Bangkit Kembali di Tengah Krisis Pelestari
Lukisan Gaya Batuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
GIANYAR, NusaBali
Lukisan Gaya Batuan menjadi salah satu diantara 13 budaya Bali yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2018. Perjuangan untuk sampai pada pengakuan dunia ini, melalui proses panjang. Upaya agar tetap ada regenerasi pelestari pun getol dilakukan. Terutama pasca Bom Bali I tahun 2002 silam, banyak kolektor internasional tidak lagi datang ke Bali. Secara kuantitas, jumlah pelukis gaya Batuan pun mengalami penurunan drastis.
Hanya segelintir yang masih bertahan, sebagian lagi melukis paruh waktu di sela-sela pekerjaan utama. Bahkan, sebagian besar justru berhenti melukis. Kondisi inipun berlangsung cukup lama, hampir 10 tahun. Hingga akhirnya, muncul niat para pelukis yang masih bertahan untuk bangkit kembali. Dengan segala upaya, para pelukis membentuk Perkumpulan Baturulangun tahun 2012. Batur sebagai sebutan Desa Batuan pada jaman dahulu, sedangkan Ulangun merupakan aneka ragam kesenian, khususnya seni lukis.
Perkumpulan ini memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan lukisan Batuan sekaligus meregenerasi pelukis Batuan. “Kami mulai lakukan upaya edukasi, menciptakan ruang pembelajaran seni lukis gaya Batuan pada anak-anak sekolah,” jelas Ketua Perkumpulan Baturulangun Batuan, pelukis I Ketut Sadia ditemui di rumahnya, Selasa (13/11). Tahap awal, diakui masih berat. Sebab, minat anak-anak belajar melukis tradisi cukup sulit digugah. Bahkan, dari peserta awal ratusan, kian menyusut menjadi hanya beberapa orang.
Rasa khawatir akan nasib lukisan Batuan pun membuat perkumpulan ini semakin terpacu. Sebanyak 4 Sekolah Dasar yang ada di Desa Batuan diajak bekerjasama. Pemerintahan Desa Batuan pun mendukung penuh, sehingga les melukis diwajibkan bagi anak-anak kelas III sampai kelas VI. “Termasuk juga adanya ekstrakurikuler melukis gaya Batuan di 4 SD. Jadi hari Sabtu, anggota kami melakukan pembinaan di masing-masing sekolah. Lalu setiap hari Minggu pagi, mereka melanjutkan les melukis di kantor desa. Dan ini gratis, difasilitasi oleh Pemerintah Desa,” jelas pelukis asal Banjar Pekandelan ini.
Saat ini, jumlah peserta didik les melukis gaya Batuan mencapai ratusan. Jika di awal mereka kurang tertarik, kini para pelukis anak-anak semakin termotivasi. Terlebih mereka beberapa kali bekesempatan menggelar pameran dan workshop. Seperti pada pameran lukisan dari anak-anak binaan perkumpulan pelukis Baturulangun Batuan bertajukNawa Citra pada 22 Oktober hingga 31 Oktober 2017 di Titian Art Space, Ubud.Secara keseluruhan, Perkumpulan Baturulangun juga berkesempatan tampil dalam pagelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 di Gedung Kriya, Art Center, Denpasar, 23 Juni-21 Juli 2018. Dari 56 lukisan yang dipamerkan, 36 karya seni lukis di antaranya dibuat seniman senior dari Desa Batuan.
Hanya segelintir yang masih bertahan, sebagian lagi melukis paruh waktu di sela-sela pekerjaan utama. Bahkan, sebagian besar justru berhenti melukis. Kondisi inipun berlangsung cukup lama, hampir 10 tahun. Hingga akhirnya, muncul niat para pelukis yang masih bertahan untuk bangkit kembali. Dengan segala upaya, para pelukis membentuk Perkumpulan Baturulangun tahun 2012. Batur sebagai sebutan Desa Batuan pada jaman dahulu, sedangkan Ulangun merupakan aneka ragam kesenian, khususnya seni lukis.
Perkumpulan ini memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan lukisan Batuan sekaligus meregenerasi pelukis Batuan. “Kami mulai lakukan upaya edukasi, menciptakan ruang pembelajaran seni lukis gaya Batuan pada anak-anak sekolah,” jelas Ketua Perkumpulan Baturulangun Batuan, pelukis I Ketut Sadia ditemui di rumahnya, Selasa (13/11). Tahap awal, diakui masih berat. Sebab, minat anak-anak belajar melukis tradisi cukup sulit digugah. Bahkan, dari peserta awal ratusan, kian menyusut menjadi hanya beberapa orang.
Rasa khawatir akan nasib lukisan Batuan pun membuat perkumpulan ini semakin terpacu. Sebanyak 4 Sekolah Dasar yang ada di Desa Batuan diajak bekerjasama. Pemerintahan Desa Batuan pun mendukung penuh, sehingga les melukis diwajibkan bagi anak-anak kelas III sampai kelas VI. “Termasuk juga adanya ekstrakurikuler melukis gaya Batuan di 4 SD. Jadi hari Sabtu, anggota kami melakukan pembinaan di masing-masing sekolah. Lalu setiap hari Minggu pagi, mereka melanjutkan les melukis di kantor desa. Dan ini gratis, difasilitasi oleh Pemerintah Desa,” jelas pelukis asal Banjar Pekandelan ini.
Saat ini, jumlah peserta didik les melukis gaya Batuan mencapai ratusan. Jika di awal mereka kurang tertarik, kini para pelukis anak-anak semakin termotivasi. Terlebih mereka beberapa kali bekesempatan menggelar pameran dan workshop. Seperti pada pameran lukisan dari anak-anak binaan perkumpulan pelukis Baturulangun Batuan bertajukNawa Citra pada 22 Oktober hingga 31 Oktober 2017 di Titian Art Space, Ubud.Secara keseluruhan, Perkumpulan Baturulangun juga berkesempatan tampil dalam pagelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 di Gedung Kriya, Art Center, Denpasar, 23 Juni-21 Juli 2018. Dari 56 lukisan yang dipamerkan, 36 karya seni lukis di antaranya dibuat seniman senior dari Desa Batuan.
Lalu, 20 lainnya karya anak-anak seni lukis Baturulangun binaan Desa Batuan, Gianyar. “Anak-anak Desa Batuan memang punya potensi yang luar biasa. Karya-karya mereka sering dipamerkan dan diapresiasi, sehingga anak-anak semakin termotivasi,” jelas suami dari Ni Putu Subawati ini. Disamping melestarikan seni budaya, keahlian melukis gaya Batuan juga kerap diterapkan untuk ngayah. “Di Bali, seni erat kaitannya dengan upacara Agama Hindu. Sehingga keahlian kami pada bidang lukis, kerap kami abdikan untuk ngayah. Misal melukis kober, umbul-umbul maupun perlengkapan upacara lainnya. Maka itu, seni sebagai kunci ekonomi sekaligus kunci sosial, dia harus tetap ada,” jelas pria kelahiran 20 Desember 1966 ini.*nvi
1
Komentar