Tirani Kata-kata
DI senja yang sejuk dan langit cerah bulan Agustus, sekelompok penekun spiritual sedang bersamadi, kemudian mereka berbincang, membahas apakah ada perbedaan makna antara ‘berserah diri’ dengan ‘pasrah’?
Seorang di antara mereka, paling muda, menjawab, “Sama saja bagi saya. Pasrah maupun berserah diri pertanda kita sebaiknya tidak melakukan apa-apa ketika segala usaha sudah tunduk pada Yang Kuasa.”
Tapi seorang perempuan membantahnya. “Berserah diri dan pasrah tidak sama, bahkan kentara sekali bedanya.” Dia memberi alasan, ‘berserah diri’ berarti aktif, pertanda kita bekerja. Kalau ’pasrah’ itu berarti diam, tidak melakukan apa pun. ‘Pasrah’ menandakan seseorang yang menyerah kalah, tidak mencoba, tidak berusaha. Orang pasrah itu gagal. Orang berserah diri itu mencoba, dan tetap setia teguh menunggu hasil.
Ia juga mengibaratkan manusia pasrah itu seperti duduk di sudut, mojok, murung, merunduk menyerah, tak hendak melakukan apa pun. “Kalau berserah diri beda,” ujar perempuan yang sudah belasan tahun menekuni spiritualisme. Menurut dia, berserah diri pertanda penyadaran manusia akan keberadaan Yang Maha Tinggi. Penyadaran akan keberadaan itu dicapai lewat perenungan yang dalam, terus menerus, sehingga siapa pun yang berserah diri akan merasa senantiasa dilindungi, ia selalu melangkah dan bekerja dengan ketetapan hati.
Orang-orang yang berserah diri menyerahkan segalanya, keberuntungan, bencana, malapetaka, keberhasilan, kepada yang paling berhak menentukan. “Kita berusaha sekuat-kuatnya, dan ikhlas menerima apa pun yang diturunkan, itulah manusia yang berserah diri,” ujar wanita itu.
Tapi si anak muda tak sudi menyerah begitu saja. Dengan HP dia berselancar ke Kamus Besar Bahasa Indonesia on line. Di situ ia menelusuri lema ‘berserah diri’ dan ‘pasrah’. Kepada yang hadir dia membaca apa yang ia dapatkan.
Di kamus itu termuat ‘pasrah’ berarti menyerahkan sepenuhnya. Misalnya, marilah kita pasrah kepada takdir dengan hati yang tabah. Ada juga contoh, ia pasrah kepada apa yang akan diputuskan oleh pengadilan. Sedangkah berpasrah juga berarti berserah diri, seperti berserah diri kepada Tuhan sambil berdoa agar terhindar dari malapetaka. Berserah diri berarti menyerahkan diri (tidak ada usaha untuk melawan). Misalnya, ia selalu berserah diri saja. Berserah diri juga berarti pasrah akan nasib.
Jadi, menurut si anak muda itu, ‘pasrah’ sama saja artinya dengan ‘berserah diri’. Para penekun spiritual lebih menyukai kata ‘berserah diri’ karena memuat kata yang berarti menyerahkan kepada Yang Kuasa. ‘Berserah diri’ menjadi lebih bernuansa spiritualis tinimbang ‘pasrah’ yang lebih mengesankan duniawi.
Si anak muda menceritakan pengalamannya sebagai wartawan. Suatu hari ia melaporkan peristiwa kecelakaan lalu lintas. Ia menulis, tabrakan antara sepeda motor dengan angkutan kota menyebabkan sepeda rusak parah dan mobil rusak berat. Redaksi mengubahnya menjadi, tabrakan itu menyebabkan motor ambruk dan mobil ringsek. Kedua frase itu sama-sama memberi arti rusak berat. Tapi dengan pilihan kata yang tepat, muncul diksi yang kuat. Para pengarang prosa, seperti cerpen atau novel, pasti paham betul memilih frase yang kuat itu.
