23 Desa di Buleleng Masih Terbelit Konflik Tapal Batas
Desa Bungkulan masih konflik tapal batas dengan Desa Giri Emas karena keberadaan Pura Alit dan banyak penduduk ber-KTP Bungkulan di perbatasan Banjar Dauh Muduk dan Banjar Dangin Yeh
Dipicu Berbagai Faktor seperti Masalah Kependudukan dan Potensi Bisnis
SINGARAJA, NusaBali
Sedikitnya 23 desa di wilayah Kabupaten Buleleng masih terbelit masalah tapal batas. Pemkab Buleleng pun kembali menjadwalkan upaya mediasi terhadap 23 desa tersebut. Bila tidak menemukan jalan tengah, Bupati Buleleng bisa menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan masalah tapal batas tersebut.
Secara keseluruhan, di Buleleng terdapat 149 desa/kelurahan yang tersebar di 9 kecamatan. Penyelesaian tapal batas sudah dilaksanakan sejak tahun 2016. Selama 2 tahun penyelesaian, tercatat sudah ada 126 desa/kelurahan yang sepakat dengan tapal batas desa/kelurahannya. Namun, hingga kini masih ada 23 desa tersebar di 6 kecamatan yang terbelit konflik tapal batas. Hanya 3 kecamatan yakni Kecamatan Tejakula, Kecamatan Buleleng, dan Kecamatan Busungbiu yang tak lagi ada desanya terbelit konflik tapal batas.
Dari 23 desa yang masih terbelit konflik tapal batas tersebut, 7 di antaranya berada di Kecamatan Banjar, yakni Desa Gobleg, Desa Kayuputih, Desa Banyuastis, Desa Banyuseri, Desa Banjar, Desa Banjar Tegeha, dan Desa Dencarik. Sedangkan di wilayah Kecamatan Seririt juga terdapat 7 desa terbelit konflik tapalk batas, yakni Desa mayong, Desa Bestala, Desa Kalianget, Desa Tangguwisia, Desa Ularan, Desa Lokapaksa, dan Kelurahan Seritit.
Sementara 9 desa terbelit konlik tapal batas lainnya tersebar di 4 kecamatan, yakni Desa Celukan Bawang (Kecamatan Gerokrak), Desa Pengulon (Kecamatan Gerokgak), Desa Patas (Kecamatan Gerokgak), Desa Gerokgak (Kecamatan Gerokgak), Desa Selat (Kecamatan Sukasada), Desa Kubutambahan (Kecamatan Kubutambahan), Desa Bulian (Kecamatan Kubutambahan), Desa Desa Giri Emas (Kecamatan Sawan), dan Desa Bungkulan (Kecamatan Sawan).
“Sebanyak 23 desa yang masih konflik masalah tapal batas ini sebetulnya sudah beberapa kali kami upayakan mediasi. Namun, sejauh ini memang belum ada kesepakatan,” ungkap Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Buleleng, Made Sudama Diana, saat dikonfirmasi NusaBali di Singarapa, Selasa (6/11) lalu.
Terkait persoalan yang masih mengganjal dalam penyelesaian tapal batas tersebut, menurut Sudama Dina, ada banyak faktor, mulai dari masalah kenyakinan, kepen-dudukan, hingga terkait potensi usaha atau bisnis. Sudama mencontohkan ada pura di mana krama penyungsungya berasal dari Desa A, sehingga oleh Desa A lokasi pura tersebut diklaim sebagai bagian wilayahnya. Sedangkan Desa B juga mengklaim lokasi pura itu menjadi wilayahnya, karena lebih dekat.
Selain itu, kata Sudama, ada juga karena di lokasi sudah menjadi ladang usaha/bisnis, sehingga antar desa masih saling klaim masuk wilayahnya. “Sebenarnya ini persoalan administrasi dinas, bukan masuk ke adat. Kalau misalnya karena pura terjadi saling klaim, tidak bisa dikaitkan ke sana. Itu kan krama pangemongnya bisa dari mana saja, walaupun batas desanya beda,” terang Sudama.
