Desa Adat Kapal Larang Daging Anjing
Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, telah melarang warganya memperjualbelikan, memperdagangkan, dan mengonsumsi daging anjing.
MANGUPURA, NusaBali
Kini giliran Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi yang juga mengeluarkan larangan serupa. Larangan ini dituangkan dalam Surat Edaran nomor : 81/DAK/XI/2018 tertanggal 28 November 2018.
Surat Edaran tersebut ditandatangi langsung oleh Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana. Tidak saja kepada masyarakat, surat edaran ini juga ditembuskan kepada Gubenur Bali, Bupati Badung, Camat Kuta Utara, Upasabha Desa Adat Kerobokan, Kertha Desa Adat Kerobokan, Prajuru Desa Adat Kerobokan, Kelian Banjar se-Desa Adat Kerobokan.
Sudarsana saat dikonfirmasi, Rabu (5/12) membenarkan telah mengeluarkan surat edaran yang melarang warga Desa Adat Kapal memperjualbelikan, memperdagangkan, dan mengonsumsi daging anjing. “Iya, surat edaran yang tiyang keluarkan ini berdasarkan imbauan langsung dari Pemkab Badung,” katanya.
Adapun dasar yang jadi pijakan Desa Adat Kapal mengeluarkan surat edaran tersebut, lanjut Sudarsana, yakni UU Nomor 18 Tahun 2009 jo UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hewan, Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2013 tentang Budidaya Heran, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina hewan, Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 tentang Peningkatan Pengawasan Peredaran/ Perdagangan Daging Anjing, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies, Surat Edaran Gubernur Nomor 524.3/9811/KKPP/Disnakkeswan tentang Isu Perdagangan Daging Anjing di Bali.
Imbuh Sudarsana, merujuk pula hasil rekomendasi Focus Group Discussion (FGD) Perdagangan Daging Anjing yang telah dilaksanakan di Kabupaten Badung pada 5 April 2018. Begitu juga, sesuai ajaran agama Hindu yang tertuang dalam sastra Prasasti Panca Dresta, dimana anjing adalah hewan peliharaan dan dapat memberikan tanda-tanda alam.
Di samping itu, masih kata Sudarsana, dalam ajaran agama Hindu yang teruang dalam lontar Putru Saji bahwa anjing termasuk dalam hewan-hewan yang tidak boleh dihaturkan dalam persembahyangan, sehingga tidak boleh dikonsumsi. “Kami imbau warga tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dan perdagangan daging anjing,” tegasnya.
Sebelumnya, Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Badung menyambut positif apa yang dilakukan sejumlah Desa Adat di Kabupaten Badung yang tegas melarang warganya memperjualbelikan, memperdagangkan, dan mengonsumsi daging anjing. Disbud menilai langkah ini sangat positif, dan diharapkan diikuti oleh desa-desa lainnya.
“Begini, sejak awal memang kami di Dinas Kebudayaan mendorong agar desa adat ikut membuatkan aturan terkait peradaran daging anjing ini. Apalagi sudah ada aturan dari Provinsi Bali, jika daging anjing bukan bahan pangan,” kata Kepala Disbud Badung IB Anom Bhasma.
Desa Adat di Badung, lanjut Anom Bhasma, bisa memasukkan aturan terkait hal ini di perarem, sehingga bisa ditaati oleh masyarakat. “Dengan perarem lebih kuat dia, karena di sana ada sanksi secara adat juga,” tegasnya. *asa
Kini giliran Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi yang juga mengeluarkan larangan serupa. Larangan ini dituangkan dalam Surat Edaran nomor : 81/DAK/XI/2018 tertanggal 28 November 2018.
Surat Edaran tersebut ditandatangi langsung oleh Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana. Tidak saja kepada masyarakat, surat edaran ini juga ditembuskan kepada Gubenur Bali, Bupati Badung, Camat Kuta Utara, Upasabha Desa Adat Kerobokan, Kertha Desa Adat Kerobokan, Prajuru Desa Adat Kerobokan, Kelian Banjar se-Desa Adat Kerobokan.
Sudarsana saat dikonfirmasi, Rabu (5/12) membenarkan telah mengeluarkan surat edaran yang melarang warga Desa Adat Kapal memperjualbelikan, memperdagangkan, dan mengonsumsi daging anjing. “Iya, surat edaran yang tiyang keluarkan ini berdasarkan imbauan langsung dari Pemkab Badung,” katanya.
Adapun dasar yang jadi pijakan Desa Adat Kapal mengeluarkan surat edaran tersebut, lanjut Sudarsana, yakni UU Nomor 18 Tahun 2009 jo UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hewan, Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2013 tentang Budidaya Heran, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina hewan, Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 tentang Peningkatan Pengawasan Peredaran/ Perdagangan Daging Anjing, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies, Surat Edaran Gubernur Nomor 524.3/9811/KKPP/Disnakkeswan tentang Isu Perdagangan Daging Anjing di Bali.
Imbuh Sudarsana, merujuk pula hasil rekomendasi Focus Group Discussion (FGD) Perdagangan Daging Anjing yang telah dilaksanakan di Kabupaten Badung pada 5 April 2018. Begitu juga, sesuai ajaran agama Hindu yang tertuang dalam sastra Prasasti Panca Dresta, dimana anjing adalah hewan peliharaan dan dapat memberikan tanda-tanda alam.
Di samping itu, masih kata Sudarsana, dalam ajaran agama Hindu yang teruang dalam lontar Putru Saji bahwa anjing termasuk dalam hewan-hewan yang tidak boleh dihaturkan dalam persembahyangan, sehingga tidak boleh dikonsumsi. “Kami imbau warga tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dan perdagangan daging anjing,” tegasnya.
Sebelumnya, Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Badung menyambut positif apa yang dilakukan sejumlah Desa Adat di Kabupaten Badung yang tegas melarang warganya memperjualbelikan, memperdagangkan, dan mengonsumsi daging anjing. Disbud menilai langkah ini sangat positif, dan diharapkan diikuti oleh desa-desa lainnya.
“Begini, sejak awal memang kami di Dinas Kebudayaan mendorong agar desa adat ikut membuatkan aturan terkait peradaran daging anjing ini. Apalagi sudah ada aturan dari Provinsi Bali, jika daging anjing bukan bahan pangan,” kata Kepala Disbud Badung IB Anom Bhasma.
Desa Adat di Badung, lanjut Anom Bhasma, bisa memasukkan aturan terkait hal ini di perarem, sehingga bisa ditaati oleh masyarakat. “Dengan perarem lebih kuat dia, karena di sana ada sanksi secara adat juga,” tegasnya. *asa
1
Komentar