MUTIARA WEDA : Siapa Jivanmukta?
SEPERTI halnya seseorang yang teguh kepercayaannya bahwa ‘saya adalah badan, saya adalah orang, saya Brahmin, saya sudra’, dengan cara yang sama seseorang yang dengan pengetahuan langsungnya memiliki keyakinan pasti bahwa ‘saya bukan Brahmin, saya bukan sudra, saya bukan manusia’, tetapi saya tak terikat dan memiliki sifat eksistensi-kesadaran-kebahagiaan abadi, bercahaya, berada di mana-mana dan kesadaran tanpa bentuk adalah seorang jivanmuktah.
Yathā deho ‘ham puruso ‘ham brāhmano ‘ham sudro ‘hamasmiti drdhaniscayas tathā
Nāham brāhmanah na sudrah na purusah kintu asamgah saccidanandasvarupah prakāsarupah
Sarvāntaryāmi cidākāsarupo ‘smiti drdhaniscayarupo ‘paroksajnānavān jivanmuktah.
(Tattva Bodhah)
Orang yang telah mencapai pembebasan (moksa) semasih dalam badan atau semasih hidup disebut jivanmukta. Seperti apa kriteria seorang yang telah mencapai pembebasan atau jivanmukta itu? Teks di atas mendeskripsikannya secara gamblang. Selama ini kita memiliki keyakinan bahwa kita adalah badan, kita adalah seorang Brahmana, kita adalah seorang ini dan itu. Kita mengidentifikasi dengan sesuatu yang berhubungan dengan objek seperti badan, atau predikat seperti ras, kasta, golongan, dan sejenisnya. Keyakinan itu demikian kuat sehingga kita tidak memiliki celah untuk identitas yang lain.
Dengan cara yang sama seorang jivanmukta memiliki keyakinan yang kuat terhadap dirinya bahwa identitasnya berlawanan penuh dari itu. Orang biasa yakin total bahwa dirinya adalah badan, tetapi seorang jivanmukta memiliki keyakinan total bahwa dirinya bukan badan. Orang kebanyakan melihat bahwa dirinya satu identitas dengan sandangan yang disematkan kepadanya apakah dirinya seorang dokter, profesor, seorang presiden, atau Brahmana, sudra, dan sebagainya. Sementara, seorang jivanmukta identitasnya bukan sandangan itu, bukan profesor, bukan Brahmana, bukan sudra, dan yang lainnya. Cara pandang inilah yang membedakan di antara mereka.
Jika bukan badan sebagai identitas dari seorang jivanmukta, lalu siapakah dirinya itu? Terus badan yang ada itu siapa? Jika bukan kasta atau golongan atau profesi sebagai identitasnya, lalu siapakah dia yang menjadi dokter, seorang profesor, seorang presiden, dan yang lainnya? Siapakah dia itu yang diberikan atribut? Lalu apa yang menjadi identitas dirinya? Apakah identitas itu adalah bentuk sandangan lain yang sejenis dengan profesi, kasta, atau objek tertentu? Menurut teks di atas seorang jivanmukta adalah dia yang tidak terikat dengan semua sandangan itu. Dia adalah sat-cit-ananda, dia adalah cahaya, dia adalah yang berada di mana-mana, dia yang kesadarannya tanpa bentuk.
Jika seorang jivanmukta memiliki sebutan seperti itu, seperti sat-cit-ananda, yang merupakan cahaya dan yang lainnya, lalu apakah tidak berbeda kalau diberi sandangan seperti profesor dan yang sejenisnya? Bukankah itu juga sandangan? Bukankah yang berbeda hanya jenis sandangannya saja? Artinya, orang awam memiliki identitas dan seorang jivanmukta juga memiliki jenis identitas yang berbeda. Jika demikian, apa signifikasinya seorang jivanmukta? Bukankah mereka sama saja, yakni sama-sama memiliki sifat atau identitas yang harus disematkan walaupun berbeda? Orang awam mengidentifikasi dirinya sebagai tubuh dan sejenisnya, sementara seorang jivanmukta mengidentifikasi dirinya sebagai sinar dan sejenisnya. Apa bedanya?
Teks di atas sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang disematkan bagi seorang jivanmukta adalah bukanlah sandangan sama sekali. Hal ini diindikasikan dengan mengatakan kebalikannya, yakni bukan badan, bukan Brahmana, bukan sudra, dan yang lainnya. Ini menandakan bahwa ketika seorang jivanmukta adalah dia yang telah bebas dari semua sandangan tersebut, dia yang sudah tidak terikat dengan semua itu. Pertanyaannya, jika telah tidak terikat lalu apa? Nah, menjawab apanya inilah yang kadang membuat kita terjebak pada sebuah dilema. Mengapa dilema? Karena jawabannya harus menyebut sesuatu. Dan sesuatu yang disebut mesti harus sebuah sandangan. Kelemahan dari bahasa adalah demikian. Dalam rangka mempertegas bahwa jivanmukta adalah bukan dari semua jenis yang disebutkan, bahasa yang mempertegas tersebut justru menjadi ambigu. Jika kita tidak mengerti alur berpikirnya, kita bisa terjebak di dalamnya. Oleh karena itu, penting sekali belajar setapak demi setapak dan terus-menerus melakukan investigasi terhadap keyakinan yang kita sematkan pada pengetahuan yang kita miliki agar tetap dalam pondasi kebenaran. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Nāham brāhmanah na sudrah na purusah kintu asamgah saccidanandasvarupah prakāsarupah
Sarvāntaryāmi cidākāsarupo ‘smiti drdhaniscayarupo ‘paroksajnānavān jivanmuktah.
