FSGI Tolak Politisasi Guru
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak politisasi guru yang dilakukan Timses pasangan Capres-Cawapres.
JAKARTA, NusaBali
FSGI juga meminta guru-guru berani melawan jika dimobilisasi untuk berkampanye. "Para elite politik, terkhusus para timses capres-cawapres, jangan lagi menjadikan guru sebagai sasaran politisasi demi mendulang suara dalam pemilu. Jika benar-benar ingin mengangkat harkat dan martabat guru, semestinya sudah dilakukan sebelum masa pemilu. Guru bukanlah entitas atau kelompok sosial yang mudah untuk digiring demi politik elektoral sesaat," kata Wasekjen FSGI Satriawan Salim kepada wartawan di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (25/11).
Satriwan mengatakan para guru dan organisasi guru seharusnya bersikap netral. Dia menekankan guru harus menolak intervensi dan menghindari unsur politik dalam proses belajar-mengajar. "Sudah waktunya guru berfokus pada peningkatan kompetensi diri. Guru mesti berani melawan jika ada instruksi dan mobilisasi dari atasan atau birokrasi di daerah untuk mengikuti aktivitas kampanye dan politik elektoral dalam Pemilu. Ruang kelas di sekolah harus netral dari politik partisan. Proses pembelajaran di sekolah semestinya bersih dari politik praktis," ujarnya.
FSGI juga menyoroti janji kampanye timses salah satu pasangan calon yang menyebut akan menaikkan gaji guru menjadi Rp 20 juta. Mereka menilai itu ucapan yang asal-asalan. "Ternyata di tahun politik ini guru masih jadi objek politisasi, misalnya dijanjikan guru diberi gaji Rp 20 juta per bulan, kami berpikir ini pernyataan yang asal bicara tanpa kalkulasi yang baik," ucap Satriwan.
Dia juga mempertanyakan dari mana uang untuk membayar gaji tersebut. Selain itu, kategori guru yang dijanjikan gaji Rp 20 juta itu juga tidak jelas. Tak hanya itu, mereka juga mengkritisi wacana guru impor yang sempat mengemuka. Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitas guru lokal. "Yang kedua, misalnya, yang membuat guru-guru resah, ada wacana dari salah satu tim sukses untuk mengimpor guru, mestinya kan guru di Indonesia dulu yang dibenahi, misalnya dari segi kompetensi dan segi kualitas," kata dia. *
Satriwan mengatakan para guru dan organisasi guru seharusnya bersikap netral. Dia menekankan guru harus menolak intervensi dan menghindari unsur politik dalam proses belajar-mengajar. "Sudah waktunya guru berfokus pada peningkatan kompetensi diri. Guru mesti berani melawan jika ada instruksi dan mobilisasi dari atasan atau birokrasi di daerah untuk mengikuti aktivitas kampanye dan politik elektoral dalam Pemilu. Ruang kelas di sekolah harus netral dari politik partisan. Proses pembelajaran di sekolah semestinya bersih dari politik praktis," ujarnya.
FSGI juga menyoroti janji kampanye timses salah satu pasangan calon yang menyebut akan menaikkan gaji guru menjadi Rp 20 juta. Mereka menilai itu ucapan yang asal-asalan. "Ternyata di tahun politik ini guru masih jadi objek politisasi, misalnya dijanjikan guru diberi gaji Rp 20 juta per bulan, kami berpikir ini pernyataan yang asal bicara tanpa kalkulasi yang baik," ucap Satriwan.
Dia juga mempertanyakan dari mana uang untuk membayar gaji tersebut. Selain itu, kategori guru yang dijanjikan gaji Rp 20 juta itu juga tidak jelas. Tak hanya itu, mereka juga mengkritisi wacana guru impor yang sempat mengemuka. Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitas guru lokal. "Yang kedua, misalnya, yang membuat guru-guru resah, ada wacana dari salah satu tim sukses untuk mengimpor guru, mestinya kan guru di Indonesia dulu yang dibenahi, misalnya dari segi kompetensi dan segi kualitas," kata dia. *
1
Komentar