Bendesa Adat Hidupkan Pasubayan
Gubernur Koster akan buat aturan lewat Pergub atau Perda, supaya pungutan retrebusi oleh desa adat tidak benturan dengan hukum positif
Terkait Maraknya Pecalang Terjaring OTT Satgas Saber Pungli
DENPASAR, NusaBali
Maraknya fenomena pecalang (pengaman wilayah desa adat) terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), membuat gerah kalangan tokoh dan kelian desa pakraman. Mereka pun berencana hidupkan Pasubayan Bendesa Adat untuk mencegah terulangnya kasus pecalang ditangap Tim Saber Pungli.
Sejumlah tokoh adat yang menggagas dihidupkannya Pasubayan Bendesa Adat ini, antara lain, Bendesa Pakraman Buduk (Kecamatan Kuta Utara, Badung) Ida Bagus Ketut Purbanegara, Bendesa Pakraman Pedungan (Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar) I Gusti Putu Budiartha, dan Bendesa Pakraman Legian (Kecamatan Kuta, Badung) I Gusti Ngurah Sudarsa. Mereka kompak mendesak Gubernur Bali dan DPRD Bali mengajak para bendesa pakraman se-Bali untuk duduk bersama dengan Satgas Saber Pungli.
Bendesa Pakraman Buduk, IB Purbanegara, mengatakan desa adat adalah garda terdepan sebagai benteng Pulau Bali, adat dan budaya, serta agama Hindu. Tapi, jangan babat pukul rata dan main tangkap. Apalagi, yang ditangkap belum jelas itu pecalang atau tidak. “Jangan disalahartikan. Kami sangat setuju pemberantasan korupsi. Tapi, tolong penegak hukum kepolisiam dan kejaksaan samakan persepsi dulu. Pahami desa adat dan pecalang itu,” ujar Purbanegaea kepada NusaBali di Kantor Sekretariat DPD PDIP Bali, Jalan Banteng Baru Niti Mandala Denpasar, Sabtu (10/11) lalu.
Purbanegara menegaskan, selama ini di desa adat banyak kegiatan yang harus dilakukan untuk menjaga adat dan budaya. Salah satunya, pungutan terhadap krama tamiu (pendatang) dan pungutan lainnya dalam bentuk retrebusi. Ini kemudian dikaitkan dengan pungli.
“Mari kita definisikan dengan jelas bahwa terkait pungutan ini, ada krama wed (warga asli) dan krama tamiu (pendatang). Siapa pun di wewidangan (wilayah) desa adat wajib memperhatikan ini. Ketika berbicara apa kontribusi krama tamiu dan krama wed, itu jelas,” beber Purbanegara yang juga calon anggota DPD RI Dapil Bali ke Pileg 2019.
Menurut Purbanegara, desa adat jangan digiring harus mengikuti aturan kependudukan nasional. Sebab, desa adat punya awig-awig. Keberadaan desa adat juga diakui UUD 1945. Dia menyatakan, desa adat bukannya tanpa dasar dalam melakukan pungutan kependudukan, parkir, dan tempat rekreasi. Desa adat perlu pendapatan untuk membiayai kegiatan ritual ngaci, piodalan, dan menjaga pamarisuhda jagat.
“Contoh, di Desa Adat Buduk tiba-tiba ada krama tamiu meninggal. Kami tidak bisa diamkan, kami harus menggelar upacara pamarisudha gumi (menyucikan alam). Terus, kalau pungutan itu dikenakan kepada krama tamiu, apakah masuk pungli? Kami tidak memungut, kami melaksanakan upacara. Terus dari mana sumber dananya?” tanya Purbanegara.
Purbanegara mengingatkan stakeholder dan penegak hukum supaya memahami posisi desa adat di Bali. “Pahami posisi adat itu. Menurut saya, kurang bijak kalau (pecalang) langsung ditangkap. Persuasif sedikit dong. Bagaimana kalau Polda, kejaksanaan, Gubernur, dan Bupati undang desa adat?” katanya.
