bisa manarik dan mendatangkan roh dari berbagai tingkatan dari luar dirinya. Inilah yang masuk kemudian menyebabkan trance atau kerauhan.
“Ngurek atau nebek raga itu bentuk menyakiti diri. Kalau betul itu dalam keadaan trance, ya itu tidak apa-apa. Tapi hati-hati, banyak yang Ngurek malah kena sendiri. Karena trance sendiri itu ngulengang kayun (memusatkan hati dan pikiran, red), sama dengan samadhi,” ungkapnya, baru-baru ini.
Berdasarkan Lontar Wrhaspati Tatwa, kata sulinggih asal Griya Wanasari Sanur ini, ada tiga hal prinsip mengenai kerauhan. Pertama, adalah Tamas Samadhi, dengan ciri-ciri kuat, tahan, kebal, dan teriak-teriak menyebut nama Tuhan, dewa, sesuhunan, dan tapakan. Dalam hal ini, Ngurek masuk dalam tingkat Tamas Samadhi. “Kalau orang benar-benar menekuni spiritual yang baik, dia akan meningkat. Tidak terus di proses Tamas Samadhi. Tapi orang justru senang di proses Tamas Samadhi ini, karena menimbulkan kekuatan, bisa menyembuhkan, kebal, tahan, maka orang senangnya di situ,” ujarnya.
Lalu, mengapa Ngurek bisa sampai menyebabkan kecelakan, dalam hal ini tertusuk keris sendiri? Menurut Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, hal tersebut diduga karena emosi diri mendominasi. Yang menonjol bukanlah sisi spiritualnya, namun sisi emosional atau keakuan. Kemungkinan pelaku hanya terbawa oleh emosi, sehingga tidak mendapatkan hal yang menjadi indikator orang yang mengalami kerauhan. “Ada roh di luar diri kita, sehingga ketika trance, roh tersebut masuk. Namun, belum betul-betul masuk roh itu, sudah emosi lebih dulu. Yang menonjol pada diri tersebut yaitu emosional bukan spiritualnya,” imbuhnya.
Lanjutnya, jika kadar spiritualnya bisa meningkat, maka dari Tamas Samadhi, ia akan terus meyucikan diri dan berproses menuju Rajas Samadhi. Ciri-ciri Rajas Samadhi adalah mendapatkan benda-benda bertuah. Istilah Bali disebut dengan pica. “Pica itu cinderamata Tuhan melalui tapakan atau manifestasi Beliau. Orang bangga dapat pica, senang sekali. Ada beberapa pica. Pica yang datang dengan sendirinya secara spiritual, ada juga pica karena bawaan orang,” tuturnya.
Sementara itu, dari Rajas Samadhi, seseorang yang terus menyucikan diri dan menapaki tingkat spiritual yang lebih tinggi, maka puncaknya aka mencapai Satwam Samadhi. Orang yang mampu mencapai tingkatan ini, maka semua dilihat putih, baik, dan positif. Diakui, sangat jarang orang yang bisa sampai pada tingkatan ini, meski seorang suci sekalipun. Karena kekuatan spiritualnya, orang yang telah sampai pada level ini bahkan dikatakan dapat memprediksi suatu kejadian. Pada tingkatan ini biasanya sudah moksa. “Positif thinking, sama sekali tidak ada niat negatif. Ada 1.000 orang, tapi 1.001 orang yang mengatakan baik. Artinya, yang mengatakan baik itu melebihi dari yang ada,” katanya.
Ida berharap, seseorang yang mendalami spiritual jangan berhenti pada Tamas Samadhi. Melainkan terus menapaki proses spiritual yang lebih tinggi, mulai dari Tamas Samadhi, menuju Rajas Samadhi, dan puncaknya Satwam Samadhi. *ind
Karena dalam beberapa kasus, Ngurek malah menyebabkan kecelakaan bahkan kematian karena tertusuk keris. Bagaimana fenomena Ngurek menurut pandangan sulinggih? Menurut Dharma Upapati PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, Ngurek merupakan kegiatan nebek raga atau menusuk diri sendiri. Dalam Lontar Wrhaspati Tatwa disebutkan, trance atau kerauhan merupakan bentuk Samadhi. Sebab, saat trance, orang tersebut bisa manarik dan mendatangkan roh dari berbagai tingkatan dari luar dirinya. Inilah yang masuk kemudian menyebabkan trance atau kerauhan.
