Garam Laut Bali Punya Potensi Pasar
Garam laut punya kekhasan rasa dan memiliki harga jual lebih tinggi dibandingkan garam meja.
DENPASAR, NusaBali
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mendorong pemasaran garam artisan atau garam laut produksi petambak di Bali karena celah pasar yang besar untuk memenuhi kebutuhan segmen tertentu. "Diperlukan pengecualian untuk garam seperti ini karena dapat menjadi sumber pendapatan yang layak bagi petambak garam," kata Asisten Deputi Bidang Sumberdaya Mineral dan Energi NonKonvensional Kemenko Bidang Kemaritiman Amalyos Chan, Sabtu (8/12).
Menurut dia, garam laut yang tidak diproses fortifikasi yodium itu tidak dapat diedarkan secara luas karena kebijakan pemerintah hanya mengakui garam beryodium sebagai garam konsumsi. Padahal, lanjut dia, garam khas itu memiliki harga yang bagus dan bahkan lebih mahal dari garam dapur biasa.
Selain itu sudah ada permintaan dari segmen tertentu, misalnya untuk kebutuhan sajian gourmet yang selama ini banyak masuk melalui impor, untuk kebutuhan khusus penderita penyakit auto imun dan autisme yang membutuhkan garam organik.
Amalyos menambahkan garam artisan dihasilkan dengan teknik khusus yang lebih rumit dan memiliki kekhasan rasa dan oleh karenanya memiliki harga jual yang jauh lebih baik dibandingkan dengan garam meja biasa. Dengan demikian, lanjut dia, tidak akan masuk ke segmen pasar bawah dengan asupan yodium tambahan yang masih diperlukan dan hanya konsumen yang memahami dan memerlukan karakter dari garam artisan yang akan membeli garam tersebut, bukan masyarakat luas.
"Jika pasokan garam khusus itu tidak dipenuhi dalam negeri, maka akan dipasok dari luar dan menghilangkan kesempatan perajin garam lokal mendapatkan manfaat dari permintaan garam khusus ini," katanya.
Selain itu, keunikan cara produksi telah membuahkan sertifikat Indikasi Geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena memiliki nilai dagang seperti garam artisan dari Amed, Bali Utara telah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (IG). "Celah pasar ini, sebaiknya diisi oleh garam produksi dalam negeri, menjaga kearifan lokal, daripada diisi oleh produk impor," imbuhnya.
Untuk mendorong percepatan pemasaran produk garam artisan itu, pihaknya menyelenggarakan Rapat Koordinasi Fasilitasi Perizinan Ekspor Produk Garam Artisan di Kuta, Bali, 6-7 Desember 2018. Rapat itu dihadiri sejumlah pihak terkait di antaranya Sekretariat Kabinet, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.
Selain itu Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, pemerintah daerah, serta pengusaha, investor dan asosiasi garam. Dalam kesempatan itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng yang diwakili A Manaf menjelaskan Bali Utara bukan merupakan sentra produksi garam nasional melainkan sebagai daerah penyangga garam nasional.
Dalam mendorong usaha pergaraman, telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi tambak garam dan diversifikasi produk, termasuk produk nonpangan seperti garam mandi dan garam spa. Sebagai daerah penyangga, lanjut dia, petambak harus kreatif mencari segmen pasar yang sesuai dengan produk garam yang dihasilkan.
Garam tradisi itu, kata dia, tidak diproduksi secara massal, karena unik dan tidak ada ditempat lain, maka garam ini juga sering dijadikan buah tangan oleh wisatawan. Salah satu perajin garam dari Buleleng, Wayan Kanten mengaku untuk proses produksi di daerah Tejakula, masih digunakan tinjungan dan palungan, sebelum proses kristalisasi di rumah kaca.
Garam yang dihasilkan berupa kristal berbentuk prisma dan bersih yang sebagian di antaranya diolah menjadi bumbu rempah organik dengan tambahan kunyit, teleng, merica dan lain-lain, serta diolah menjadi produk nonpangan. "Semuanya organik, tidak pakai 'essence'. Tapi karena produk ini tidak awet, kami hanya membuatnya berdasarkan pesanan," kata Kanten dari Kelompok Usaha Garam Rakyat (Kugar) Uyah Buleleng yang juga hadir dalam rakor itu.
Ia juga mengharapkan produknya selain bisa diekspor juga dapat dipasarkan di Indonesia termasuk mendorong ada pengecualian izin edar untuk garam tradisi itu. Tidak hanya dari Buleleng, garam bleng yang dibuat dari mineral garam Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah selain dimanfaatkan masyarakat sebagai garam konsumsi tradisional, juga menjadi buah tangan wisatawan yang berkunjung ke Bledug Kuwu.
Dalam rakor itu menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan dilaporkan kepada Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa dan Menko Kemaritiman dan akan dijadikan bahan rapat koordinasi pemerintah pusat di Jakarta.
Indonesia memiliki tradisi pengolahan garam rakyat yang sangat istimewa dengan ragam tradisi pengolahan garam dari laut hingga gunung.
Garam artisan itu di antaranya garam laut dari Bali seperti Amed di Kabupaten Karangasem, Kusamba di Kabupaten Klungkung, Tejakula dan Pemuteran di Kabupaten Buleleng.
