Sabet Penghargaan Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional
Prof Dr dr Nyoman Kertia SpPD-Kr Finasim tekun meneliti obat herbal sejak puluhan tahun silam, karena ingin mengabdi kepada kakeknya yang seorang dukun dan terpanggil bantu masyarakat
Prof Dr dr Nyoman Kertia SpPD-Kr Finasim, Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM
DENPASAR, NusaBali
Putra Bali yang kini Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Prof Dr dr Nyoman Kertia SpPD-Kr Finasim, 58, tiada henti mendapat penghargaan tingkat nasional. Terakhir, alumnus SMAN 1 Singaraja ini menerima penghargaan sebagai ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’ dari Kementerian Kesehatan. Penghargaan tersebut dise-matkan kepada akademisi asal Banjar Dangin Margi, Desa Pemaron, Kecamatan Buleleng ini karena ketekunannya meneliti obat herbal selama puluhan tahun dan dedikasinya terhadap ilmu kesehatan.
Penghargaan ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’ tersebut diterima Prof Dr dr Nyoman Kertia SpPD-Kr Finasim, Sabtu (10/11) lalu. Bukan hanya itu, dalam waktu dekat Prof Nyoman Kertia juga akan menerima ‘Hak Paten Terbaik Nasional 2018’ untuk pengembangan obat herbal, hak cipta, hak merk, dan izin edar obat rematik.
Ini merupakan penghargaan tingkat nasional kesekian yang diraih Prof Nyoman Kertia. Dia juga sempat menerima penghargaan ‘Presentasi Kasus Terbaik Indonesian Rheumatism Association 2013’. Jauh sebelumnya, akumni S1 Fakultas Kedokteran Unud ini juga sempat dinobatkan sebagai ‘Peneliti Terbaik Ikatan Reumatologi Indonesia (Felden Award/1999)’ dan Peneliti ‘Terbaik Ikatan Reumatologi Indonesia (Pronalgest Award/2000)’
Khusus untuk penghargaan ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’, proses penilaian terhadap peserta tidak hanya sebatas melakukan penelitian. Namun, bagaimana pula mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di masyarakat hingga bisa menjadi sebuah policy (kebijakan), serta kiprah dalam dunia pendidikan kesehatan.
Kepada NusaBali, Prof Kertia menjelaskan, selain meneliti obat herbal dan mengaplikasikannya menjadi obat herbal yang berkualitas, dia juga melakukan pengabdian lainnya. Misal, membuat gerakan masyarakat hidup sehat di Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) dengan nama gerakan ‘Jogjakarta Sehat Lestari’. “Gerakan ini sudah ada lebih dulu di Jogjakarta. Dengan adanya program gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) secara nasional, akhirnya ini disesuaikan dengan model gerak-an Jogjakarta Sehat Lestari,” jelas Prof Kertia, Selasa (13/11) lalu.
Anak kelima dari enam bersaudara pasangan Made Mangku dan Ketut Miasih ini menambahkan, di tingkat universitas, dia menjadi anggota Komisi Akademik Dewan Guru Besar UGM. Dalam tingkatan tersebut, Prif Kertia turut merumuskan kebijakan model penelitian yang dianggap baik dan berkualitas. “Sampai sekarang, di FK UGM, saya sebagai komisi penelitian dan pengabdian masyarakat, Senat FK UGM. Di sana kita mengatur policy bagaimana membuat penelitian yang baik di FK itu,” papar akademisi kelahiran Singaraja, 16 September 1960, yang sejak 2013 menjadi Ketua Cluster Natural Medicine Program Doktor Fakultas Kedokteran UGM ini.
Prof Kertia yang juga dikenal sebagai ahli rematik, selama ini menjalin kerjasama internasional dengan Leeds University Inggris, Universitas Kobe Jepang, dan Universitas Groningen Belanda. Dia turut merancang alur kerjasama sehingga bisa ada pertukaran belajar mahasiswa. Dari sisi publikasi, Prof Kertia telah banyak melahirkan publikasi internasional terindeks Scopus, maupun publikasi nasional bereputasi.
Dalam kesehariannya sebagai dosen, Prof Kertia juga banyak sekali menguji mahasiswa kedokteran baik S1, S2, maupun S3 FK UGM. Bahkan, tidak hanya UGM, melainkan juga menguji di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Udayana (Unud). Entah berapa seminar dan ceramah yang sudah dia isi. Termasuk pula sangat sering mereview jurnal-jurnal internasional yang berkaitan dengan obat herbal. “Semua itu menjadi penilaian dalam penghargaan ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’,” jelas ayah lima anak dari pernikahannya dengan Ir Made Lilis Martini Dewi ini.