“Ngurek atau nebek raga itu bentuk menyakiti diri. Kalau betul itu dalam keadaan trance, ya itu tidak apa-apa. Tapi hati-hati, banyak yang Ngurek malah kena sendiri. Karena trance sendiri itu ngulengang kayun (memusatkan hati dan pikiran, red), sama dengan samadhi,” ungkapnya, baru-baru ini.
Berdasarkan Lontar Wrhaspati Tatwa, kata sulinggih asal Griya Wanasari Sanur ini, ada tiga hal prinsip mengenai kerauhan. Pertama, adalah Tamas Samadhi, dengan ciri-ciri kuat, tahan, kebal, dan teriak-teriak menyebut nama Tuhan, dewa, sesuhunan, dan tapakan. Dalam hal ini, Ngurek masuk dalam tingkat Tamas Samadhi. “Kalau orang benar-benar menekuni spiritual yang baik, dia akan meningkat. Tidak terus di proses Tamas Samadhi. Tapi orang justru senang di proses Tamas Samadhi ini, karena menimbulkan kekuatan, bisa menyembuhkan, kebal, tahan, maka orang senangnya di situ,” ujarnya.
Lalu, mengapa Ngurek bisa sampai menyebabkan kecelakan, dalam hal ini tertusuk keris sendiri? Menurut Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari, hal tersebut diduga karena emosi diri mendominasi. Yang menonjol bukanlah sisi spiritualnya, namun sisi emosional atau keakuan. Kemungkinan pelaku hanya terbawa oleh emosi, sehingga tidak mendapatkan hal yang menjadi indikator orang yang mengalami kerauhan. “Ada roh di luar diri kita, sehingga ketika trance, roh tersebut masuk. Namun, belum betul-betul masuk roh itu, sudah emosi lebih dulu. Yang menonjol pada diri tersebut yaitu emosional bukan spiritualnya,” imbuhnya.
Lanjutnya, jika kadar spiritualnya bisa meningkat, maka dari Tamas Samadhi, ia akan terus meyucikan diri dan berproses menuju Rajas Samadhi. Ciri-ciri Rajas Samadhi adalah mendapatkan benda-benda bertuah. Istilah Bali disebut dengan pica. “Pica itu cinderamata Tuhan melalui tapakan atau manifestasi Beliau. Orang bangga dapat pica, senang sekali. Ada beberapa pica. Pica yang datang dengan sendirinya secara spiritual, ada juga pica karena bawaan orang,” tuturnya.
Sementara itu, dari Rajas Samadhi, seseorang yang terus menyucikan diri dan menapaki tingkat spiritual yang lebih tinggi, maka puncaknya aka mencapai Satwam Samadhi. Orang yang mampu mencapai tingkatan ini, maka semua dilihat putih, baik, dan positif. Diakui, sangat jarang orang yang bisa sampai pada tingkatan ini, meski seorang suci sekalipun. Karena kekuatan spiritualnya, orang yang telah sampai pada level ini bahkan dikatakan dapat memprediksi suatu kejadian. Pada tingkatan ini biasanya sudah moksa. “Positif thinking, sama sekali tidak ada niat negatif. Ada 1.000 orang, tapi 1.001 orang yang mengatakan baik. Artinya, yang mengatakan baik itu melebihi dari yang ada,” katanya.
Ida berharap, seseorang yang mendalami spiritual jangan berhenti pada Tamas Samadhi. Melainkan terus menapaki proses spiritual yang lebih tinggi, mulai dari Tamas Samadhi, menuju Rajas Samadhi, dan puncaknya Satwam Samadhi. *ind
1
Komentar