Para pengarang sangat pintar menggunakan kata-kata untuk menghasilkan diksi yang pas dan hebat untuk mengguncang rasa pembaca. Pengarang Seno Gumira Ajidarma menulis novel berjudul ‘Kitab Omong Kosong’. Seperti Goenawan Mohamad dalam esai-esainya yang acap menggunakan kata ‘kitab’, Seno juga lebih suka menggunakan ‘kitab’ tinimbang ‘buku’.
Ekonom Amerika pertama yang meraih Nobel pada tahun 1970, Paul A Samuelson (15 Mei 1915 – 13 Desember 2009), menjelaskan kecenderungan manusia yang suka menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menyebut benda yang sama. Misalnya, ada yang lebih suka menyebut pensil, tapi ada pula yang lebih senang menggunakan kata potlot. Samuelson menyebut, kata-kata yang beda digunakan untuk benda yang sama sebagai tirani kata-kata.
Acap kali orang-orang berdebat lama dan keras, ngotot-ngototan, gara-gara hal tertentu yang sama, namun diberi istilah atau nama berbeda. Di Bali acap kali hal semacam itu bisa dijumpai, karena Bali, memiliki adat istiadat beserta kegiatan keagamaan sangat banyak dan beraneka ragam. Sesaji yang fungsinya sama di Bali Utara, bisa punya nama berbeda di Bali Selatan. Istilah ngerorod dan nganten, yang sama-sama maknanya menikah, bisa menjadi dua istilah berbeda, yang kalau diperdebatkan bisa menuai perbincangan panjang.
Banyak istilah dalam kegiatan yadnya yang berbeda nama, namun punya makna sama. Di desa berbeda bisa dijumpai tirani kata-kata yang menyangkut istilah adat dan keagamaan. Tirani kata-kata kadang tak menghasilkan kesepakatan, tetap menggantung. Mereka yang ngotot menyebut alat tulis itu sebagai pensil, belum tentu sudi menyebutnya dengan potlot. Istilah-istilah adat dan keagamaan itu silakan berbeda. Yang penting jangan sampai adat istiadat menjadi tirani di tengah masyarakat. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Tapi seorang perempuan membantahnya. “Berserah diri dan pasrah tidak sama, bahkan kentara sekali bedanya.” Dia memberi alasan, ‘berserah diri’ berarti aktif, pertanda kita bekerja. Kalau ’pasrah’ itu berarti diam, tidak melakukan apa pun. ‘Pasrah’ menandakan seseorang yang menyerah kalah, tidak mencoba, tidak berusaha. Orang pasrah itu gagal. Orang berserah diri itu mencoba, dan tetap setia teguh menunggu hasil.
Ia juga mengibaratkan manusia pasrah itu seperti duduk di sudut, mojok, murung, merunduk menyerah, tak hendak melakukan apa pun. “Kalau berserah diri beda,” ujar perempuan yang sudah belasan tahun menekuni spiritualisme. Menurut dia, berserah diri pertanda penyadaran manusia akan keberadaan Yang Maha Tinggi. Penyadaran akan keberadaan itu dicapai lewat perenungan yang dalam, terus menerus, sehingga siapa pun yang berserah diri akan merasa senantiasa dilindungi, ia selalu melangkah dan bekerja dengan ketetapan hati.
Orang-orang yang berserah diri menyerahkan segalanya, keberuntungan, bencana, malapetaka, keberhasilan, kepada yang paling berhak menentukan. “Kita berusaha sekuat-kuatnya, dan ikhlas menerima apa pun yang diturunkan, itulah manusia yang berserah diri,” ujar wanita itu.
Tapi si anak muda tak sudi menyerah begitu saja. Dengan HP dia berselancar ke Kamus Besar Bahasa Indonesia on line. Di situ ia menelusuri lema ‘berserah diri’ dan ‘pasrah’. Kepada yang hadir dia membaca apa yang ia dapatkan.