Mengenai alasan menekuni penelitian obat herbal, menurut Prof Kertia, karena merasa memiliki tanggung jawab secara akademis. Kebetulan, kedua kakeknya dulu adalah seorang balian (dukun) obat herbal dan tenaga dalam. Maka, sebagai seorang dokter, Prof Kertia merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan secara ilmiah.
“Kakek saya dulu dukun, sedangkan saya dokter. Saya harus mengikuti alur kakek saya. Karena beliau dukun, maka saya harus bisa menjelaskan secara ilmiah. Saya hanya ingin masyarakat tertolong dan hidup sehat,” ujar Prof Kertia yang sempat jadi ‘Bintang Pelajar Tingkat SMP Provinsi Bali 1976 (ketika sekolah di SMPN 2 Singaraja) dan dinobatkan sebagai ‘Peneliti Terbaik Fakultas Kedokteran Unud 1985’.
Fokus masalah yang dilihat, kata Prof Kertia, adalah sakit rematik. Dia melihat obat modern (kimia) untuk rematik selama ini cukup memiliki efek samping, bisa menganggu ginjal, liver, jantung, maag, dan sebagainya. Obat tersebut juga tidak memberikan hasil yang masimal dan harganya mahal. Maka, terpikirlah membuat ramuan khusus untuk mengganti obat kimia tersebut.
“Berawal dari situ, akhirnya saya membuat ramuan khusus untuk mengganti obat-obat tersebut agar lebih efektif, aman, dan murah. Saya meneliti sejak tahun 1995. Dan, sejak tahun 2008 saya berhasil membuat produk obat herbal. Tahun 2010, obat herbal itu mulai beredar di masyarakat,” jelas Prof Kertia yang menjabat Wakil Ketua Pusat Kedokteran Herbal Fakultas Kedokteran UGM (2010-2018) dan jadi Ketua Perhimpunan Reumatologi Indonesia Cabang Jogjakarta (sejak tahun 2011).
Prof Kertia menemukan komposisi obat dari bahan-bahan herbal. Komposisinya, antara lain, temulawak, jahe, kedelai, dan kulit udang. Bahannya memang mudah didapatkan, namun dia memperhatikan betul bagaimana kualitasnya. “Obat herbal untuk mendukung kesembuhan lebih cepat, bisa memelihara sendi. Sedangkan obat modern itu kadang sebagai penghilang nyeri saja, tapi jarang yang memperbaiki sendi itu sendiri,” katanya.
Bagi Prof Kertia, tidak mudah melakukan penelitian selama puluhan tahun hingga sekarang. Menurut dia, hal biasa menemui banyak kendala dalam sebuah penelitian. “Melakukan penelitian itu tergolong mahal. Kadang biaya sendiri, kadang ada bantuan setelah mengajukan proposal, sehingga waktunya jadi lama. Tapi bagi saya, karena saya akademisi, yang penting bagaimana produk itu aman, murah, dan berkhasiat. Bagi seorang dokter, pasti memikirkan keamanan untuk pasiennya. Inilah mengapa saya terus melakukan penelitian,” tandas Prof Kertia.
Menurut Prof Kertia, tanaman-tanaman di Indonesia sangat berpotensi menjadi obat herbal bila dikembangkan dengan baik. Namun, obat herbal tersebut juga harus dilengkapi dengan bukti ilmiah. Mestinya, dilakukan proses penelitian yang cukup panjang untuk bisa menghasilkan obat yang benar-benar berkualitas. “Penelitian itu tidak ada yang gampang. Kalau penelitiannya gampang, bisa jadi kualitasnya jelek. Bertahun-bertahun dan harus ditekuni,” papar Prof Kertia.
“Sesungguhnya, penghargaan ini (sebagai Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018, Red) adalah milik bersama. Harapan saya, para peneliti di Indonesia meningkatkan lagi penelitiannya, tidak terpajang begitu saja, padahal masyarakat membutuhkan hasil tulisan maupun penelitian itu. Penelitian itu harus bermanfaat bagi orang lain,” lanjut akademisi yang sejak 2003 sampai sekarang masih menjabat sebagai Kepala Sub Bag Reumatologi Bag Ipd, FK-UGM/RS Dr Sardjito Jog-jakarta ini.