(Tattva Bodhah)
Orang yang telah mencapai pembebasan (moksa) semasih dalam badan atau semasih hidup disebut jivanmukta. Seperti apa kriteria seorang yang telah mencapai pembebasan atau jivanmukta itu? Teks di atas mendeskripsikannya secara gamblang. Selama ini kita memiliki keyakinan bahwa kita adalah badan, kita adalah seorang Brahmana, kita adalah seorang ini dan itu. Kita mengidentifikasi dengan sesuatu yang berhubungan dengan objek seperti badan, atau predikat seperti ras, kasta, golongan, dan sejenisnya. Keyakinan itu demikian kuat sehingga kita tidak memiliki celah untuk identitas yang lain.
Dengan cara yang sama seorang jivanmukta memiliki keyakinan yang kuat terhadap dirinya bahwa identitasnya berlawanan penuh dari itu. Orang biasa yakin total bahwa dirinya adalah badan, tetapi seorang jivanmukta memiliki keyakinan total bahwa dirinya bukan badan. Orang kebanyakan melihat bahwa dirinya satu identitas dengan sandangan yang disematkan kepadanya apakah dirinya seorang dokter, profesor, seorang presiden, atau Brahmana, sudra, dan sebagainya. Sementara, seorang jivanmukta identitasnya bukan sandangan itu, bukan profesor, bukan Brahmana, bukan sudra, dan yang lainnya. Cara pandang inilah yang membedakan di antara mereka.
Jika bukan badan sebagai identitas dari seorang jivanmukta, lalu siapakah dirinya itu? Terus badan yang ada itu siapa? Jika bukan kasta atau golongan atau profesi sebagai identitasnya, lalu siapakah dia yang menjadi dokter, seorang profesor, seorang presiden, dan yang lainnya? Siapakah dia itu yang diberikan atribut? Lalu apa yang menjadi identitas dirinya? Apakah identitas itu adalah bentuk sandangan lain yang sejenis dengan profesi, kasta, atau objek tertentu? Menurut teks di atas seorang jivanmukta adalah dia yang tidak terikat dengan semua sandangan itu. Dia adalah sat-cit-ananda, dia adalah cahaya, dia adalah yang berada di mana-mana, dia yang kesadarannya tanpa bentuk.
Jika seorang jivanmukta memiliki sebutan seperti itu, seperti sat-cit-ananda, yang merupakan cahaya dan yang lainnya, lalu apakah tidak berbeda kalau diberi sandangan seperti profesor dan yang sejenisnya? Bukankah itu juga sandangan? Bukankah yang berbeda hanya jenis sandangannya saja? Artinya, orang awam memiliki identitas dan seorang jivanmukta juga memiliki jenis identitas yang berbeda. Jika demikian, apa signifikasinya seorang jivanmukta? Bukankah mereka sama saja, yakni sama-sama memiliki sifat atau identitas yang harus disematkan walaupun berbeda? Orang awam mengidentifikasi dirinya sebagai tubuh dan sejenisnya, sementara seorang jivanmukta mengidentifikasi dirinya sebagai sinar dan sejenisnya. Apa bedanya?
Teks di atas sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang disematkan bagi seorang jivanmukta adalah bukanlah sandangan sama sekali. Hal ini diindikasikan dengan mengatakan kebalikannya, yakni bukan badan, bukan Brahmana, bukan sudra, dan yang lainnya. Ini menandakan bahwa ketika seorang jivanmukta adalah dia yang telah bebas dari semua sandangan tersebut, dia yang sudah tidak terikat dengan semua itu. Pertanyaannya, jika telah tidak terikat lalu apa? Nah, menjawab apanya inilah yang kadang membuat kita terjebak pada sebuah dilema. Mengapa dilema? Karena jawabannya harus menyebut sesuatu. Dan sesuatu yang disebut mesti harus sebuah sandangan. Kelemahan dari bahasa adalah demikian. Dalam rangka mempertegas bahwa jivanmukta adalah bukan dari semua jenis yang disebutkan, bahasa yang mempertegas tersebut justru menjadi ambigu. Jika kita tidak mengerti alur berpikirnya, kita bisa terjebak di dalamnya. Oleh karena itu, penting sekali belajar setapak demi setapak dan terus-menerus melakukan investigasi terhadap keyakinan yang kita sematkan pada pengetahuan yang kita miliki agar tetap dalam pondasi kebenaran. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar