KontraS: HAM Tak Dapat Tempat di 2018
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan pemerintah Presiden Joko Widodo tidak memberi tempat bagi Hak Asasi Manusia sepanjang tahun 2018.
JAKARTA, NusaBali
Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan penilaian itu merujuk kerja advokasi, monitoring, dan kampanye KontraS selama tahun 2018 sekaligus dalam memperingati Hari HAM Internasional yang jatuh setiap tanggal 10 Desember. "Kami menyimpulkan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan tempat di tahun 2018," ujar Yati di Kantor KontraS, Jakarta, Senin (10/12) seperti dilansir cnnindonesia.
Yati menuturkan ada tiga isu yang menjadi perhatian KontraS dalam menilai kondisi HAM sepanjang 2018. Pertama, isu sektor sipil dan politik, khususnya berkenaan dengan hak dan kebebasan fundamental. Kedua, berkaitan dengan sektor ekonomi, sosial, budaya, khususnya berkenaan dengan perlindungan dan keadilan pada ranah sumber daya alam, pembangunan, dan okupasi lahan.
"Ketiga, sektor keadilan transisi, khususnya berkenaan dengan akuntabilitas pelanggaran HAM berat masa lalu," ujarnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan KontraS, Yati menyebut terjadi ratusan peristiwa pelanggaran HAM sepanjang tahun 2018, dengan rincian 288 kasus terkait SDA, 114 kasus terkait terorisme, 21 kasus hukuman mati, 73 kasus penyiksaan, 182 kasus extrajudicial killing, 196 kasus berekspresi, dan 82 kasus kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan.
Lebih lanjut, Yati menyampaikan isu dan agenda HAM di tengah perlehatan Asian Games dan Asian Paragames, pilkada, serta Pilpres 2019 cenderung tidak mendapat ruang. HAM, kata dia, di tengah perlehatan tersebut justru terus terpinggirkan, serta tidak menjadi diskursus publik dan kontestasi politik.
Dalam perlehatan Asian Games dan Asian Paragames contohnya, KontraS menemukan telah terjadi pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) atas nama pemulihan keamanan serta perang terhadap para penjahat jalanan dan narkoba.
"Sementara agenda politik elektoral yang sarat dengan politik identitas dan kebijakan-kebijakan populis semakin mendegradasi isu-isu HAM, hak kebebasan dan berkumpul secara damai, serta beribadah dan berkeyakinan masih terus mengalami pelanggaran," ujar Yati.
Selain itu, Yati mengatakan pemerintah gagal dalam membuat langkah maju dalam melindungi kelompok-kelompok yang rentan terkena dampak dari kebijakan diskriminatif, kebijakan pembangunan, serta praktik-praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab sepanjang 2018.
Tahun 2018, kata dia, juga telah terjadi serangan, pembubaran kegiatan, penangkapan, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum. Kriminalisasi terhadap kelompok LGBT, petani, buruh, pegiat lingkungan hidup, dan sejumlah kelompok masyarakat sipil masih terjadi.
"Keseluruhan nyaris tanpa konsekuensi hukum dan seolah dianggap wajar sehingga memunculkan justifikasi atas berulangnya peristiwa-peristiwa tersebut dari tahun ke tahun," ujarnya.
Terkait dengan situasi HAM 2018, Yati menyebut KontraS menilai ada pekerjaan rumah pada level perundang-undangan, di antaranya UU Organisasi Masyarakat, UU Terorisme, dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana. Terkait UU Ormas, Yati berkata ada sejumlah pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berorganisasi. Sejumlah pasal dalam UU itu juga cenderung multitafsir. *
Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan penilaian itu merujuk kerja advokasi, monitoring, dan kampanye KontraS selama tahun 2018 sekaligus dalam memperingati Hari HAM Internasional yang jatuh setiap tanggal 10 Desember. "Kami menyimpulkan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan tempat di tahun 2018," ujar Yati di Kantor KontraS, Jakarta, Senin (10/12) seperti dilansir cnnindonesia.
Yati menuturkan ada tiga isu yang menjadi perhatian KontraS dalam menilai kondisi HAM sepanjang 2018. Pertama, isu sektor sipil dan politik, khususnya berkenaan dengan hak dan kebebasan fundamental. Kedua, berkaitan dengan sektor ekonomi, sosial, budaya, khususnya berkenaan dengan perlindungan dan keadilan pada ranah sumber daya alam, pembangunan, dan okupasi lahan.
"Ketiga, sektor keadilan transisi, khususnya berkenaan dengan akuntabilitas pelanggaran HAM berat masa lalu," ujarnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan KontraS, Yati menyebut terjadi ratusan peristiwa pelanggaran HAM sepanjang tahun 2018, dengan rincian 288 kasus terkait SDA, 114 kasus terkait terorisme, 21 kasus hukuman mati, 73 kasus penyiksaan, 182 kasus extrajudicial killing, 196 kasus berekspresi, dan 82 kasus kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan.
Lebih lanjut, Yati menyampaikan isu dan agenda HAM di tengah perlehatan Asian Games dan Asian Paragames, pilkada, serta Pilpres 2019 cenderung tidak mendapat ruang. HAM, kata dia, di tengah perlehatan tersebut justru terus terpinggirkan, serta tidak menjadi diskursus publik dan kontestasi politik.
Dalam perlehatan Asian Games dan Asian Paragames contohnya, KontraS menemukan telah terjadi pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) atas nama pemulihan keamanan serta perang terhadap para penjahat jalanan dan narkoba.
"Sementara agenda politik elektoral yang sarat dengan politik identitas dan kebijakan-kebijakan populis semakin mendegradasi isu-isu HAM, hak kebebasan dan berkumpul secara damai, serta beribadah dan berkeyakinan masih terus mengalami pelanggaran," ujar Yati.
Selain itu, Yati mengatakan pemerintah gagal dalam membuat langkah maju dalam melindungi kelompok-kelompok yang rentan terkena dampak dari kebijakan diskriminatif, kebijakan pembangunan, serta praktik-praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab sepanjang 2018.
Tahun 2018, kata dia, juga telah terjadi serangan, pembubaran kegiatan, penangkapan, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum. Kriminalisasi terhadap kelompok LGBT, petani, buruh, pegiat lingkungan hidup, dan sejumlah kelompok masyarakat sipil masih terjadi.
"Keseluruhan nyaris tanpa konsekuensi hukum dan seolah dianggap wajar sehingga memunculkan justifikasi atas berulangnya peristiwa-peristiwa tersebut dari tahun ke tahun," ujarnya.
Terkait dengan situasi HAM 2018, Yati menyebut KontraS menilai ada pekerjaan rumah pada level perundang-undangan, di antaranya UU Organisasi Masyarakat, UU Terorisme, dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana. Terkait UU Ormas, Yati berkata ada sejumlah pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berorganisasi. Sejumlah pasal dalam UU itu juga cenderung multitafsir. *
Komentar