Di kamus itu termuat ‘pasrah’ berarti menyerahkan sepenuhnya. Misalnya, marilah kita pasrah kepada takdir dengan hati yang tabah. Ada juga contoh, ia pasrah kepada apa yang akan diputuskan oleh pengadilan. Sedangkah berpasrah juga berarti berserah diri, seperti berserah diri kepada Tuhan sambil berdoa agar terhindar dari malapetaka. Berserah diri berarti menyerahkan diri (tidak ada usaha untuk melawan). Misalnya, ia selalu berserah diri saja. Berserah diri juga berarti pasrah akan nasib.
Jadi, menurut si anak muda itu, ‘pasrah’ sama saja artinya dengan ‘berserah diri’. Para penekun spiritual lebih menyukai kata ‘berserah diri’ karena memuat kata yang berarti menyerahkan kepada Yang Kuasa. ‘Berserah diri’ menjadi lebih bernuansa spiritualis tinimbang ‘pasrah’ yang lebih mengesankan duniawi.
Si anak muda menceritakan pengalamannya sebagai wartawan. Suatu hari ia melaporkan peristiwa kecelakaan lalu lintas. Ia menulis, tabrakan antara sepeda motor dengan angkutan kota menyebabkan sepeda rusak parah dan mobil rusak berat. Redaksi mengubahnya menjadi, tabrakan itu menyebabkan motor ambruk dan mobil ringsek. Kedua frase itu sama-sama memberi arti rusak berat. Tapi dengan pilihan kata yang tepat, muncul diksi yang kuat. Para pengarang prosa, seperti cerpen atau novel, pasti paham betul memilih frase yang kuat itu.
Para pengarang sangat pintar menggunakan kata-kata untuk menghasilkan diksi yang pas dan hebat untuk mengguncang rasa pembaca. Pengarang Seno Gumira Ajidarma menulis novel berjudul ‘Kitab Omong Kosong’. Seperti Goenawan Mohamad dalam esai-esainya yang acap menggunakan kata ‘kitab’, Seno juga lebih suka menggunakan ‘kitab’ tinimbang ‘buku’.
Ekonom Amerika pertama yang meraih Nobel pada tahun 1970, Paul A Samuelson (15 Mei 1915 – 13 Desember 2009), menjelaskan kecenderungan manusia yang suka menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menyebut benda yang sama. Misalnya, ada yang lebih suka menyebut pensil, tapi ada pula yang lebih senang menggunakan kata potlot. Samuelson menyebut, kata-kata yang beda digunakan untuk benda yang sama sebagai tirani kata-kata.
Acap kali orang-orang berdebat lama dan keras, ngotot-ngototan, gara-gara hal tertentu yang sama, namun diberi istilah atau nama berbeda. Di Bali acap kali hal semacam itu bisa dijumpai, karena Bali, memiliki adat istiadat beserta kegiatan keagamaan sangat banyak dan beraneka ragam. Sesaji yang fungsinya sama di Bali Utara, bisa punya nama berbeda di Bali Selatan. Istilah ngerorod dan nganten, yang sama-sama maknanya menikah, bisa menjadi dua istilah berbeda, yang kalau diperdebatkan bisa menuai perbincangan panjang.
Banyak istilah dalam kegiatan yadnya yang berbeda nama, namun punya makna sama. Di desa berbeda bisa dijumpai tirani kata-kata yang menyangkut istilah adat dan keagamaan. Tirani kata-kata kadang tak menghasilkan kesepakatan, tetap menggantung. Mereka yang ngotot menyebut alat tulis itu sebagai pensil, belum tentu sudi menyebutnya dengan potlot. Istilah-istilah adat dan keagamaan itu silakan berbeda. Yang penting jangan sampai adat istiadat menjadi tirani di tengah masyarakat. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar