Cenderung Santun ke Tempo Doeloe
Aturan berbusana ke pura itu baik, agar kita disiplin. Karena tujuan ke pura kan untuk sembahyang, bukan fashion show. (Desainer Cok Abi)
Tren Busana Perempuan Era Bali Jani
DENPASAR, NusaBali
Tren fashion (busana) perempuan Bali sejak zamannya amat dinamis. Bahkan, tren ini cenderung kembali ke tempo dulu. Hal ini tampak dari penggunaan kebaya untuk kegiatan upacara keagamaan maupun busana ngantor setiap hari Kamis, Purnama, dan Tilem.
Kondisi itu setidaknya diakui pengamat fashion yang desainer kondang asal Puri Kantor, Ubud, Tjokorda Abinanda Sukawati. "Saya lihat ciri khas kebaya Bali sekarang justru kembali ke tren kuno," jelas pria yang akrab disapa Cok Abi ini, Jumat (23/11).
Tren kuno dimaksud yakni bagian tangan berbentuk lonceng. Selain itu, disain kebaya yang diminati kaum perempuan Bali jani (era kini) cenderung lebih sopan. Dengan jenis lengan panjang, memakai kerah Kartini maupun pemakaian bet (kancing) depan. Meski demikian, pemilik butik De Galuh Renon, Denpasar ini masih melihat beberapa penggunaan kebaya Bali yang bergeser dari pakemnya. "Memang masih ada beberapa yang bergeser. Misal, lengan pendek maupun memperlihatkan belahan dada. Tapi itu digunakan dalam konteks acara resepsi maupun acara yang memang glamour. Jadi sah-sah saja," ungkapnya.
Lain halnya, lanjut Cok Abi, jika dipakai sembahyang ke pura, secara etika dan estetika dipastikan hal itu merusak pakem busana Bali. "Saat ini saya lihat busana ke Pura sudah bagus, rapi dan sopan. Setidaknya, workshop yang rutin digelar di PKB tentang busana bisa dipahami oleh masyarakat, khususnya remaja putri dan ibu-ibu," terangnya. Desainer kelahiran 13 Januari 1968 ini pun berharap penggunaan busana ke Pura yang saat ini sudah bagus, bisa dipertahankan. Terlebih, sejumlah pura di Bali sudah ketat mengenai etika berbusana ini. "Sejumlah pura saya lihat sudah tegas tentang aturan berbusana adat, baik itu pria maupun wanita. Aturan berbusana ke pura itu baik, agar kita disiplin. Karena tujuan ke pura kan untuk sembahyang, bukan fashion show," ujarnya.
Cok Abi juga mengingatkan kaum ibu agar busana ke pura tidak menggunakan bahan yang transparan. "Sebaiknya kalau pakai brokat, cari yang motifnya rapat. Kalau gunakan kain polos, pilih yang tidak transparan. Karena ini menyangkut etika, agar bagian longtorso tidak kelihatan," jelasnya.
Di sisi lain, terkait penerapan Pergub berbusana dan berbahasa Bali setiap hari Kamis, Purnama, dan Tilem, Cok Abi menyambut antusias. Sebab, permintaan desain maupun jahitan kebaya kian berdatangan. Terlebih tipe ibu-ibu zaman now yang ogah memakai satu kebaya. Minimal punya tiga, bahkan lebih. "Saya yakin pengusaha kain dan kebaya bergembira menyambut Pergub itu. Termasuk saya, cukup banyak dapat permintaan pesanan," ungkapnya.
Ingat Cok Abi, implementasi Pergub ini perlu penguatan di tataran sekolah. "Saya lihat sosialisasi ke sekolah dan kampus masih kurang. Padahal penting dilakukan, agar gaya berbusana anak muda kita tidak kebablasan. Bagaimana supaya mengenakan kebaya ke sekolah itu yang sopan, tertutup dan beretika," harap dosen Fashion di ISI Denpasar ini.*nvi
DENPASAR, NusaBali
Tren fashion (busana) perempuan Bali sejak zamannya amat dinamis. Bahkan, tren ini cenderung kembali ke tempo dulu. Hal ini tampak dari penggunaan kebaya untuk kegiatan upacara keagamaan maupun busana ngantor setiap hari Kamis, Purnama, dan Tilem.
Kondisi itu setidaknya diakui pengamat fashion yang desainer kondang asal Puri Kantor, Ubud, Tjokorda Abinanda Sukawati. "Saya lihat ciri khas kebaya Bali sekarang justru kembali ke tren kuno," jelas pria yang akrab disapa Cok Abi ini, Jumat (23/11).
Tren kuno dimaksud yakni bagian tangan berbentuk lonceng. Selain itu, disain kebaya yang diminati kaum perempuan Bali jani (era kini) cenderung lebih sopan. Dengan jenis lengan panjang, memakai kerah Kartini maupun pemakaian bet (kancing) depan. Meski demikian, pemilik butik De Galuh Renon, Denpasar ini masih melihat beberapa penggunaan kebaya Bali yang bergeser dari pakemnya. "Memang masih ada beberapa yang bergeser. Misal, lengan pendek maupun memperlihatkan belahan dada. Tapi itu digunakan dalam konteks acara resepsi maupun acara yang memang glamour. Jadi sah-sah saja," ungkapnya.
Lain halnya, lanjut Cok Abi, jika dipakai sembahyang ke pura, secara etika dan estetika dipastikan hal itu merusak pakem busana Bali. "Saat ini saya lihat busana ke Pura sudah bagus, rapi dan sopan. Setidaknya, workshop yang rutin digelar di PKB tentang busana bisa dipahami oleh masyarakat, khususnya remaja putri dan ibu-ibu," terangnya. Desainer kelahiran 13 Januari 1968 ini pun berharap penggunaan busana ke Pura yang saat ini sudah bagus, bisa dipertahankan. Terlebih, sejumlah pura di Bali sudah ketat mengenai etika berbusana ini. "Sejumlah pura saya lihat sudah tegas tentang aturan berbusana adat, baik itu pria maupun wanita. Aturan berbusana ke pura itu baik, agar kita disiplin. Karena tujuan ke pura kan untuk sembahyang, bukan fashion show," ujarnya.
Cok Abi juga mengingatkan kaum ibu agar busana ke pura tidak menggunakan bahan yang transparan. "Sebaiknya kalau pakai brokat, cari yang motifnya rapat. Kalau gunakan kain polos, pilih yang tidak transparan. Karena ini menyangkut etika, agar bagian longtorso tidak kelihatan," jelasnya.
Di sisi lain, terkait penerapan Pergub berbusana dan berbahasa Bali setiap hari Kamis, Purnama, dan Tilem, Cok Abi menyambut antusias. Sebab, permintaan desain maupun jahitan kebaya kian berdatangan. Terlebih tipe ibu-ibu zaman now yang ogah memakai satu kebaya. Minimal punya tiga, bahkan lebih. "Saya yakin pengusaha kain dan kebaya bergembira menyambut Pergub itu. Termasuk saya, cukup banyak dapat permintaan pesanan," ungkapnya.
Ingat Cok Abi, implementasi Pergub ini perlu penguatan di tataran sekolah. "Saya lihat sosialisasi ke sekolah dan kampus masih kurang. Padahal penting dilakukan, agar gaya berbusana anak muda kita tidak kebablasan. Bagaimana supaya mengenakan kebaya ke sekolah itu yang sopan, tertutup dan beretika," harap dosen Fashion di ISI Denpasar ini.*nvi
Komentar