nusabali

Sukses Berkat Rumah Makan Padang

  • www.nusabali.com-sukses-berkat-rumah-makan-padang
  • www.nusabali.com-sukses-berkat-rumah-makan-padang

Perjuangan panjang Bustaman di bidang kuliner penuh hambatan. Bahkan masakannya sempat tak diminati. Kini puluhan rumah makan di bawah waralabanya menyebar di tanah air hingga negeri jiran.

Bustaman, Pemilik Waralaba RM Sederhana

Lahir dari keluarga kekurangan Bustaman kecil masih tertimpa musibah. Pria kelahiran Lubuk Jantan, Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar, ditinggalkan kedua orangtua yang meninggal dunia. Jadilah hidupnya lebih luntang-lantung lagi dari sebelumnya.  Alhasil Bustaman cuma bertahan hingga kelas dua sekolah rakyat atau sekelas SD.

Dia bekerja apa saja. Mengadu nasib bukan lagi gengsi. Baginya tanpa menjadi keturunan Minang pun, dia sudah dipaksa bekerja sampai ke luar kota. Mulai bekerja di perkebunan karet, berjualan koran, mencucikan piring di rumah makan, sampai berdagang asongan.
Bustaman juga pernah bekerja sebagai tukang bantu rumah sakit. Waktu dia bekerja di rumah makan, suatu hari, dia berpikir bahwa tempat itu begitu ramai pembeli. Terbersit pikiran dan doa dalam hatinya, "Ya Allah kapan saya bisa hidup sukses.”

Niatan merantau tidak terbendung. Langkah kakinya ingin melebar sampai ke ibukota Jakarta. Padahal tahun itu, pada 1970, dia baru dua tahun menikah dengan Fatimah. Mereka pun dikarunia seorang anak. Tapi itu mungkin alasan lain mengapa Bustaman ngotot ke Jakarta. Ia lantas ikut kakak ipar di Matraman, Jakarta Utara. Pilihan usaha pertama sesampai dia Jakarta ialah jualan rokok dengan modal Rp 27 ribu. Pakai gerobak, berjalan Bustaman menjajakan dagangan keliling kota.  

Tak mau menyusahkan orang lain. Bustaman bersama istri lantas pindah dari Matraman. Mereka tinggal ke wilayah Pejompongan. Tetap berjualan asongan, dia cuma mengantungi Rp 2.000 lebih sedikit. "Padahal waktu di Matraman penghasilan saya bisa Rp 8.000," jelasnya, waktu itu padahal dia berjualan 24 jam.

Susah berjualan asongan, dia memilih menjadi penjual nasi dibantu istri. Dia menyadari berjualan makanan itu lebih awet. Bustaman berinisiatif menyewa lapak satu kali satu meter di pinggir jalan senilai Rp 3.000. Lalu dia berjualan di atasnya bermodal gerobak.

Dia dibantu istri memasak. Akunya dia tidak bisa memasak, tetapi sedikit pengalaman bekerja di rumah makan membuatnya nekat. Asal coba-coba maka Bustaman mulai mahir memasak sendiri. Dua bulan sudah berlalu tetapi dia tetap tidak menjual sepiring pun. Bustaman hanya menghasilkan omzet Rp 425 dari modal uang Rp 13.000. Menyedihkan sekali kalau melihat dia berjuang.  Walaupun begitu, Bustaman tetap melanjutkan usaha jualan nasinya di Bendungan Hilir. 

Layaknya pedagang kaki lima lainnya, ada masa dimana Bustaman harus berlarian karena dikejar Satpol PP. Ia mengenang dulu pernah kelimpungan sampai gerobaknya rusak. Dua bulan berlalu usahanya berpindah- pindah sebelum nyasar ke Bendungan Hilir.