Menurut mantan Camat Busungbiu ini, untuk 23 desa yang belum ada kesepakatan masalah tapal batas, akan diupayakan mediasi kembali tahun 2019 mendatang. Upaya tersebut dengan meminta masing-masing desa menunjukkan bukti-bukti yang kuat. Kendati demikian, pihaknya tetap mengupayakan penyelesaian tapal batas desa dengan mengedepankan musyawarah mufakat di antara para tokoh masayarakat.
“Sebenarnya, jika upaya musyawarah mufakat tidak membuahkan hasil, Pemkab Buleleng melalui kewenangan Bupati bisa menetapkan batas administrasi dari desa-desa tersebut. Tapi, kami tetap menempuh upaya persuasif dulu dengan memberikan antar desa bermusyawarah kembali,” terang Sudama.
Sementara itu, penetapan tapal batas Desa Giri Emas (Kecamatan Sawan) dan Desa Bungkulan (Kecamatan Sawan) hingga saat ini belum ada titik temu, karena persoalan historis. Lokasi yang masih menjadi perdebatan berada di bagian selatan kedua desa bertetangga ini, yakni antara Banjar Dauh Muduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Dangin Yeh (Desa Giri Emas). Pihak Desa Bungkulan mengklaim wilayah itu menjadi bagian dari administrasi desanya, karena di sana ada Pura Alit yang sebagian besar pangemponnya adalah krama Desa Pakraman Bungkulan. Di samping itu, di lokasi ini juga ada 40 kepala keluarga (KK) ber KTP Desa Bungkulan.
“Karena ini ada hubungan historis. Pura Alit itu bagian dari Pura Ancak, Desa Pakraman Bungkulan, sehingga kami tidak berani melepasnya,” ungkap Kepala Desa (Perbekel) Bungkulan, Ketut Kusuma Ardana, saat dikonfirmasi NusaBali, Rabu (7/11) lalu.
Menurut Kusuma Ardana, pihaknya sudah memberikan solusi kepada pihak Desa Desa Giri Emas, di mana perbatasan desa yang berada di bagian utara antara Banjar Dauh Munduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Segara (Desa Giri Emas) sepenuhnya diberikan kepada Desa Giri Emas. Pihaknya tidak memasalahkan perbatasan wilayah tersebut, meski masih menjadi bagian Desa Bungkulan.
“Saya sendiri sudah ngomong, kalau yang di bagian selatan janganlah, biarkan itu masuk administrasi Desa Bungkulan. Karena kami sudah relakan perbatasan yang di bagian utara. Tapi, sampai sekarang belum ada keputusan apa pun,” tandas Kusuma Ardana.
Di sisi lain, pihak Desa Giri Emas mengklaim batas-batas desa sudah pernah dituangkan dalam SK Bupati Buleleng ketika Banjar Sangsit Dangin Yeh keluar dari desa iduknya, yakni Desa Sangsit. Bagi Desa Giri Emas, tidak ada alasan perbatasan wilayah di bagian selatan antara Banjar Dauh Munduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Dangin Yeh (Desa Giri Emas) itu masuk wilayah Desa Giri Emas.
“Bagi kami, penentepan batas desa berdasarkan SK Bupati Buleleng yang sudah terbit ketika pemekaran dulu. Jadi, lokasi Pura Alit itu menjadi bagian dari Desa Giri Emas,” tandas Perbekel Giri Emas, Made Sunarsa.
Made Sunarsa menegaskan, pemekaran Banjar Sangsit Dangin Yeh menjadi Desa Giri Emas, secara difinitif dituangkan dalam SK Bupati yang terbit 14 November 2005 silam. Berdasar SK Bupati tersebut, batas-batas Desa Giri Emas sudah dituangkan secara jelas.
“Pihak Desa Bungkulan tidak mau menyerahkan, karena khawatir jalan menuju Pura Alit itu ditutup. Katanya, banyak warga di wilayah itu ber KTP Desa Bungkulan. Sebenarnya, ini tidak menjadi persoalan, karena menyangkut batas administrasi. Tidak mungkin ada penutupan jalan menuju Pura Alit,” papar Sunarsa.
Meski demikian, baik pihak Desa Giri Emas maupun Desa Bungkulan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian persoalan tapal batas ini kepada Pemkab Buleleng. Perbekel dua desa bertetangga di Kecamatan Sawan ini juga mengaku sudah menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penetapan tapal batas tersebut kepada Pemkab Buleleng. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Sedikitnya 23 desa di wilayah Kabupaten Buleleng masih terbelit masalah tapal batas. Pemkab Buleleng pun kembali menjadwalkan upaya mediasi terhadap 23 desa tersebut. Bila tidak menemukan jalan tengah, Bupati Buleleng bisa menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan masalah tapal batas tersebut.
Secara keseluruhan, di Buleleng terdapat 149 desa/kelurahan yang tersebar di 9 kecamatan. Penyelesaian tapal batas sudah dilaksanakan sejak tahun 2016. Selama 2 tahun penyelesaian, tercatat sudah ada 126 desa/kelurahan yang sepakat dengan tapal batas desa/kelurahannya. Namun, hingga kini masih ada 23 desa tersebar di 6 kecamatan yang terbelit konflik tapal batas. Hanya 3 kecamatan yakni Kecamatan Tejakula, Kecamatan Buleleng, dan Kecamatan Busungbiu yang tak lagi ada desanya terbelit konflik tapal batas.
Dari 23 desa yang masih terbelit konflik tapal batas tersebut, 7 di antaranya berada di Kecamatan Banjar, yakni Desa Gobleg, Desa Kayuputih, Desa Banyuastis, Desa Banyuseri, Desa Banjar, Desa Banjar Tegeha, dan Desa Dencarik. Sedangkan di wilayah Kecamatan Seririt juga terdapat 7 desa terbelit konflik tapalk batas, yakni Desa mayong, Desa Bestala, Desa Kalianget, Desa Tangguwisia, Desa Ularan, Desa Lokapaksa, dan Kelurahan Seritit.
Sementara 9 desa terbelit konlik tapal batas lainnya tersebar di 4 kecamatan, yakni Desa Celukan Bawang (Kecamatan Gerokrak), Desa Pengulon (Kecamatan Gerokgak), Desa Patas (Kecamatan Gerokgak), Desa Gerokgak (Kecamatan Gerokgak), Desa Selat (Kecamatan Sukasada), Desa Kubutambahan (Kecamatan Kubutambahan), Desa Bulian (Kecamatan Kubutambahan), Desa Desa Giri Emas (Kecamatan Sawan), dan Desa Bungkulan (Kecamatan Sawan).
“Sebanyak 23 desa yang masih konflik masalah tapal batas ini sebetulnya sudah beberapa kali kami upayakan mediasi. Namun, sejauh ini memang belum ada kesepakatan,” ungkap Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Buleleng, Made Sudama Diana, saat dikonfirmasi NusaBali di Singarapa, Selasa (6/11) lalu.
Terkait persoalan yang masih mengganjal dalam penyelesaian tapal batas tersebut, menurut Sudama Dina, ada banyak faktor, mulai dari masalah kenyakinan, kepen-dudukan, hingga terkait potensi usaha atau bisnis. Sudama mencontohkan ada pura di mana krama penyungsungya berasal dari Desa A, sehingga oleh Desa A lokasi pura tersebut diklaim sebagai bagian wilayahnya. Sedangkan Desa B juga mengklaim lokasi pura itu menjadi wilayahnya, karena lebih dekat.
Selain itu, kata Sudama, ada juga karena di lokasi sudah menjadi ladang usaha/bisnis, sehingga antar desa masih saling klaim masuk wilayahnya. “Sebenarnya ini persoalan administrasi dinas, bukan masuk ke adat. Kalau misalnya karena pura terjadi saling klaim, tidak bisa dikaitkan ke sana. Itu kan krama pangemongnya bisa dari mana saja, walaupun batas desanya beda,” terang Sudama.
Menurut mantan Camat Busungbiu ini, untuk 23 desa yang belum ada kesepakatan masalah tapal batas, akan diupayakan mediasi kembali tahun 2019 mendatang. Upaya tersebut dengan meminta masing-masing desa menunjukkan bukti-bukti yang kuat. Kendati demikian, pihaknya tetap mengupayakan penyelesaian tapal batas desa dengan mengedepankan musyawarah mufakat di antara para tokoh masayarakat.
“Sebenarnya, jika upaya musyawarah mufakat tidak membuahkan hasil, Pemkab Buleleng melalui kewenangan Bupati bisa menetapkan batas administrasi dari desa-desa tersebut. Tapi, kami tetap menempuh upaya persuasif dulu dengan memberikan antar desa bermusyawarah kembali,” terang Sudama.
Sementara itu, penetapan tapal batas Desa Giri Emas (Kecamatan Sawan) dan Desa Bungkulan (Kecamatan Sawan) hingga saat ini belum ada titik temu, karena persoalan historis. Lokasi yang masih menjadi perdebatan berada di bagian selatan kedua desa bertetangga ini, yakni antara Banjar Dauh Muduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Dangin Yeh (Desa Giri Emas). Pihak Desa Bungkulan mengklaim wilayah itu menjadi bagian dari administrasi desanya, karena di sana ada Pura Alit yang sebagian besar pangemponnya adalah krama Desa Pakraman Bungkulan. Di samping itu, di lokasi ini juga ada 40 kepala keluarga (KK) ber KTP Desa Bungkulan.
“Karena ini ada hubungan historis. Pura Alit itu bagian dari Pura Ancak, Desa Pakraman Bungkulan, sehingga kami tidak berani melepasnya,” ungkap Kepala Desa (Perbekel) Bungkulan, Ketut Kusuma Ardana, saat dikonfirmasi NusaBali, Rabu (7/11) lalu.
Menurut Kusuma Ardana, pihaknya sudah memberikan solusi kepada pihak Desa Desa Giri Emas, di mana perbatasan desa yang berada di bagian utara antara Banjar Dauh Munduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Segara (Desa Giri Emas) sepenuhnya diberikan kepada Desa Giri Emas. Pihaknya tidak memasalahkan perbatasan wilayah tersebut, meski masih menjadi bagian Desa Bungkulan.
“Saya sendiri sudah ngomong, kalau yang di bagian selatan janganlah, biarkan itu masuk administrasi Desa Bungkulan. Karena kami sudah relakan perbatasan yang di bagian utara. Tapi, sampai sekarang belum ada keputusan apa pun,” tandas Kusuma Ardana.
Di sisi lain, pihak Desa Giri Emas mengklaim batas-batas desa sudah pernah dituangkan dalam SK Bupati Buleleng ketika Banjar Sangsit Dangin Yeh keluar dari desa iduknya, yakni Desa Sangsit. Bagi Desa Giri Emas, tidak ada alasan perbatasan wilayah di bagian selatan antara Banjar Dauh Munduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Dangin Yeh (Desa Giri Emas) itu masuk wilayah Desa Giri Emas.
“Bagi kami, penentepan batas desa berdasarkan SK Bupati Buleleng yang sudah terbit ketika pemekaran dulu. Jadi, lokasi Pura Alit itu menjadi bagian dari Desa Giri Emas,” tandas Perbekel Giri Emas, Made Sunarsa.
Made Sunarsa menegaskan, pemekaran Banjar Sangsit Dangin Yeh menjadi Desa Giri Emas, secara difinitif dituangkan dalam SK Bupati yang terbit 14 November 2005 silam. Berdasar SK Bupati tersebut, batas-batas Desa Giri Emas sudah dituangkan secara jelas.
“Pihak Desa Bungkulan tidak mau menyerahkan, karena khawatir jalan menuju Pura Alit itu ditutup. Katanya, banyak warga di wilayah itu ber KTP Desa Bungkulan. Sebenarnya, ini tidak menjadi persoalan, karena menyangkut batas administrasi. Tidak mungkin ada penutupan jalan menuju Pura Alit,” papar Sunarsa.
Meski demikian, baik pihak Desa Giri Emas maupun Desa Bungkulan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian persoalan tapal batas ini kepada Pemkab Buleleng. Perbekel dua desa bertetangga di Kecamatan Sawan ini juga mengaku sudah menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penetapan tapal batas tersebut kepada Pemkab Buleleng. *k19
Komentar