Korban G30S Harus Direhabilitasi
Sintong Panjaitan ungkap data korban G30S tak sebesar disebut sejarawan.
JAKARTA, NusaBali
Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo harus segera mencabut segala bentuk peraturan yang menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap korban tragedi 1965.
Selain itu, ia juga meminta Pemerintah melakukan upaya rehabilitasi kepada korban dan yang terpenting rehabilitasi terhadap nama Proklamator RI Soekarno.
"Sebaiknya Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) mengenai rehabilitasi atas Presiden Soekarno dan korban G30S," ujar Asvi saat menjadi panelis pada Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4) seperti dilansir kompas.
Asvi menjelaskan, pascaterjadinya peristiwa G 30 S, tidak hanya orang-orang yang dicap sebagai simpatisan PKI saja yang mengalami tindakan diskriminasi. Presiden Soekarno pun mengalami hal yang serupa.
Menurut Asvi, Tap MPRS/XXIII/1967 dan Tap MPR No. 1 tahun 2003 memuat tuduhan bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S. Akibatnya, Soekarno tidak boleh lagi berpolitik. Bila Soekarno ingin melakukan perjalanan, misalnya dari Bogor ke Jakarta, maka ia harus minta izin ke Pangdam yang ada di Bogor dan Pangdam Jaya.
Dan yang paling menyedihkan, kata Asvi, akibat peraturan tersebut, Soekarno harus menjalani masa tahanan rumah di wisma Yaso sampai akhirnya Soekarno meninggal dunia.
"Segala stigma dan diskriminasi terkait peristiwa 1965 dalam bentuk peraturan atau apapun, harus dicabut pemerintah. Korban tragedi 1965 harus direhabilitasi, begitu juga dengan nama Soekarno," kata Asvi.
Selain itu, Asvi menambahkan, Presiden Jokowi perlu meminta maaf atas kekeliruan yang dilakukan negara pascatragedi 1965. Namun dalam pembukaan Simposium Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan menegaskan bahwa Pemerintah tidak berencana meminta maaf terkait kasus peristiwa kekerasan 1965.
"Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran Pemerintah akan minta maaf ke sana atau ke sini. Kami tahu apa yang kami lakukan yang terbaik untuk bangsa ini," ujar Luhut.
Simposium nasional tersebut diprakarsai oleh oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB), dan didukung oleh Luhut. Rencananya, Simposium Nasional dirancang sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban untuk merumuskan pokok pikiran menuju rekonsiliasi nasional.
Luhut terkejut dengan pernyataan yang disampaikan mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) Jawa Tengah, Sintong Panjaitan. Menurut Sintong jumlah korban G30S tidak sebanyak yang dipublikasikan selama ini.
Sintong kemudian bercerita seputar Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh Presiden Sukarno. Tim tersebut diminta melaporkan berapa jumlah buronan yang terkait pemberontakan G30S.
"Jadi Tim Pencari Fakta yang dipimpin Pak Dr Sumarno menyatakan 80 ribu. Habis itu Bung Karno nanya ke yang lain dan dijawab kira-kira 500 ribu lah itu. Itulah laporan awal yang menyebutkan jumlah 500 ribu," beber Sintong dilansir cnnindonesia.
Pernyataan Sintong ini bertolak belakang dengan sejarawan dan peneliti tragedi 1965 memperkirakan jumlah korban yang terbunuh sekitar 500 ribu hingga satu juta orang di berbagai wilayah Jawa dan Bali.
Di sisi lain, Komisioner Imdadun Rahmat saat Rapat Dengar Pendapat Komnas HAM dengan Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senin (18/4), mengatakan presiden merespon positif untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM baik melalui judicial ataupun tidak agar ada titik terang yang sesuai prosedur.
Langkah awal dengan menggelar simposium tentang pelanggaran berat HAM 65. Komnas HAM pun dilibatkan dalam acara tersebut. k22
Komentar