Jiwa dan semangat penelitian Prof Kertia ini ternyata menurun kepada kelima anaknya. Bahkan, anak keempat dan kelima yang kembar, Ketut Shri Satya Wiwekananda dan Ketut Shri Satya Yogananda, sudah meraih seabrek penghargaan. Si kembar yang siswa Sekolah Taruna Nusantara ini sudah empat kali raih penghargaan internasional. Mereka juga beberapa kali meraih penghargaan tingkat nasional dan provinsi atas beragam penelitiannya. *ind
DENPASAR, NusaBali
Putra Bali yang kini Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Prof Dr dr Nyoman Kertia SpPD-Kr Finasim, 58, tiada henti mendapat penghargaan tingkat nasional. Terakhir, alumnus SMAN 1 Singaraja ini menerima penghargaan sebagai ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’ dari Kementerian Kesehatan. Penghargaan tersebut dise-matkan kepada akademisi asal Banjar Dangin Margi, Desa Pemaron, Kecamatan Buleleng ini karena ketekunannya meneliti obat herbal selama puluhan tahun dan dedikasinya terhadap ilmu kesehatan.
Penghargaan ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’ tersebut diterima Prof Dr dr Nyoman Kertia SpPD-Kr Finasim, Sabtu (10/11) lalu. Bukan hanya itu, dalam waktu dekat Prof Nyoman Kertia juga akan menerima ‘Hak Paten Terbaik Nasional 2018’ untuk pengembangan obat herbal, hak cipta, hak merk, dan izin edar obat rematik.
Ini merupakan penghargaan tingkat nasional kesekian yang diraih Prof Nyoman Kertia. Dia juga sempat menerima penghargaan ‘Presentasi Kasus Terbaik Indonesian Rheumatism Association 2013’. Jauh sebelumnya, akumni S1 Fakultas Kedokteran Unud ini juga sempat dinobatkan sebagai ‘Peneliti Terbaik Ikatan Reumatologi Indonesia (Felden Award/1999)’ dan Peneliti ‘Terbaik Ikatan Reumatologi Indonesia (Pronalgest Award/2000)’
Khusus untuk penghargaan ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’, proses penilaian terhadap peserta tidak hanya sebatas melakukan penelitian. Namun, bagaimana pula mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di masyarakat hingga bisa menjadi sebuah policy (kebijakan), serta kiprah dalam dunia pendidikan kesehatan.
Kepada NusaBali, Prof Kertia menjelaskan, selain meneliti obat herbal dan mengaplikasikannya menjadi obat herbal yang berkualitas, dia juga melakukan pengabdian lainnya. Misal, membuat gerakan masyarakat hidup sehat di Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) dengan nama gerakan ‘Jogjakarta Sehat Lestari’. “Gerakan ini sudah ada lebih dulu di Jogjakarta. Dengan adanya program gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) secara nasional, akhirnya ini disesuaikan dengan model gerak-an Jogjakarta Sehat Lestari,” jelas Prof Kertia, Selasa (13/11) lalu.
Anak kelima dari enam bersaudara pasangan Made Mangku dan Ketut Miasih ini menambahkan, di tingkat universitas, dia menjadi anggota Komisi Akademik Dewan Guru Besar UGM. Dalam tingkatan tersebut, Prif Kertia turut merumuskan kebijakan model penelitian yang dianggap baik dan berkualitas. “Sampai sekarang, di FK UGM, saya sebagai komisi penelitian dan pengabdian masyarakat, Senat FK UGM. Di sana kita mengatur policy bagaimana membuat penelitian yang baik di FK itu,” papar akademisi kelahiran Singaraja, 16 September 1960, yang sejak 2013 menjadi Ketua Cluster Natural Medicine Program Doktor Fakultas Kedokteran UGM ini.
Prof Kertia yang juga dikenal sebagai ahli rematik, selama ini menjalin kerjasama internasional dengan Leeds University Inggris, Universitas Kobe Jepang, dan Universitas Groningen Belanda. Dia turut merancang alur kerjasama sehingga bisa ada pertukaran belajar mahasiswa. Dari sisi publikasi, Prof Kertia telah banyak melahirkan publikasi internasional terindeks Scopus, maupun publikasi nasional bereputasi.
Dalam kesehariannya sebagai dosen, Prof Kertia juga banyak sekali menguji mahasiswa kedokteran baik S1, S2, maupun S3 FK UGM. Bahkan, tidak hanya UGM, melainkan juga menguji di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Udayana (Unud). Entah berapa seminar dan ceramah yang sudah dia isi. Termasuk pula sangat sering mereview jurnal-jurnal internasional yang berkaitan dengan obat herbal. “Semua itu menjadi penilaian dalam penghargaan ‘Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018’,” jelas ayah lima anak dari pernikahannya dengan Ir Made Lilis Martini Dewi ini.
Mengenai alasan menekuni penelitian obat herbal, menurut Prof Kertia, karena merasa memiliki tanggung jawab secara akademis. Kebetulan, kedua kakeknya dulu adalah seorang balian (dukun) obat herbal dan tenaga dalam. Maka, sebagai seorang dokter, Prof Kertia merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan secara ilmiah.