“Tim Saber Pungli harus pahami posisi desa adat seperti apa? Kalau kami tidak ada pendapatan, bisakah kami menjaga adat dan budaya Bali? Jangan terkesan desa adat preman, main palak. Hargai dong desa adat di Bali,” lanjut Purbanegara.
Selama ini, kata Purbanegara, desa adat adalah pelaksana sistem kenegaraan di Bali. Bahkan, 80 persen program pemerintah diterapkan di banjar adat. “Banjar adat di bawah desa adat yang kerahkan warga kalau mau ada kegiatan pemerintah. Jangan mengdiskriminasi desa adat. Jangan-jangan ketidakpahaman ini menimbulkan ledakan.”
Sementara itu, Bendesa Pakraman Pedungan, I Gusti Putu Budiartha alias Gung De, mendukung pernyataan Purbanegara. Politisi PDIP yang notabene anggota Komisi IV DPRD Bali (membidangi adat dan budaya) tiga kali periode ini menegaskan, hukum adat dan hukum positif adalah norma yang terpisahkan dan berlaku terpisah. Desa pakraman punya awig-awig yang wajib ditaat seluruh krama yang ada di wewidangannya.
“Desa adat itu diakui dalam UUD 1945. Jangan diskriminasi terhadap desa adat. Pecalang yang ditangkap karena dugaan pungli, saya dengar itu sebetulnya bukan pacalang. Mereka hanya berpakaian adat ala pecalang. Tapi, mereka dirilis di media massa sebagai pecalang. Kami akan ajak para bendesa adat menghidupan lagi Pasubayan Bendesa Adat, untuk bersikap dan duduk bersama dengan aparat penegak hukum,” ujar IGP Budiartha yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Bali.
Sedangkan Bendesa Pakraman Legian, I Gusti Ngurah Sudarsa, juga meminta jajaran Saber Pungli supaya memahami keberadaan desa adat sebagai penjaga eksistensi adat dan budaya di Bali, yang selama ini bersinergi dengan pariwisata dan menghidupi krama Bali. “Saya tanya kalau eksistensi desa adat itu siapa yang tanggung jawab? Apakah kami bukan dari NKRI? Apakah pernah kami minta pisah?” ujar IGN Sudarsa kepada NusaBali, Minggu kemarin.
“Ini lembaga adat, di mana kami sangat menjaga harmonisasi di Bali. Kami tidak pernah tolak pendatang. Bahkan, pecalang menjaga umat Muslim ke masjid, menjaga umat Kristen di gereja. Jadi, pecalang milik desa adat itu tolong dihargai,” ujar tokoh adat yang juga anggota Fraksi PDIP DPRD Badung ini.
Kalau pecalang ditangkap tanpa ada pembinaan dan sosialiasi soal pungli, menurut Sudarsa, buat apa mereka diajak gelar pasukan setiap 17 Agustusan, diajak bersinergi amankan kegiatan internasional di Bali, diajak kegiatan Natal dan Tahun Baru? “Tolong bedakan pungli sama retrebusi. Selama ini banyak pecalang yang ditangkap, padahal sudah jelas mereka melaksanakan tugas berdasarkan awig-awig. Desa adat itu perlu pendapatan untuk mendanai kegiatan adat. Walaupun ada bantuan desa adat dari pemerintah, tapi iu jumlahnya tidak seberapa,” tegas Sudarsa.
Sudarsa menegaskan, desa adat dan pacalang menerapkan sistem pemerintahan dan pengamanan dengan konsep Tri Hita Karana: hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. “Kita menjaga alam desa adat dan melestarikan parahyangan tempat ibadah, agar desa adat ini eksis. Kami akan hidupkan Pasubayan Bendesa Adat untuk sikapi fenomena pecalang kena OTT Saber Pungli yang terus-terusan terjadi,” katanya.
