Finalis Luapkan ‘Kemarahan’ di Grand Final Unspoken Bali Poetry Slam
Enam finalis berlaga perebutkan gelar ‘Slammer of the Year’ di Unspoken Bali Poetry Slam.
GIANYAR, NusaBali
Hujan di langit Ubud yang kian lebat semakin memacu para finalis Unspoken Bali Poetry Slam untuk meluapkan amarahnya melalui puisi. Digelar Sabtu (01/12) pukul 19.30 WITA hingga selesai, grand final kompetisi baca puisi unik yang diadaptasi dari Amerika tersebut berlangsung seru di bawah sorot lampu dan remang Betelnut, Jalan Raya Ubud, Gianyar.
Unspoken Bali Poetry Slam yang telah memulai babaknya sejak Maret, lalu berlanjut ke Juni, dan September 2018 tersebut, telah berhasil mengumpulkan enam finalis yang siap berlaga pada puncak Unspoken Bali Poetry Slam Desember ini. Keenam finalis tersebut terdiri dari Wulan Saraswati, Rahatri Ningrat, Juli Sastrawan, Aufa Ibadurrahman, Sidhi Vhisatya, dan David Chadwick.
Ada pun tema yang diusung kali ini adalah ‘anger’ (red: kemarahan). Seperti biasa, para finalis diminta membawakan puisi karangan sendiri, lalu membacanya dengan durasi waktu 3 menit tanpa instrumen apa pun. Uniknya, beberapa dewan juri pun dipilih dari penonton agar tidak terjadi keberpihakan pada salah satu finalis. Masing-masing dari mereka akan membawa papan angka kisaran 6 – 9 dan menunjukkannya ketika proses penjurian berlangsung.
Rahatri Ningrat atau akrab disapa Gek Ning, perempuan asal Singaraja ini merupakan pemenang di seri ketiga di bulan September. Ia mengaku mengikuti kompetisi Unspoken Poetry Slam karena menulis puisi adalah hobinya sejak lama. Puisi dijadika media untuk berkontemplasi hingga meluapkan kemarahan oleh Gek Ning.
“Karena sering nulis puisi, tapi biasanya untuk diri sendiri sebagai bahan kontemplasi untuk menyesali hidup atau untuk mencaci orang. Tapi ternyata ada event ini, saya pikir kenapa puisi itu tidak dibagi saja? Kadang ada juga kemarahan yang tidak bisa diungkapkan langsung. Jadi, saya ikut event ini karena saya yakin, setelah saya meluapkan kemarahan itu, maka yang tersisa adalah kedamaian,” ungkap perempuan yang kini menjadi guru di SMAN 1 Sukasada tersebut..
Gek Ning juga mengaku persiapan kali ini tidak semaksimal persiapannya ketika babak penyisihan. Namun, pada akhirnya ia belajar satu hal, bahwa persiapan itu sangat penting.
Doni Marmer, selaku salah satu Founder Unspoken Bali Poetry Slam, memaparkan bahwa kompetisi tersebut bukan semata berpatokan pada keahlian berpuisi, melainkan bagaimana puisi itu disampaikan.
“Sistemnya sebenarnya biasa aja, 3 menit berpuisi dan puisinya harus original, boleh pakai bahasa apa pun, juga tidak boleh pakai instrumen. Juri semuanya kita pilih dari penonton, jadi gak ada yang berpihak. Dan juga ini memang bukan soal skill, tapi soal bagaimana puisi itu disampaikan,” papar Doni ketika ditemui saat jada istirahat.
Tidak sendiri, Unspoken Bali Poetry Slam juga didukung oleh beberapa sahabat, di antaranya, Suku Tangan, Tatkala.co, Sudut Kita, dan Dyatmika School. Para sponsor inilah yang berkontribusi untuk hadiah sang juara nantinya.
Seorang juara yang dijuluki ‘Slammer of the Year’ akan berhak atas uang tunai 1 juta rupiah, piagam penghargaan, dan beberapa buku dari Suku sponsor. Tidak cukup sampai di sana, sang juara juga akan diajak tur ke sekolah-sekolah di seputar Bali untuk ikut memberi edukasi pada anak-anak sekolah bagaimana berpuisi yang bebas, dalam artian bebas mengungkapkan ekspresi melalui puisi.
Meski belum pasti sekolah mana yang akan dituju. Namun, yang pasti Doni dan tim akan menyasar siswa bangku SMP atau SMA dan menjangkau sekolah-sekolah di daerah Karangasem, Jembrana, Tabanan, dan Bangli, yang mungkin sulit dijangkau untuk menyebarkan virus-virus puisi ini. Selain itu, Doni juga membocorkan rencananya terkait program selanjutnya, yang mana ia dan komunitasnya akan mengadakan open mic pada awal 2019 yang bertempat di Rumah Sanur Creative Hub, Denpasar.
Doni sadar, tentu kompetisi ini bukanlah kompetisi berskala besar yang dapat memberi hadiah fantastis bagi pemenangnya, namun lebih dari itu Doni ingin virus-virus berpuisi ini akan terus dikumandangkan dan mulai diminati oleh anak-anak muda Bali dalam mengekspresikan dirinya melalui puisi.
“Kita berharap, Unspoken akan terus ada dan semakin luas komunitasnya karena ini dimulai dari 3 orang tapi mimpi kita sebenarnya dijalankan oleh banyak orang. Harapan kita juga, tahun depan akan semakin seru, semakin banyak yang ikut, dan anak muda di Bali sendiri lebih tertarik untuk mengekspresikan dirinya melalui puisi,” ujar Doni mantap. *ph
Komentar