“Kakek saya dulu dukun, sedangkan saya dokter. Saya harus mengikuti alur kakek saya. Karena beliau dukun, maka saya harus bisa menjelaskan secara ilmiah. Saya hanya ingin masyarakat tertolong dan hidup sehat,” ujar Prof Kertia yang sempat jadi ‘Bintang Pelajar Tingkat SMP Provinsi Bali 1976 (ketika sekolah di SMPN 2 Singaraja) dan dinobatkan sebagai ‘Peneliti Terbaik Fakultas Kedokteran Unud 1985’.
Fokus masalah yang dilihat, kata Prof Kertia, adalah sakit rematik. Dia melihat obat modern (kimia) untuk rematik selama ini cukup memiliki efek samping, bisa menganggu ginjal, liver, jantung, maag, dan sebagainya. Obat tersebut juga tidak memberikan hasil yang masimal dan harganya mahal. Maka, terpikirlah membuat ramuan khusus untuk mengganti obat kimia tersebut.
“Berawal dari situ, akhirnya saya membuat ramuan khusus untuk mengganti obat-obat tersebut agar lebih efektif, aman, dan murah. Saya meneliti sejak tahun 1995. Dan, sejak tahun 2008 saya berhasil membuat produk obat herbal. Tahun 2010, obat herbal itu mulai beredar di masyarakat,” jelas Prof Kertia yang menjabat Wakil Ketua Pusat Kedokteran Herbal Fakultas Kedokteran UGM (2010-2018) dan jadi Ketua Perhimpunan Reumatologi Indonesia Cabang Jogjakarta (sejak tahun 2011).
Prof Kertia menemukan komposisi obat dari bahan-bahan herbal. Komposisinya, antara lain, temulawak, jahe, kedelai, dan kulit udang. Bahannya memang mudah didapatkan, namun dia memperhatikan betul bagaimana kualitasnya. “Obat herbal untuk mendukung kesembuhan lebih cepat, bisa memelihara sendi. Sedangkan obat modern itu kadang sebagai penghilang nyeri saja, tapi jarang yang memperbaiki sendi itu sendiri,” katanya.
Bagi Prof Kertia, tidak mudah melakukan penelitian selama puluhan tahun hingga sekarang. Menurut dia, hal biasa menemui banyak kendala dalam sebuah penelitian. “Melakukan penelitian itu tergolong mahal. Kadang biaya sendiri, kadang ada bantuan setelah mengajukan proposal, sehingga waktunya jadi lama. Tapi bagi saya, karena saya akademisi, yang penting bagaimana produk itu aman, murah, dan berkhasiat. Bagi seorang dokter, pasti memikirkan keamanan untuk pasiennya. Inilah mengapa saya terus melakukan penelitian,” tandas Prof Kertia.
Menurut Prof Kertia, tanaman-tanaman di Indonesia sangat berpotensi menjadi obat herbal bila dikembangkan dengan baik. Namun, obat herbal tersebut juga harus dilengkapi dengan bukti ilmiah. Mestinya, dilakukan proses penelitian yang cukup panjang untuk bisa menghasilkan obat yang benar-benar berkualitas. “Penelitian itu tidak ada yang gampang. Kalau penelitiannya gampang, bisa jadi kualitasnya jelek. Bertahun-bertahun dan harus ditekuni,” papar Prof Kertia.
“Sesungguhnya, penghargaan ini (sebagai Peneliti Senior Berprestasi Terbaik Nasional 2018, Red) adalah milik bersama. Harapan saya, para peneliti di Indonesia meningkatkan lagi penelitiannya, tidak terpajang begitu saja, padahal masyarakat membutuhkan hasil tulisan maupun penelitian itu. Penelitian itu harus bermanfaat bagi orang lain,” lanjut akademisi yang sejak 2003 sampai sekarang masih menjabat sebagai Kepala Sub Bag Reumatologi Bag Ipd, FK-UGM/RS Dr Sardjito Jog-jakarta ini.
Jiwa dan semangat penelitian Prof Kertia ini ternyata menurun kepada kelima anaknya. Bahkan, anak keempat dan kelima yang kembar, Ketut Shri Satya Wiwekananda dan Ketut Shri Satya Yogananda, sudah meraih seabrek penghargaan. Si kembar yang siswa Sekolah Taruna Nusantara ini sudah empat kali raih penghargaan internasional. Mereka juga beberapa kali meraih penghargaan tingkat nasional dan provinsi atas beragam penelitiannya. *ind
Komentar