Di sisi lain, Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan perlu ada sinkronisasi antara awig-awig dengan hukum positif dalam pengaturan kewenangan memungut retrebusi di wilayah Desa Adat. Menurut Gubernur Koster, pungli yang jadi fenomena hingga ditangkap Tim Saber Pungli bukanlah pungli yang selama ini dikenal, bukan soal penyalahgunaan wewenang.
“Yang dilakukan desa adat itu bukan pungli dalam artian uang disalah-gunakan. Saya yakin di desa adat itu ada bentuk-bentuk sumbangan, kontribusi. Desa adat pastilah melakukan itu atas dasar adanya forum dan awig-awig. Itu saya rasa bukan pungli. Cuma, memang tidak masuk dalam aturan atau hukum positif. Tapi, uang itu digunakan untuk kepentingan kegiatan di desa adat dengan pertanggungjawaban yang jelas,” ujar Koster saat ditemui terpisah di Kantor Sekretariat DPD PDIP Bali, Sabtu lalu.
Koster melihat di sini ada posisi kelemahan desa adat ketika dihadapankan dengan hukum positif yang berlaku di NKRI. Pihaknya akan membuatkan aturan lewat Pergub atau Perda, dengan revisi Perda Desa Adat, supaya pungutan retrebusi tidak bertentangan dengan hukum positif. “Nanti ada kewenangan desa adat melaksanakan tugas, menggali pendapatan, dengan menggunakan perarem dan awig yang dipayungi Perda. Sekarang kan belum ada sinergi antara awig dan hukum positif. Sabar dulu, saya akan rancang ini,” ujar Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Koster sendiri tidak melihat ada melemahkan desa adat dengan adanya Saber Pungli. Menurut Koster, awig-awig dan perarem harus dipayungi hukum positif supaya bisa tetap diterapkan. “Bisa sinkron dalam pelaksanaanya. Awig-Awig itu nanti diatur dengan Perda atau Pergub. Payungnya harus ada suoaya tidak melanggar hukum positif. Payungnya bisa Perda, bisa Pergub,” katanya. *nat
DENPASAR, NusaBali
Maraknya fenomena pecalang (pengaman wilayah desa adat) terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), membuat gerah kalangan tokoh dan kelian desa pakraman. Mereka pun berencana hidupkan Pasubayan Bendesa Adat untuk mencegah terulangnya kasus pecalang ditangap Tim Saber Pungli.
Sejumlah tokoh adat yang menggagas dihidupkannya Pasubayan Bendesa Adat ini, antara lain, Bendesa Pakraman Buduk (Kecamatan Kuta Utara, Badung) Ida Bagus Ketut Purbanegara, Bendesa Pakraman Pedungan (Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar) I Gusti Putu Budiartha, dan Bendesa Pakraman Legian (Kecamatan Kuta, Badung) I Gusti Ngurah Sudarsa. Mereka kompak mendesak Gubernur Bali dan DPRD Bali mengajak para bendesa pakraman se-Bali untuk duduk bersama dengan Satgas Saber Pungli.
Bendesa Pakraman Buduk, IB Purbanegara, mengatakan desa adat adalah garda terdepan sebagai benteng Pulau Bali, adat dan budaya, serta agama Hindu. Tapi, jangan babat pukul rata dan main tangkap. Apalagi, yang ditangkap belum jelas itu pecalang atau tidak. “Jangan disalahartikan. Kami sangat setuju pemberantasan korupsi. Tapi, tolong penegak hukum kepolisiam dan kejaksaan samakan persepsi dulu. Pahami desa adat dan pecalang itu,” ujar Purbanegaea kepada NusaBali di Kantor Sekretariat DPD PDIP Bali, Jalan Banteng Baru Niti Mandala Denpasar, Sabtu (10/11) lalu.