Selain itu garam gunung atau mata air asin yang diproduksi di Gunung Krayan, Kalimantan Utara, garam Bledug Kuwu atau sering disebut garam "bleng" yang berasal dari lumpur vulkanik di Grobogan, Jawa Tengah, hingga garam dari tanaman di Papua.*ant
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mendorong pemasaran garam artisan atau garam laut produksi petambak di Bali karena celah pasar yang besar untuk memenuhi kebutuhan segmen tertentu. "Diperlukan pengecualian untuk garam seperti ini karena dapat menjadi sumber pendapatan yang layak bagi petambak garam," kata Asisten Deputi Bidang Sumberdaya Mineral dan Energi NonKonvensional Kemenko Bidang Kemaritiman Amalyos Chan, Sabtu (8/12).
Menurut dia, garam laut yang tidak diproses fortifikasi yodium itu tidak dapat diedarkan secara luas karena kebijakan pemerintah hanya mengakui garam beryodium sebagai garam konsumsi. Padahal, lanjut dia, garam khas itu memiliki harga yang bagus dan bahkan lebih mahal dari garam dapur biasa.
Selain itu sudah ada permintaan dari segmen tertentu, misalnya untuk kebutuhan sajian gourmet yang selama ini banyak masuk melalui impor, untuk kebutuhan khusus penderita penyakit auto imun dan autisme yang membutuhkan garam organik.
Amalyos menambahkan garam artisan dihasilkan dengan teknik khusus yang lebih rumit dan memiliki kekhasan rasa dan oleh karenanya memiliki harga jual yang jauh lebih baik dibandingkan dengan garam meja biasa. Dengan demikian, lanjut dia, tidak akan masuk ke segmen pasar bawah dengan asupan yodium tambahan yang masih diperlukan dan hanya konsumen yang memahami dan memerlukan karakter dari garam artisan yang akan membeli garam tersebut, bukan masyarakat luas.
"Jika pasokan garam khusus itu tidak dipenuhi dalam negeri, maka akan dipasok dari luar dan menghilangkan kesempatan perajin garam lokal mendapatkan manfaat dari permintaan garam khusus ini," katanya.
Selain itu, keunikan cara produksi telah membuahkan sertifikat Indikasi Geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena memiliki nilai dagang seperti garam artisan dari Amed, Bali Utara telah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (IG). "Celah pasar ini, sebaiknya diisi oleh garam produksi dalam negeri, menjaga kearifan lokal, daripada diisi oleh produk impor," imbuhnya.
Untuk mendorong percepatan pemasaran produk garam artisan itu, pihaknya menyelenggarakan Rapat Koordinasi Fasilitasi Perizinan Ekspor Produk Garam Artisan di Kuta, Bali, 6-7 Desember 2018. Rapat itu dihadiri sejumlah pihak terkait di antaranya Sekretariat Kabinet, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.
Selain itu Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, pemerintah daerah, serta pengusaha, investor dan asosiasi garam. Dalam kesempatan itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng yang diwakili A Manaf menjelaskan Bali Utara bukan merupakan sentra produksi garam nasional melainkan sebagai daerah penyangga garam nasional.
Dalam mendorong usaha pergaraman, telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi tambak garam dan diversifikasi produk, termasuk produk nonpangan seperti garam mandi dan garam spa. Sebagai daerah penyangga, lanjut dia, petambak harus kreatif mencari segmen pasar yang sesuai dengan produk garam yang dihasilkan.
Garam tradisi itu, kata dia, tidak diproduksi secara massal, karena unik dan tidak ada ditempat lain, maka garam ini juga sering dijadikan buah tangan oleh wisatawan. Salah satu perajin garam dari Buleleng, Wayan Kanten mengaku untuk proses produksi di daerah Tejakula, masih digunakan tinjungan dan palungan, sebelum proses kristalisasi di rumah kaca.
Garam yang dihasilkan berupa kristal berbentuk prisma dan bersih yang sebagian di antaranya diolah menjadi bumbu rempah organik dengan tambahan kunyit, teleng, merica dan lain-lain, serta diolah menjadi produk nonpangan. "Semuanya organik, tidak pakai 'essence'. Tapi karena produk ini tidak awet, kami hanya membuatnya berdasarkan pesanan," kata Kanten dari Kelompok Usaha Garam Rakyat (Kugar) Uyah Buleleng yang juga hadir dalam rakor itu.
Ia juga mengharapkan produknya selain bisa diekspor juga dapat dipasarkan di Indonesia termasuk mendorong ada pengecualian izin edar untuk garam tradisi itu. Tidak hanya dari Buleleng, garam bleng yang dibuat dari mineral garam Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah selain dimanfaatkan masyarakat sebagai garam konsumsi tradisional, juga menjadi buah tangan wisatawan yang berkunjung ke Bledug Kuwu.
Dalam rakor itu menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan dilaporkan kepada Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa dan Menko Kemaritiman dan akan dijadikan bahan rapat koordinasi pemerintah pusat di Jakarta.
Indonesia memiliki tradisi pengolahan garam rakyat yang sangat istimewa dengan ragam tradisi pengolahan garam dari laut hingga gunung.
Garam artisan itu di antaranya garam laut dari Bali seperti Amed di Kabupaten Karangasem, Kusamba di Kabupaten Klungkung, Tejakula dan Pemuteran di Kabupaten Buleleng.
Selain itu garam gunung atau mata air asin yang diproduksi di Gunung Krayan, Kalimantan Utara, garam Bledug Kuwu atau sering disebut garam "bleng" yang berasal dari lumpur vulkanik di Grobogan, Jawa Tengah, hingga garam dari tanaman di Papua.*ant
1
Komentar