Sesampai di Bendungan Hilir pun belumlah senang. Dia harus mendekati pemuda setempat atau preman yang  diwajibkan membayar uang agar bisa berjualan. Ia menerima hal tersebut dengan lapang dada. Hasilnya dia diperbolehkan berjualan di emperan dengan uang setoran Rp 3 ribu.  Selain mentap di Bendungan Hilir, Bustaman juga menarget ajang tertentu, seperti ketika ada even olahraga, gerobaknya langsung nangkring di Senayan agar bisa menjamu masyarakat. Uniknya, ketika warung lain harganya naik, ia justru menjual seharga sama seperti biasanya. Alhasil jualannya laku keras sampai ludes habis tidak bersisa. 

Empat bulan kemudian malah musibah datang kembali. Ia berkisah gerobaknya ditertibkan. Cuma diperbolehkan berjualan seluas satu meter, dan sialnya ia harus ikut undian agar bisa dapat ruang kosong. Bustaman menyiasati dengan mengadakan pendekatan ke aparat. Hasilnya dia mendapatkan ruang seharga kontrakan Rp 5.000. 

Nasibnya mujur  berkat kepandaian berstrategi walaupun pemerintah Jakarta sebenarnya hanya menetapkan harga per  lapak Rp 750. Tetapi melihat keadaan lapak yang tidak mencukupi. Ia mencoba menyiasati ‘membeli’ sewa lapak sebelahnya. Bustaman bermaksud membeli dua lapak menjadi satu. Untuk itulah ia meminjam uang kepada sang paman.

Berkat tempat strategis maka usahanya maju. Usaha Bustaman nampaknya sudah berkembang tetapi justru musibah malah datang lagi. Pernah suatu ketika jarinya tersayat pisau karena memotong tunjang, menangis begitulah nasib Bustaman masih saja dicoba. "...menangis karena susahnya hidup," kenangnya sambil berkaca- kaca.

Usahanya sudah berkembang jika dulu menanak 30 liter sehari, lalu Bustaman mampu menanak nasi sampai 60 liter. Hingga dia mengajak kerjasama istri dari pamannya. Dia mengajaknya menambah modalnya lagi.

Masalah lain datang ketika tante Bustaman terlibat piutang. Waktu itu ia meminjam uang Rp 15.000,"Tetapi sudah saya bayar," imbuhnya. Akhirnya sang tante malah naksir mengincar lahan yang ditempati Bustaman selama beberapa tahun itu. Bahkan urusan ini sempat membawa polisi di malam pada akhirnya.

Menangislah Bustaman menerima perlakuan tersebut. Padahal dia bersusah payah membangun usaha dari nol besar. Sukses mendatangkan pelanggan tetapi pada akhirnya dia mendapat musibah kembali menyusul lagi. Dia mendapatkan warungnya kena gusur kembali. "Gerobak dagang saya diangkut," imbuh Bustaman. 

Lalu ia mendapati tempat tinggalnya di Pejompongan kebakaran. Dia cuma mampu menyelamatkan diri, bersama istri, anak, dan gerobak. Mereka lalu tinggal di rumah salah satu pemasok bahan masakan warungnya dan berusaha kembali di Bendungan Hilir.
Hidup membawanya membuka cabang di Roxy. Sebelum ke Roxy, untung Bustaman sempatkan makan dulu di warung makan sebelahnya. Ia menyadari loh ternyata masakan itu lebih enak. Pantaslah kalau orang Solok itu mempunyai pelanggan dan lebih ramai dikunjungi daripada warung barunya.

"Dan suatu sore, saya dekati tukang masaknya, saya ajak kenalan saja. Dan ternyata orangnya sangat baik, ia mau menuliskan resep masakannya buat saya," kenang Bustaman lagi.

Berkat resep orang itulah ketika membuka cabang di Roxy tahun 1976. Dia mendapatkan lebih banyak lagi pelanggan. Resep gulai itu enak meresap ke hati pengunjung. Berbekal resep itulah, semangatnya berusaha bangkit, dia mau belajar terus mencoba olahan lain bermodal resep itu.7

Selanjutnya...

Komentar