Purbanegara menegaskan, selama ini di desa adat banyak kegiatan yang harus dilakukan untuk menjaga adat dan budaya. Salah satunya, pungutan terhadap krama tamiu (pendatang) dan pungutan lainnya dalam bentuk retrebusi. Ini kemudian dikaitkan dengan pungli.
“Mari kita definisikan dengan jelas bahwa terkait pungutan ini, ada krama wed (warga asli) dan krama tamiu (pendatang). Siapa pun di wewidangan (wilayah) desa adat wajib memperhatikan ini. Ketika berbicara apa kontribusi krama tamiu dan krama wed, itu jelas,” beber Purbanegara yang juga calon anggota DPD RI Dapil Bali ke Pileg 2019.
Menurut Purbanegara, desa adat jangan digiring harus mengikuti aturan kependudukan nasional. Sebab, desa adat punya awig-awig. Keberadaan desa adat juga diakui UUD 1945. Dia menyatakan, desa adat bukannya tanpa dasar dalam melakukan pungutan kependudukan, parkir, dan tempat rekreasi. Desa adat perlu pendapatan untuk membiayai kegiatan ritual ngaci, piodalan, dan menjaga pamarisuhda jagat.
“Contoh, di Desa Adat Buduk tiba-tiba ada krama tamiu meninggal. Kami tidak bisa diamkan, kami harus menggelar upacara pamarisudha gumi (menyucikan alam). Terus, kalau pungutan itu dikenakan kepada krama tamiu, apakah masuk pungli? Kami tidak memungut, kami melaksanakan upacara. Terus dari mana sumber dananya?” tanya Purbanegara.
Purbanegara mengingatkan stakeholder dan penegak hukum supaya memahami posisi desa adat di Bali. “Pahami posisi adat itu. Menurut saya, kurang bijak kalau (pecalang) langsung ditangkap. Persuasif sedikit dong. Bagaimana kalau Polda, kejaksanaan, Gubernur, dan Bupati undang desa adat?” katanya.
“Tim Saber Pungli harus pahami posisi desa adat seperti apa? Kalau kami tidak ada pendapatan, bisakah kami menjaga adat dan budaya Bali? Jangan terkesan desa adat preman, main palak. Hargai dong desa adat di Bali,” lanjut Purbanegara.
Selama ini, kata Purbanegara, desa adat adalah pelaksana sistem kenegaraan di Bali. Bahkan, 80 persen program pemerintah diterapkan di banjar adat. “Banjar adat di bawah desa adat yang kerahkan warga kalau mau ada kegiatan pemerintah. Jangan mengdiskriminasi desa adat. Jangan-jangan ketidakpahaman ini menimbulkan ledakan.”
Sementara itu, Bendesa Pakraman Pedungan, I Gusti Putu Budiartha alias Gung De, mendukung pernyataan Purbanegara. Politisi PDIP yang notabene anggota Komisi IV DPRD Bali (membidangi adat dan budaya) tiga kali periode ini menegaskan, hukum adat dan hukum positif adalah norma yang terpisahkan dan berlaku terpisah. Desa pakraman punya awig-awig yang wajib ditaat seluruh krama yang ada di wewidangannya.
“Desa adat itu diakui dalam UUD 1945. Jangan diskriminasi terhadap desa adat. Pecalang yang ditangkap karena dugaan pungli, saya dengar itu sebetulnya bukan pacalang. Mereka hanya berpakaian adat ala pecalang. Tapi, mereka dirilis di media massa sebagai pecalang. Kami akan ajak para bendesa adat menghidupan lagi Pasubayan Bendesa Adat, untuk bersikap dan duduk bersama dengan aparat penegak hukum,” ujar IGP Budiartha yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Bali.
Sedangkan Bendesa Pakraman Legian, I Gusti Ngurah Sudarsa, juga meminta jajaran Saber Pungli supaya memahami keberadaan desa adat sebagai penjaga eksistensi adat dan budaya di Bali, yang selama ini bersinergi dengan pariwisata dan menghidupi krama Bali. “Saya tanya kalau eksistensi desa adat itu siapa yang tanggung jawab? Apakah kami bukan dari NKRI? Apakah pernah kami minta pisah?” ujar IGN Sudarsa kepada NusaBali, Minggu kemarin.
