Fraksi Demokrat Sejahtera Tuding Banyak Proyek Dipaksakan PL
Rapat paripurna II dengan agenda pandangan umum fraksi DPRD Jembrana, terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) APBD 2019, digelar di Ruang Sidang Utama DPRD Jembrana, Rabu (7/11).
NEGARA, NusaBali
Di rapat tersebut, muncul berbagai sorotan terhadap eksekutif. Salah satunya dari Fraksi Demokrat Sejahtera (gabungan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera), yang menuding banyak proyek dipaksakan menjadi penunjukan langsung (PL), dan tidak memberikan manfaat secara maksimal.
Dalam pandangan umum Fraksi Demokrat Sejahtera yang dibacakan oleh I Putu Kamawijaya, disampaikan dalam penggunaan belanja modal infrastruktur pedesaan selama sekitar 5 tahun terakhir, banyak proyek yang dipaksakan untuk dijadikan PL. Dia menyarankan dalam RAPBD 2019 nanti, tidak ada lagi hal semacam itu, karena berdasar pemantauan di lapangan sebagian besar PL kualitasnya di bawah 50 persen atau jauh dari standar. “Seperti pembangunan taman yang dipaksakan atau semacam tempat anjing Bulldog, sepatu roda, dan yang lainnya. Sedangkan komunitasnya tidak jelas, sehingga dari awal pembangunan tersebut, sama sekali tidak dipakai,” tegasnya.
Pada poin kedua, Kamawijaya mengatakan juga masih ada beberapa program yang dipaksakan, sehingga setiap tahun anggaran mengalami defisit. Dia meminta pemda lebih cermat menyusun anggaran.
“Jangan paksakan lagi pembangunan yang belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Jembrana. Yang sudah dibangun seperti Rest Area Pengeragoan dan Anjungan Cerdas Rambut Siwi. Walaupun anggaran didapat dari pusat, tetap memerlukan dana pendampingan dari APBD. Begitu pula pembangunan kebun raya di areal Pura Jagatnatha, di mana pembagunannya mengubah tembok dan gapura yang berkesan sengaja menenggelamkan pembangunan sebelumnya,” ujarnya.
Kamawijaya juga menyorot dana bantuan keuangan khusus (BKK) dari pajak hotel dan restoran (PHR) Kabupaten Badung, yang kurang sesuai dengan peruntukan. Menurutnya, dana PHR mestinya untuk meningkatkan destinasi pariwisata, bukan dibagi rata yang berupa hibah/bansos ke merajan/dadia yang buntutnya juga bikin runyam di masyarakat. Sedangkan hal-hal lainnya, masalah sampah di Sungai Ijo Gading, termasuk meminta eksekutif menyiapkan anggaran untuk Universal Healt Coverage (UHC).
Sedangkan Fraksi PDIP dalam pandangan umum yang dibacakan Ni Made Artini, memberikan sanjungan terhadap sejumlah keberhasilan eksekutif. Seperti penghargaan dari KemenPAN-RB atas penyusunan SAKIP tahun 2017, pencapaian opini WTP dari BPK yang dipertahankan secara berturut-turut hingga sekarang, pengakuan dan penghargaan dari Presiden Joko Widodo sebagai pengelola dana desa terbaik kedua se-Indonesia untuk infrastruktur desa dan pasar desa, dan penghargaan-penghargaan lainnya.
Namun Fraksi PDIP menilai masih ada realisasi anggaran yang kurang maksimal. Disebutkannya, masih banyak kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi karena keterbatasan anggaran dan regulasi yang membatasinya. Selain itu, pihaknya juga menyoroti dukungan anggaran atas perda yang seringkali dilalaikan eksekutif.
“Beberapa perda yang kita tetapkan sering kali menjadi sebuah dokumen tanpa ada dukungan anggaran yang menyertainya dalam penerapannya di lapangan, sehingga sering kali kita mendengar perda hanya merupakan ‘macan ompong’. Berkenaan dengan hal tersebut, kiranya kita perlu menginventarisir perda yang sudah kita tetapkan selama ini, dan dukungan anggaran yang menyertainya pada RAPBD Tahun Anggaran 2019,” ujarnya.
Pandangan umum Fraksi Gerindra yang dibacakan I Ketut Sadwi Darmawan, selain mempertanyakan realisasi penyusunan naskah akademik kedua Ranperda yang sempat tertunda itu, juga mempertanyakan ketersedian penganggaran terkait pencapaian target PAD dalam RAPBD 2019. Di samping itu, juga diminta penjelasan soal perubahan status unit layanan pengadaan (ULP) barang dan jasa, terkait terlambatnya realisasi pengadaan barang dan jasa akibat kelembagaan ULP saat ini. *ode
Di rapat tersebut, muncul berbagai sorotan terhadap eksekutif. Salah satunya dari Fraksi Demokrat Sejahtera (gabungan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera), yang menuding banyak proyek dipaksakan menjadi penunjukan langsung (PL), dan tidak memberikan manfaat secara maksimal.
Dalam pandangan umum Fraksi Demokrat Sejahtera yang dibacakan oleh I Putu Kamawijaya, disampaikan dalam penggunaan belanja modal infrastruktur pedesaan selama sekitar 5 tahun terakhir, banyak proyek yang dipaksakan untuk dijadikan PL. Dia menyarankan dalam RAPBD 2019 nanti, tidak ada lagi hal semacam itu, karena berdasar pemantauan di lapangan sebagian besar PL kualitasnya di bawah 50 persen atau jauh dari standar. “Seperti pembangunan taman yang dipaksakan atau semacam tempat anjing Bulldog, sepatu roda, dan yang lainnya. Sedangkan komunitasnya tidak jelas, sehingga dari awal pembangunan tersebut, sama sekali tidak dipakai,” tegasnya.
Pada poin kedua, Kamawijaya mengatakan juga masih ada beberapa program yang dipaksakan, sehingga setiap tahun anggaran mengalami defisit. Dia meminta pemda lebih cermat menyusun anggaran.
“Jangan paksakan lagi pembangunan yang belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Jembrana. Yang sudah dibangun seperti Rest Area Pengeragoan dan Anjungan Cerdas Rambut Siwi. Walaupun anggaran didapat dari pusat, tetap memerlukan dana pendampingan dari APBD. Begitu pula pembangunan kebun raya di areal Pura Jagatnatha, di mana pembagunannya mengubah tembok dan gapura yang berkesan sengaja menenggelamkan pembangunan sebelumnya,” ujarnya.
Kamawijaya juga menyorot dana bantuan keuangan khusus (BKK) dari pajak hotel dan restoran (PHR) Kabupaten Badung, yang kurang sesuai dengan peruntukan. Menurutnya, dana PHR mestinya untuk meningkatkan destinasi pariwisata, bukan dibagi rata yang berupa hibah/bansos ke merajan/dadia yang buntutnya juga bikin runyam di masyarakat. Sedangkan hal-hal lainnya, masalah sampah di Sungai Ijo Gading, termasuk meminta eksekutif menyiapkan anggaran untuk Universal Healt Coverage (UHC).
Sedangkan Fraksi PDIP dalam pandangan umum yang dibacakan Ni Made Artini, memberikan sanjungan terhadap sejumlah keberhasilan eksekutif. Seperti penghargaan dari KemenPAN-RB atas penyusunan SAKIP tahun 2017, pencapaian opini WTP dari BPK yang dipertahankan secara berturut-turut hingga sekarang, pengakuan dan penghargaan dari Presiden Joko Widodo sebagai pengelola dana desa terbaik kedua se-Indonesia untuk infrastruktur desa dan pasar desa, dan penghargaan-penghargaan lainnya.
Namun Fraksi PDIP menilai masih ada realisasi anggaran yang kurang maksimal. Disebutkannya, masih banyak kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi karena keterbatasan anggaran dan regulasi yang membatasinya. Selain itu, pihaknya juga menyoroti dukungan anggaran atas perda yang seringkali dilalaikan eksekutif.
“Beberapa perda yang kita tetapkan sering kali menjadi sebuah dokumen tanpa ada dukungan anggaran yang menyertainya dalam penerapannya di lapangan, sehingga sering kali kita mendengar perda hanya merupakan ‘macan ompong’. Berkenaan dengan hal tersebut, kiranya kita perlu menginventarisir perda yang sudah kita tetapkan selama ini, dan dukungan anggaran yang menyertainya pada RAPBD Tahun Anggaran 2019,” ujarnya.
Pandangan umum Fraksi Gerindra yang dibacakan I Ketut Sadwi Darmawan, selain mempertanyakan realisasi penyusunan naskah akademik kedua Ranperda yang sempat tertunda itu, juga mempertanyakan ketersedian penganggaran terkait pencapaian target PAD dalam RAPBD 2019. Di samping itu, juga diminta penjelasan soal perubahan status unit layanan pengadaan (ULP) barang dan jasa, terkait terlambatnya realisasi pengadaan barang dan jasa akibat kelembagaan ULP saat ini. *ode
Komentar