“Ini lembaga adat, di mana kami sangat menjaga harmonisasi di Bali. Kami tidak pernah tolak pendatang. Bahkan, pecalang menjaga umat Muslim ke masjid, menjaga umat Kristen di gereja. Jadi, pecalang milik desa adat itu tolong dihargai,” ujar tokoh adat yang juga anggota Fraksi PDIP DPRD Badung ini.
Kalau pecalang ditangkap tanpa ada pembinaan dan sosialiasi soal pungli, menurut Sudarsa, buat apa mereka diajak gelar pasukan setiap 17 Agustusan, diajak bersinergi amankan kegiatan internasional di Bali, diajak kegiatan Natal dan Tahun Baru? “Tolong bedakan pungli sama retrebusi. Selama ini banyak pecalang yang ditangkap, padahal sudah jelas mereka melaksanakan tugas berdasarkan awig-awig. Desa adat itu perlu pendapatan untuk mendanai kegiatan adat. Walaupun ada bantuan desa adat dari pemerintah, tapi iu jumlahnya tidak seberapa,” tegas Sudarsa.
Sudarsa menegaskan, desa adat dan pacalang menerapkan sistem pemerintahan dan pengamanan dengan konsep Tri Hita Karana: hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. “Kita menjaga alam desa adat dan melestarikan parahyangan tempat ibadah, agar desa adat ini eksis. Kami akan hidupkan Pasubayan Bendesa Adat untuk sikapi fenomena pecalang kena OTT Saber Pungli yang terus-terusan terjadi,” katanya.
Di sisi lain, Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan perlu ada sinkronisasi antara awig-awig dengan hukum positif dalam pengaturan kewenangan memungut retrebusi di wilayah Desa Adat. Menurut Gubernur Koster, pungli yang jadi fenomena hingga ditangkap Tim Saber Pungli bukanlah pungli yang selama ini dikenal, bukan soal penyalahgunaan wewenang.
“Yang dilakukan desa adat itu bukan pungli dalam artian uang disalah-gunakan. Saya yakin di desa adat itu ada bentuk-bentuk sumbangan, kontribusi. Desa adat pastilah melakukan itu atas dasar adanya forum dan awig-awig. Itu saya rasa bukan pungli. Cuma, memang tidak masuk dalam aturan atau hukum positif. Tapi, uang itu digunakan untuk kepentingan kegiatan di desa adat dengan pertanggungjawaban yang jelas,” ujar Koster saat ditemui terpisah di Kantor Sekretariat DPD PDIP Bali, Sabtu lalu.
Koster melihat di sini ada posisi kelemahan desa adat ketika dihadapankan dengan hukum positif yang berlaku di NKRI. Pihaknya akan membuatkan aturan lewat Pergub atau Perda, dengan revisi Perda Desa Adat, supaya pungutan retrebusi tidak bertentangan dengan hukum positif. “Nanti ada kewenangan desa adat melaksanakan tugas, menggali pendapatan, dengan menggunakan perarem dan awig yang dipayungi Perda. Sekarang kan belum ada sinergi antara awig dan hukum positif. Sabar dulu, saya akan rancang ini,” ujar Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Koster sendiri tidak melihat ada melemahkan desa adat dengan adanya Saber Pungli. Menurut Koster, awig-awig dan perarem harus dipayungi hukum positif supaya bisa tetap diterapkan. “Bisa sinkron dalam pelaksanaanya. Awig-Awig itu nanti diatur dengan Perda atau Pergub. Payungnya harus ada suoaya tidak melanggar hukum positif. Payungnya bisa Perda, bisa Pergub,” katanya. *nat
1
Komentar